1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cina Tidak Inginkan Perang Mata Uang

14 Oktober 2010

Timbul kekhawatiran akan makin buruknya ketidakseimbangan atau bahkan akan terjadinya perang mata uang. Yang tetap menjadi sorotan adalah Cina, negara ekonomi terbesar ke dua di dunia.

https://p.dw.com/p/Pe2v
Mata uang Cina Yuan yang dipermasalahkan, dianggap nilainya dipatok terlalu rendahFoto: AP

Akhir minggu ini, di Washington, Amerika Serikat, digelar pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional IMF dan Bank Dunia. Sudah lama, pertemuan ini dianggap sebagai tempat untuk membicarakan isu-isu internal, seperti misalnya pembagian kekuasaan antara Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara ambang industri di badan keuangan internasional ini. Tapi kini perubahan besar terjadi: beberapa hari belakangan ini ditandai dengan tudingan keras yang dilontarkan kekuatan ekonomi utama dunia. Semua pihak saling melemparkan kesalahan, bahwa neraca perdagangan tidak seimbang.

Perang mata uang dalam pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional IMF? Ini akan menjadi babak selanjutnya dalam konflik yang tampaknya tidak akan pernah berakhir: Pihak Barat menuntut Cina untuk menaikkan nilai mata uang Yuan. Alasannya, nilai Yuan secara sengaja dipatok rendah. Ini menyebabkan ekspor Cina mendapat keuntungan yang tidak selayaknya.

Tuntutan Barat ini dianggap sesuatu yang sia-sia oleh Xu Yonglin, pakar keuangan dari Universitas Perdagangan Luar Negeri Shanghai. "Politik mata uang kita terutama ditujukkan untuk kepentingan kita sendiri. Terutama, kala krisis finasial yang juga berdampak pada ekspor serta pasar tenaga kerja kita. Nilai tukar merupakan faktor penting dalam kebijakan perdagangan. Kami tidak akan melakukan reformasi dramatis, karena kami mendapat tekanan dari pihak lain. Walaupun begitu, saya percaya, kami akan mencapai keseimbangan dengan yang lain. Ini merupakan seni dari persaingan."

Namun, Direktur Dana Moneter Internasional IMF Dominique Strauss-Kahn melihat hal ini lebih berupa sebuah ketegangan daripada sebuah seni persaingan. Untuk meredakan sengketa ini, perlu dipikirkan satu cara pemecahan baru. Dan dalam hal ini, IMF maupun Cina sebenarnya sepakat. Pada musim panas, Wakil Direktur Bank Sentral Cina Yi Gang, mengatakan, "Saat ini kita perlu satu kerjasama yang lebih erat, karena memang ekonomi global saling terkait erat. Setiap perkembangan negatif dengan cepat dapat berdampak pada keseluruhan sistem. Namun, kita harus mengakui, bahwa Cina dapat menarik keuntungan besar dari globalisasi dengan perdagangan bebasnya. Cina merupakan pihak yang paling diuntungkan dengan perkembangan ini. Akan tetapi, saat ini saya melihat peningkatan proteksionisme. Kita harus mempertahankan konsep dari globalisasi."

Bagi Cina, tuntutan Barat agar Cina menaikkan mata uang Yuan merupakan satu bentuk dari proteksionisme. Pemerintah di Beijing tidak mempercayai, bahwa dengan naiknya nilai Yuan akan meningkatkan neraca perdagangan Amerika Seriktat. Hal senada juga dikatakan ilmuwan sosial dari Universitas Teknik Hongkong, David Zweig, "Di tahun-tahun terakhir, Cina merupakan pasar terbesar bagi ekspor Amerika. Jika Amerika memilih tempat untuk membuka usahan dan ingin mengembangkan ekpor mereka, Cina lah yang dipilih. Di sana, komponen-komponen dirakit dan dikirim kembali ke Amerika. Orang menyebut Cina sebagai pabrik dunia. Tapi sebenarnya, Cina hanya merupakan tempat perakitan dunia."

Meskipun para ekonom Barat sepakat bahwa Yuan memang dipatok lebih rendah, akan tetapi tidak seorangpun tahu, berapa rendah. 20 persen atau 40 persen? Selama pemerintah Cina yang menetapkan nilai tukar mata uangnya dan bukannya pasar, maka angka ini akan tetap menjadi spekulasi. Bahkan para pakar ekonomi Cina pun yakin, bahwa cepat atau lambat negara mereka memerlukan mata uang yang diatur pasar. Di satu pihak, ini membuat Cina lebih mampu bersaing di pasar dunia dan di pihak lain, Cina tak akan lagi dihujani kritik dunia internasional.

Menjawab kritik yang kini masih ditujukkan pada Cina, Wakil Direktur Bank Sentral Cina menekankan, "Kami tidak melakukan perang dagang. Kami menangani isu-isu sensitif dengan hati-hati, dengan kebijakan nilai tukar. Kami ingin melanjutkan pertumbuhan yang cepat tapi stabil dalam satu iklim yang saling menguntungkan dan damai."

Astrid Freyeisen/Yuniman Farid

Editor: Ziphora Robina