1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Demokrasi Afghanistan Dalam Cobaan

19 September 2010

Pemilu legislatif di Afghanistan berlangsung dengan diwarnai berbagai insiden dan dugaan kecurangan. Meski begitu pemerintah di Kabul menilainya sebagai sebuah keberhasilan.

https://p.dw.com/p/PGDM
Petugas pemilu menghitung surat suara di tengah listrik yang padamFoto: AP

Dengan diwarnai insiden berdarah dan berbagai keganjilan selama proses pemungutan suara, warga Afghanistan akhirnya tuntas memilih anggota parlemen yang baru. Bahwa pesta demokrasi di Hindukus itu berakhir berdarah, tidak disangkal oleh pemerintah di Kabul.

Namun meski babak belur, proses demokrasi di Afghanistan dinilai berlangsung sukses, demikian setidaknya menurut Menteri Dalam Negeri Besmillah Khan, "tingkat partisipasi begitu tinggi di kalangan warga sipil. Hal ini patut dipuji"

Nyatanya Taliban memang aktif menebar teror agar penduduk tidak memberikan suaranya. Di hari pemilihan, pemerintah masih diam seribu bahasa soal serangan teror dan ledakan bom, dengan tujuan agar pemilih tidak dicekam ketakutan. Kini jelas, bahwa telah terjadi sedikitnya 300 serangan dengan lebih dari 40 korban tewas dan 100 orang luka-luka. Di antara para korban terdapat 21 warga sipil dan empat serdadu asing.

“Jika kita membandingkannya dengan pemilu tahun lalu, saat itu kita mencatat 422 insiden berdarah. Tapi tahun ini, di tengah kondisi keamanan yang terus memburuk, kelompok pemberontak melancarkan 305 serangan," kata Menteri Pertahanan Afghanistan Abdul Rahim Wardak.

Pemilu di tengah memburuknya situasi keamanan

Yang jelas penyelenggaraan pemilu kali ini semakin menggarisbawahi buruknya situasi keamanan di Afghanistan. Di wilayah utara yang beberapa tahun lalu masih dianggap aman, kelompok pemberontak dan kaum ekstremis Islam terlibat dalam pertempuran sengit dengan aparat keamanan.

Pemerintah di provinsi Kundus misalnya mencatat belasan serangan yang dilakukan oleh Taliban. Sedikitnya 18 gerilyawan terbunuh oleh pasukan gabungan NATO dan Afghanistan.

"Musuh kita mencoba menyebar peperangan diseluruh negeri. Mereka sadar hanya memiliki kekuatan terbatas. Itulah taktik mereka. Tapi saya tidak yakin mereka akan berhasil. Jadi kami saat ini mengarahkan perhatian pada keamanan di wiilayah utara," ujar Abdul Rahim Wardak:

Masih belum jelas apakah Taliban memang berhasil menjauhkan para pemilih dari bilik suara. Namun rendahnya tingkat partisipasi masyarakat tahun ini, dinilai vbukan berkaitan dengan ancaman keamanan. Melainkan kekhawatiran umum bahwa pemilu kali ini akan kembali penuh kecurangan seperti pemilu presiden tahun 2009.

Berbagai keganjilan yang dilaporkan oleh Kementrian Dalam Negeri meliputi antara lain kartu pemilih yang dipalsukan, daftar pemilih yang jauh melebihi jumlah warga yang berhak memilih, hingga TPS yang ditutup lebih dini meski masih banyak warga yang belum memilih.

Mengungkap kecurangan demi kepercayaan rakyat

Hal tersebut juga diutarakan oleh Fasel Ahmad Manawi, Ketua Komisi Pemilu Afghanistan. Pihaknya mendapat laporan bahwa di sejumlah wilayah para kandidat masih menjalankan kampanye di hari pemilihan atau tinta tanda pemilih yang ternyata dapat dicuci.

Seberapa besar kecurangan tersebut telah mempengaruhi jalannya pemilihan, baru akan diketahui tanggal 30 Oktober mendatang, ketika Komisi Pemilu mengumumkan hasil penghitungan suara. Hingga saat itu komisi pengawas pemilu akan bekerja mengungkap berbagai kejanggalan yang terjadi.

Lebih dari 10,5 juta warga sebelumnya diserukan untuk menggunakan hak pilihnya. Dari jumlah tersebut, hanya 3,6 juta warga saja yang datang ke TPS. Secara keseluruhan sekitar 2500 kandidat bersaing untuk memperebutkan 249 kursi di majelis rendah, Wolesi Jirga.

Jauh sebelum pemilu digelar, para pengamat menilai, jika kekuasaan tertinggi dipegang oleh Presiden Hamid Karsai dan terobosan politik masih bergantung pada kepala suku serta pemimpin adat, pemilu legislatif kali ini tidak akan berpengaruh banyak.

Kai Küstner/Rizki Nugraha
Editor: Ging Ginanjar