1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanIndonesia

Dilema Rencana Sekolah Tatap Muka Terbatas Juli 2021

14 Juni 2021

Para pakar berpendapat, sekolah harus punya strategi dan sistem pendukung agar siap menyelenggarakan belajar tatap muka yang aman di masa belum selesainya pandemi COVID-19.

https://p.dw.com/p/3uhNp
Murid sekolah di Jakarta belajar di kelas dengan mengenakan masker dan face shield
Murid sekolah di Jakarta belajar di kelas dengan mengenakan masker dan face shield, foto diambil pada 7 April 2021Foto: Tatan Syuflana/AP/picture alliance

Wacana dibukanya sekolah tatap muka pada Juli 2021 mendatang menimbulkan berbagai dilema di masyarakat, utamanya karena pandemi COVID-19 belum usai. Kasus harian COVID-19 yang melonjak tajam justru mengharuskan pemerintah melakukan PPKM Mikro di wilayah tertentu.

Data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 hingga Rabu (09/06) menunjukkan kasus COVID-19 di Indonesia bertambah 7.725 orang membuat angka konfirmasi menjadi 1.877.050 orang, termasuk 170 kasus kematian dalam waktu 24 jam. Sehingga total korban jiwa akibat COVID-19 mencapai 52.162.

Namun, berdasarkan surat keputusan bersama empat menteri yang disahkan Maret lalu, sekolah tatap muka terbatas akan dilakukan secara bertahap dengan kapasitas maksimal 50% dan dilakukan dua kali seminggu dengan protokol ketat dan izin orang tua.

Antara setuju dan cemas

Rencana ini sontak mendapatkan berbagai reaksi berbeda dari para orang tua murid. Sebagian orang tua menyambut baik pembukaan sekolah tatap muka. Namun sebagian lagi masih menolak rencana tersebut dan mengaku khawatir.

"Khawatir sekali saya ngga mau izinkan anak saya sekolah tatap muka. Apalagi kasus makin naik. Tidak semua orang juga yang menjaga protokol kesehatan. Anak-anak saya susah dibilanginnya pada merosotin maskernya ke dagu, tidak betah mereka memakai masker," ujar salah satu orang tua murid Retna Setyaningsih, 31, kepada DW Indonesia.

Ketidaksetujuan juga diungkapkan Ita Yunita, 33, yang mengatakan rendahnya tingkat vaksinasi membuat ia belum percaya melepas anaknya ke sekolah. "Protokol kesehatan masyarakat Indonesia masih amburadul. Kalau dilepas sekolah offline khawatir bermunculan klaster baru," tutur Ita.

Namun pendapat lain disampaikan orang tua murid Benedicta Dwi Ariyanti, 34, yang malah mendukung sekolah tatap muka. "Saya senang dengan rencana ini karena sudah satu setengah tahun belajar online terus. Anaknya juga sudah bosan di rumah. Sementara ibunya sudah kewalahan, ngajarin anak TK sangat beda dengan yang sudah dewasa. Yang terpenting anak ada interaksi di luar bertemu teman-teman dan guru untuk bersosialisasi dan ga kuper anaknya," katanya.

Epidemiolog: atur durasi belajar

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebanyak 79,54% dari 42 sekolah yang sudah melakukan uji coba sekolah tatap muka terbatas tahun 2021 dinyatakan siap. Jumlah ini naik drastis dibandingkan penelitian tahun 2020 di 49 sekolah di delapan propinsi yang menyatakan hanya 16,3% yang siap melaksanakannya.

Menurut Pakar Epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman, dalam strategi pengendalian pandemi, sekolah justru merupakan institusi pertama yang dibuka saat ada pelonggaran aturan dan penurunan kasus. Dicky mengatakan bahwa sekolah adalah tempat unik, di sana tidak hanya ada aspek kesehatan, tapi juga ada aspek pendidikan dan psikososial. 

"Sekolah itu penting. Sehingga ketika terjadi pandemi, sekolah menjadi institusi yang terakhir ditutup, namun ketika ada pelonggaran maka sekolah yang harus pertama dibuka, itu baru strategi yang benar dalam ilmu penanganan pandemi," ujar dia.

"Penularan virus pada anak memang ada. Namun berdasarkan penelitian, proporsinya tidak sebesar lansia karena kekebalan tubuh anak akan virus lebih baik ketimbang orang dewasa," ujar dia.

"Dampak buruk jauh lebih besar. Niatnya sekolah ditutup untuk mengurangi penularan, menurunkan COVID-19, padahal itu harus didukung sektor lain. Apabila sekolah ditutup yang lain dibuka ya sama saja angka COVID-19 tidak turun-turun."

Namun Dicky mendukung sekolah dibuka dengan meminimalkan risiko seperti mengatur durasi belajar, vaksinasi guru dan staf sekolah, kapasitas, protokol kesehatan dan kesiapan siswa belajar.

"Sekolah harus melibatkan banyak pihak dan harus punya pembina, pengampu seperti puskesmas, dokter dan dinas kesehatan untuk memonitor. Bagaimana tracing-nya nanti jika ada kasus, dan menyiapkan jaring pengaman berlapis baik guru maupun murid," kata dia.

Tidak bisa wajibkan berlaku di semua sekolah

Pakar pendidikan Muhammad Ramli Rahim menilai sekolah tidak bisa dipaksakan untuk melangsungkan sistem belajar tatap muka seperti arahan presiden dan menteri pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi baru-baru ini karena tingkat penularan COVID-19 berbeda di tiap daerah. Ia mencontohkan daerah Kudus dan Jawa Tengah dengan lonjakan kasus yang sangat drastis.

"Orang tua khawatir anak-anaknya. Bagi masyarakat Indonesia, kesehatan lebih penting dari kecerdasan. Apa gunanya mereka pintar kalau tidak sehat, apa gunanya cerdas kalau tidak selamat," kata Ramli kepada DW Indonesia di Jakarta, Kamis (10/06). 

Ramli menyarankan pemerintah agar menyerahkan keputusan membuka sekolah kepada pemerintah daerah karena keadaan yang berbeda di setiap wilayah. "Pemerintah jangan terburu-buru sebaiknya diserahkan ke pemda, biar mereka yang menentukan apakah daerah mereka bisa dilaksanakan PTM (pembelajaran tatap muka, red.) atau tidak," ujarnya

Menurut dia, membandingkan sekolah dengan fasilitas umum yang sudah dibuka tidak tepat karena ini bukanlah hal yang sebanding. Meskipun pelonggaran sudah diterapkan di berbagai tempat seperti mal, kantor, dan tempat rekreasi, tetap saja tiap kasus berbeda kondisinya.

"Perilaku orang dewasa dan anak-anak cederung berbeda. Orang dewasa sudah memahami risiko penularan, sedangkan anak-anak belum mencapai pemikiran panjang seperti itu. Vaksin itu diprioritaskan guru namun sampai hari ini belum tuntas itu vaksin untuk guru. Daripada memaksakan sekolah tatap muka, lebih baik menuntaskan dulu vaksin untuk guru, diselesaikan dulu," ujar dia.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, baru sekitar 31,2% dari target 5,6 juta guru yang sudah menerima dosis pertama. Sementara 1.095.000 guru (19,4%) dan tenaga pendidik sudah divaksinasi dosis kedua.

Ramli juga mempertanyakan hasil uji coba pembelajaran tatap muka terbatas yang sudah dilakukan beberapa sekolah karena selama ini tidak ada evaluasi dari uji coba tersebut.

"Kami juga tidak tahu yang akan dilaksanakan ini efektif atau tidak. Misal belajar 2 jam dan masuk bergantian. Kalau efektif dan bikin murid gembira maka bagus dilakukan. Tapi hingga sekarang kami tidak tahu apakah belajar setengah-setengah ini efektif dan membuat jiwa siswa lebih baik," kata Ramli. (td/ae)

Kontributor DW, Tria Dianti
Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.