1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Kaum Disabilitas Masih 'Dianaktirikan' di Tanah Air?

Uly Siregar Blogger
Uly Siregar
3 Desember 2021

Dari hal yang sederhana, ketersediaan fasilitas umum seperti halte, jembatan penyeberangan orang, moda transportasi massal, apakah sudah cukup ramah terhadap kaum disabilitas di Indonesia?

https://p.dw.com/p/3lOrX
Penyandang disabilitas
Kaum disabilitas di IndonesiaFoto: picture alliance/NurPhoto/D. Roszandi

Kaum disabilitas juga memiliki kebutuhan yang sama dengan masyarakat umumnya. Apalagi bila sudah masuk ke ranah pekerjaan. Masih sedikit lapangan kerja yang terbuka bagi para penyandang disabilitas, meskipun Undang-Undang Tentang Penyandang Disabilitas sesungguhnya mewajibkan instansi pemerintah dan swasta menyediakan kuota bagi kaum disabilitas.  

Apa itu disabilitas? Apa bedanya dengan difabel? Dahulu, istilah yang dipakai adalah penyandang cacat, yakni mereka yang memiliki perbedaan kondisi fisik maupun mental. Istilah penyandang cacat dianggap tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman yang mensyaratkan inklusivitas.

Istilah penyandang cacat bernuansa kasar dan cenderung merendahkan. Karena itu muncul istilah disabilitas. Kata ini diserap dari kata ‘disability’ yang artinya ketidakmampuan. Sementara itu, istilah difabel berasal dari kata ‘different ability’ kemampuan yang berbeda.

Disepakati istilah yang lebih tepat digunakan adalah disabilitas, sesuai dengan istilah yang digunakan secara internasional, termasuk yang digunakan untuk penamaan undang-undang. Secara sederhana disabilitas diartikan sebagai ketidakmampuan atau kekurangan (fisik atau mental) sehingga ditemui keterbatasan untuk melakukan sesuatu. Istilah difabel tetap bisa digunakan, terutama dalam konteks sosial. Penggunaan istilah difabel diterima lebih baik dalam pergaulan sehari-hari, meskipun dalam kaidah keilmuan istilah disabilitas lebih tepat digunakan.  

Uly Siregar, Blogger. @puanulyworks bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
Penulis: Uly SiregarFoto: Uly Siregar

Tantangan disabilitas 

Menjadi penyandang disabilitas berarti berhadapan dengan paradigma berpikir yang kerap mendiskriminasi golongan ini, meskipun secara legal hak penyandang disabilitas di Indonesia diatur dalam UU No. 8 tahun 2016. Mungkin karena masih termasuk baru, penerapannya belum maksimal. Secara internasional, hak-hak penyandang disabilitas pun baru diakui melalui Konvensi PBB yang dibentuk 2006, dan kemudian diratifikasi pada 2011. Konvensi PBB ini menjadi titik mula peran negara dalam mengakui hak kaum disabilitas.  

Betapa pun, bisa dibilang sulit menjadi penyandang disabilitas di Indonesia. Bila di negara maju penyandang disabilitas relatif lebih merdeka dan bisa mandiri, di Indonesia agak sulit melakukannya. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, tidak mudah bagi mereka beraktivitas di ruang publik. Mau menyeberang jalan susah, mau naik kendaraan umum apalagi, mau buang air pun tak semua toilet bisa diakses penyandang disabilitas. Harus diakui, fasilitas umum yang ramah terhadap penyandang disabilitas masih sangat minim. Kalau pun ada, sering tak terawat dengan baik atau tak digunakan sebagai mestinya. Misalnya, guiding block yang disediakan di trotoar tak bisa digunakan karena tertutupi oleh pedagang kaki lima. Atau tempat duduk khusus penyandang disabilitas di moda transportasi massal digunakan oleh penumpang yang bukan penyandang disabilitas.  

Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, Achsanul Habib, seperti dikutip Tempo, menyebutkan ada tiga tantangan utama dalam memajukan hak penyandang disabilitas, yakni hambatan sosial budaya yang mempengaruhi pola pikir terhadap kaum disabilitas, hambatan fisik dan geografis dalam pemberian pelayanan, dan ketidaktersediaan data tunggal yang komprehensif dan terpilah tentang penyandang disabilitas.  

Saya beranggapan stigma menjadi salah satu tantangan besar bagi penyandang disabilitas. Stigma bahwa penyandang disabilitas patut dikasihani hanya karena memiliki keterbatasan. Akibatnya masyarakat penyandang disabilitas kerap menghadapi diskriminasi. Bagaimana tidak, mereka dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan orang pada umumnya karena keterbatasan yang menyertai mereka. Disebutkan dalam Jurnal Psikologi bahwa diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dipengaruhi oleh stigma, baik yang eksplisit maupun implisit.  

Stigma terhadap penyandang disabilitas ini telah berumur panjang, dan memiliki sejarah yang kelam dan pahit. Di tahun 1400-an gereja diperbolehkan untuk membunuh penyandang disabilitas, bahkan membolehkan mereka diburu dan dibunuh. Akibatnya banyak perempuan penyandang disabilitas mengalami gangguan mental. Di tahun 1800-an penyandang disabilitas digambarkan sebagai sosok yang patut dikasihani dan dilakukan percobaan untuk seumur hidup melembagakan anak-anak penyandang disabilitas. Di tahun 1900-an pelembagaan anak-anak penyandang disabilitas menjadi sebuah norma, terutama bagi penyandang disabilitas mental. Di 1935 sepanjang Perang Dunia II, Hitler bahkan memerintahkan untuk melakukan euthanasia pada penyandang disabilitas.  

Tidak gampang memang hidup sebagai penyandang disabilitas. Banyak yang harus mereka hadapi selain kekurangan fisik, termasuk stigma. Tentu saja kini pandangan terhadap penyandang disabilitas tidak lagi se-ekstrem di tahun 1400-an, tapi dalam banyak hal tetap masih jauh dari setara dengan masyarakat yang bukan penyandang disabilitas.  

Apa yang harus dilakukan? 

Ketika stigma terhadap penyandang disabilitas masih kuat, tentu sulit untuk menjadikan penyandang disabilitas bagian inklusif dari masyarakat. Karena itu perlu terus-menerus diupayakan menghapus stigma yang telah berurat-berakar di masyarakat. Selain itu, stigma juga bisa dilawan dengan secara disiplin mengaplikasikan perundang-undangan yang ditujukan untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas. Untuk itu peran negara menjadi sangat penting. Negara memiliki otoritas dan sumber daya untuk mengadvokasi hak penyandang disabilitas melalui UU No. 8 tahun 2016. Persoalan muncul ketika penerapan kebijakan tidak dilakukan.  

Berkarya Tanpa Batas: Kisah Seorang Jurnalis Tunanetra

Menjadi mandiri adalah hal yang sangat penting bagi penyandang disabilitas. Agar bisa mandiri, penyandang disabilitas membutuhkan aksesibilitas. Bisa dibilang, aksesibilitas adalah kuncinya. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang disabilitas untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dasar tentang aksesibilitas ini tercantum dalam Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas.  

Dalam konvensi itu disebutkan, agar penyandang disabilitas bisa hidup mandiri, negara wajib memastikan akses bagi penyandang disabilitas terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi, komunikasi, termasuk sistem dan teknologi informasi dan komunikasi. Pemerintah juga menjamin akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lainnya, tak hanya di daerah perkotaan, tapi juga hingga ke pedesaan. Sangatlah penting untuk mengidentifikasi dan menghapus kendala-kendala yang menjadi halangan bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan aksesibilitas. Hambatan-hambatan akses tersebut di antaranya adalah hambatan arsitektural dan hambatan informasi dan komunikasi.  

Adalah kewajiban pemerintah untuk menciptakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Layanan publik seharusnya tersedia bagi semua masyarakat, termasuk penyandang disabilitas. Ini tak hanya menyangkut akses pada penggunaan gedung-gedung, jalanan, sarana transportasi dan fasilitas lainnya, tapi juga termasuk dalam soal sekolah, perumahan, layanan medis, pekerjaan, informasi dan komunikasi. Misalnya, kaum disabilitas memerlukan fasilitas bantuan pendengaran, penerjemah bahasa isyarat. Ini penting agar mereka bisa berpartisipasi dalam berbagai forum hingga suara mereka pun bisa didengar. Bisa jadi dengan lebih mendengar suara mereka, kita akan lebih bisa melakukan beragam advokasi agar penyandang disabilitas bisa menjadi bagian integral dan inklusif dari masyarakat, hingga akhirnya menihilkan diskriminasi.  

@puanulyworks bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.