1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Dua Imam Perempuan Pimpin Salat di Prancis

11 September 2019

Ibadah campuran pertama antara pria dan wanita di Prancis, dengan dipimpin dua imam muslimah, menuai kontroversi. Prancis bukan yang pertama di mana perempuan mengimami salat.

https://p.dw.com/p/3POcr
Frankreich | Weibliche Imame Anne-Sophie Monsinay und Eva Janadin in Paris
Foto: Getty Images/AFP/L. Bonaventure

Beberapa perempuan Muslim Prancis yang berusaha memimpin ibadah masih menghadapi tentangan. Namun demikian akhir pekan lalu, Sabtu (07/09) Eva Janadin dan Anne-Sophie Monsinay memimpin ibadah campuran gender yang diikuti 60-an orang. Diberitakan media la-croix.com, kaum muslim dan muslimah berlutut berdampingan, di sebuah ruangan di Paris yang disewa untuk salat. Demi alasan keamanan, lokasi salat itu dirahasiakan, demikian dikutip dari watson.ch.

Dilansir moroccoworldnews.com, tampak beberapa jamaah perempuan mengenakan jilbab. Yang lainnya tidak, termasuk dua imam tersebut. Khotbah disampaikan dalam bahasa Prancis. Ayat-ayat diterjemahkan dari bahasa Arab, secara sistematis, demikian laporan media en24.news.

Media Prancis rfi.fr memberitakan, Eva Janadin dan Anne-Sophie Monsinay menjadi mualaf sekitar satu dekade lalu dan pada tahun 2018 keduanya ikut mendirikan VIE (Suara Islam yang Tercerahkan) dengan tujuan membuka tempat di mana mereka bisa memimpin salat Jumat. Janadin memaparkan: "Semua pertemuan lainnya, yang diadakan setiap bulan, akan diadakan pada hari Jumat malam sejalan dengan praktik tradisional".

Membangun Islam Prancis dan tantangannya

Dilansir dari rfi.fr, VIE mengerjakan proyek bersama Fondapol (fondasi untuk inovasi politik) dan baru saja menerima dana untuk dapat berkhotbah sebulan sekali selama setahun. Idenya adalah untuk mengukur permintaan akan bentuk Islam inklusif ini yang menurut Janadin "mendamaikan iman dengan akal dan pemikiran kritis".

"Kami membantu membangun Islam Prancis, yang disesuaikan dengan apa yang telah dicapai oleh modernitas," katanya kepada Le Parisien, sebagaimana dikutip rfi.fr.

Dewan Kebudayaan Muslim di Perancis (CFCM), yang didirikan mantan Presiden Nicolas Sarkozy diberitakan media online watson.ch kerap mengambil posisi mediasi. Abdallah Zekri dari organisasi itu menentang imam perempuan dan ibadah campuran di masjid-masjid. Ia mengatakan: "Jika ada seorang wanita di depan Anda di masjid dan di belakang bokong mereka, Anda berlutut saat salat, itu tidak terlalu estetis. Agama-agama itu berumur beberapa abad dan tidak dapat dimodifikasi dari satu hari ke hari lainnya.”

Media rfi.fr memberitakan lebih lanjut, meski banyak tentangan, kedua muslimah itu berharap bisa menemukan tempat permanen pertama di Prancis yang akan dikelola oleh kaum wanita. Terinspirasi burung mitologis dalam puisi sufi, tempat ibadah ini akan dinamai Masjid Simorgh.

Muslimah Prancis desak berdirinya masjid inklusif

Proyek lain untuk membuka masjid serupa, dipimpin oleh Kahina Bahloul, seorang peneliti dalam Studi Islam. Bersama dengan Faker Korchane, ia berharap untuk membuka masjid Fatima dan baru saja meluncurkan kampanye crowdfunding guna mengumpulkan uang untuk bangunan masjidnya, demikian dikutip dari media online watson.ch.

Tetapi Bahloul yang berusia 40 tahun ini mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa dia kesulitan menemukan lokasinya.

"Menemukan tempat adalah hal yang paling sulit," kata Monsinay. "Mungkin ada masalah dengan istilah 'masjid' dan pesan yang dikirimnya. Namun itu hanya tempat di mana kita bisa berdoa."

Kekuatan patriarki

"Situasi ini rumit karena tidak ada dewan kota yang ingin membantu mereka," ujar Didier Leschi, presiden IESR (Lembaga Eropa untuk Ilmu Agama), kepada AFP.

Namun beberapa kaum perempuan bersikeras teologi Islam tidak melarang imam perempuan; hambatannya hanyalah budaya dan psikologis.

Menurut Tareq Oubrou, imam dari Bordeaux, "teks-teks itu tidak menentang imamah yang dipercayakan kepada kaum perempuan. Yang penting adalah kemampuan, bukan gender." Meskipun demikian, ia mengakui bahwa "struktur sosial di masjid tetap sangat konservatif."

Dilansir dari media rfi.fr, Dalil Boubakeur, rektor Masjid Paris dan presiden sementara CFCM (Dewan Agama Islam Prancis) menyebutkan: "Para imam kami sedang mempelajari teks-teksnya untuk melihat apakah ada dasar yang kuat membenarkan keinginan para wanita ini untuk dapat memimpin ibadah."

Prancis bukan yang pertama

Prancis "sedikit tertinggal" dari negara-negara barat lainnya, demikian menurut Ghaleb Bencheik, presiden Fondation de l'Islam de France (Yayasan Islam Prancis), sebagimana dikutip dari  rfi.fr.

AS telah memiliki imam perempuan sejak tahun 2005 ketika Amina Wadud pertama kali memimpin ibadah di New York.Di Denmark, imam Sherin Khankan membangun Masjid Mariam; Di Kanada, London dan Berlin juga ada para muslimah yang memimpin ibadah tanpa pemisahan gender.

Dilaporkan rfi.fr, baik Monsinay, Janadin dan Bahloul yakin ada dukungan di Prancis terhadap proyek-proyek mereka. "Ada kaum minoritas yang diam, mungkin minoritas yang cukup besar, dari kaum muslim progresif, yang tidak pergi ke masjid tradisional dan akhirnya salat sendirian," ujar Monsinay. "Mereka sedang menunggu proyek semacam ini."

ap/vlz (en24.news, watcon.ch, rfi.fr,afp, la-croix.com, moroccoworldnews.com, der standard, general-anzeiger, twitter)