1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Etika Sosial Berbasis Budaya Lokal

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
25 Agustus 2023

Sebuah pertanyaan yang menggelitik dan lumayan sulit untuk dijawab: bisakah membangun sebuah etika sosial yang berbasis budaya lokal nusantara atau Indonesia? Opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/4KIIW
Pertunjukan musik gamelan
Gamber ilustrasi budaya lokalFoto: WF Sihardian/NurPhoto/imago images

Ini adalah sebuah topik diskusi yang digelar oleh Universitas Kristen Satya Wacana beberapa waktu lalu. Topik ini penting mengingat banyak masyarakat Indonesia, baik elite maupun nonelite, yang seolah sudah meninggalkan budaya lokal nusantara/Indonesia dalam beretika sosial.

Memang banyak masyarakat Indonesia yang seakan-akan tidak menjadi bagian dari bangsa Indonesia, baik dalam berpolitik, beragama, dan bermasyarakat. Ungkapan "Wong Jowo ilang Jowone” (orang Jawa kehilangan Jawanya) bisa diperluas cakupannya menjadi "orang Batak kehilangan Bataknya,” "orang Sunda kehilangan Sundanya,” "orang Madura kehilangan Maduranya”, "orang Betawi kehilangan Betawinya,” dan seterusnya.  

Ungkapan ini untuk mengekspresikan tentang perubahan sosial di mana masyarakat lokal sudah tidak lagi peduli dengan dan bahkan sudah kehilangan lokalitas mereka (identitas, budaya, tradisi, bahasa, tata-krama, etika, dlsb). Fenomena ini bisa ditunjukkan dengan, misalnya, semakin menurunnya apresiasi publik terhadap seni-budaya, adat-istiadat lokal, atau "local wisdom” pada umumnya. Pula, hal ini bisa dilihat dari tata-krama, etika sosial, atau fatsun politik masyarakat elite dan nonelite.

Memudarnya apresiasi terhadap budaya lokal itu disebabkan oleh banyak hal, misalnya, perilaku politik yang tidak manusiawi dan tidak berkeadilan, pengembangan bisnis yang serakah, praktik agama yang tidak berketuhanan dan berkemanusiaan, globalisasi yang menyerbu semua kawasan, perkembangan pesat teknologi informasi dan internet, apatisme aparat pemerintah dan masyarakat, proses modernisasi, dan sebagainya.

Etika Sosial dan Budaya Lokal

Apakah etika sosial itu? Ada beberapa pengertian tentang etika sosial. Ada yang mendefinisikan etika sosial sebagai "the collection of values, norms, and behaviors of a given culture.” Yang lain mendefinisikan etika sosial sebagai "the philosophical and moral principles that represent the collective experience of people and culture.” Dari sini bisa disaripatikan kalau etika sosial adalah sebuah kumpulan nilai, norma, perilaku, dan aturan yang dijadikan sebagai guidelines (juklak dan juknis) dan prinsip dalam berkehidupan sosial di masyarakat.

Sementara itu definisi budaya lokal adalah sebuah produk kebudayaan – baik kebudayaan bendawi (material culture) maupun nonbendawi (nonmaterial culture) yang ada di masyarakat dan dipraktikkan secara turun-temurun oleh mereka di berbagai daerah di Indonesia. Dalam antropologi, tema budaya bisa mencakup produk pemikiran (konsep, gagasan, ideologi, agama, aturan dan lain-lain), produk tindakan (misalnya perilaku dan aksi sosial), dan karya material (karya berujud benda seperti artefak, buku, komputer, baju dan seterusnya).

Sebagai sebuah produk pemikiran dan tindakan, sebuah kebudayaan tentu saja sangat variatif atau beragam. Dengan kata lain, tidak semua kebudayaan, baik lokal maupun global, bersifat baik dan positif. Ada banyak produk, ekspresi, dan praktik kebudayaan yang bersifat buruk dan negatif. Misalnya, korupsi, kolusi, nepotisme, radikalisme, rasisme, etnosentrisme dan banyak lagi yang lainnya secara umum dipandang negatif. Sebaliknya, perdamaian, nirkekerasan, toleransi, pluralisme, humanisme, sopan-santun, dan banyak lagi lainnya secara umum dianggap positif.

Aneka Ragam Budaya Lokal Indonesia

Seperti di negara dan masyarakat lain, dua bentuk ekspresi kebudayaan tersebut (baik-buruk, positif-negatif) juga ada dan dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia. Selain dua bentuk ini, ada juga produk kebudayaan yang berkonotasi "ambigu” atau berada di "wilayah abu-abu” yang bisa bermakna baik-positif atau buruk-negatif tergantung dari bagaimana kita memahami, memaknai, mengotekstualkan, atau mempraktikkan di masyarakat.

Misalnya, ungkapan masyarakat Jawa "sing waras ngalah” (yang sehat [pikiran, moral, da spiritual] mengalah). Ungkapan ini bisa baik-positif tetapi juga bisa buruk-negatif. Misalnya, jika orang-orang yang "waras” itu mengalah, maka orang-orang yang "nggak waras” (seperti orang-orang cacat moral, tuna wawasan, miskin idealisme dlsb) yang akan memimpin, menguasai, mengontrol, dan mengatur produksi wacana kebudayaan di masyarakat termasuk sistem ekonomi-politik, diskursus keagamaan, aturan hukum dan perundangan dan sebagainya. Idealnya atau seharusnya "yang waras” tidak boleh mengalah dan tunduk begitu saja dengan mereka yang "enggak waras.” 

Ungkapan lain, "mangan ora mangan ngumpul” (makan tidak makan yang penting berkumpul). Ungkapan ini juga bisa berkonotasi dan berimplikasi kurang baik jika tidak dimengerti dengan baik. Ungkapan ini sebetulnya untuk menunjukkan budaya kolektif masyarakat Jawa yang memprioritaskan kebersamaan (bersama keluarga khususnya). Tetapi dalam perkembangannya, budaya berkumpul tidak bisa mengalahkan perut lapar. Apalah artinya berkumpul kalau perut lapar?

Dengan kata lain, karena faktor perekonomian dan kemiskinan, banyak masyarakat Jawa yang akhirnya memilih jalan untuk merantau baik di Indonesia maupun mancanegara. Ada yang memilih jalan urbanisasi (merantau ke kota), ikut program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah, atau melalui jalur emigrasi (merantau ke luar negeri).

Budaya Lokal untuk Pembangunan Etika Sosial 

Melihat aneka ragam ekspresi dan produk budaya lokal, lantas, kebudayaan lokal seperti apa yang bisa dijadikan sebagai basis atau dasar untuk membangun sebuah etika sosial? Pertanyaan lain, karena ekspresi dan budaya budaya lokal di berbagai daerah di Indonesia itu variatif dan berbeda-beda satu dan lainnya, budaya lokal daerah mana yang bisa dijadikan sebagai "representasi” pedoman beretika sosial di tingkat nasional?

Tentu saja idealnya atau seharusnya kebudayaan lokal yang baik-positif yang dijadikan sebagai fondasi pembangunan etika sosial. Pula, pembangunan etika sosial berbasis budaya lokal tidak perlu dipahami secara eksplisit dan "leterlek” bahwa masing-masing budaya lokal dan adat-istiadat di tiap daerah harus direpresentasikan di tingkat nasional.

Harap diingat tidak semua tradisi-budaya lokal daerah tertentu bisa diimplementasikan secara nasional menjadi sebuah"a shared culture” karena banyak tradisi-budaya yang bersifat partikular atau hanya bisa dipraktikkan oleh masyarakat daerah tertentu saja (misal, tradisi merayakan kematian di masyarakat Toraja atau tradisi "potong jari” masyarakat suku Dani sebagai simbul duka cita dan empati terhadap anggota keluarga yang meninggal).

Tetapi ada pula tradisi-budaya lokal yang memiliki spirit universal sehingga bisa dipraktikkan di mana saja dan oleh kelompok suku-bangsa mana saja. Misalnya tradisi perdamaian seperti pela-gandong di Maluku atau hambor di Manggarai (Flores) memilik spirit universal yang melintas batas geografi dan budaya-agama mana saja sehingga bisa dijadikan sebagai contoh untuk membangun etika sosial nasional.

Contoh lain adalah budaya gotong-royong juga hampir semua ada di berbagai daerah di Indonesia. Begitu pula sistem kepercayaan terhadap Tuhan juga dipraktikkan oleh berbagai masyarakat. Ideologi Pancasila sebetulnya bisa dikatakan sebagai salah satu produk "etika sosial” atau "etika publik” menurut pendapat John Ruhulessin yang diambil dari budaya lokal Indonesia yang dinilai positif seperti ketuhanan, bermusyawarah dan seterusnya.

Jelasnya, budaya lokal bisa dijadikan sebagai basis membangun etika sosial. Hanya saja diperlukan proses yang arif, bijak, dan demokratis agar tidak menimbulkan gejolak sosial serta bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat dari suku, agama, etnis, dan golongan mana saja yang tinggal di teritorial Indonesia.

Sumanto Al Qurtuby (Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.