1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

‘’Früchtlinge’’ - Instalasi Seni dari Paduan Bahan Makanan

Sorta Caroline
2 Juli 2019

Flüchtlinge dalam bahasa Jerman berarti pengungsi, sedang Früchte berarti buah-buahan. Lewat metafora buah-buahan, Elia Nurvista menggambarkan kehidupan para pengungsi atau migran yang masuk ke wilayah Uni Eropa.

https://p.dw.com/p/3LO4Y
Karya seni Elia Nurvista
Instalasi Früchlinge di Künstlerhaus Bethanien, Berlin 2019Foto: Elia Nurvista

Seniman asal Jogjakarta, Elia Nurvista mengakhiri satu tahun residensinya di Berlin Jerman lewat proyek berjudul “Früchlinge”. Kehidupan di Berlin selama setahun jadi inspirasinya berkarya. Wacana makanan jadi keunikan seorang Elia Nurvista dalam berkarya. Baginya makanan punya banyak kisah dari sejarah, sosial, hingga politik. Berikut wawancara DW dengan Elia Nurvista.

 

Deutsche Welle (DW): Pesan apa yang Elia ingin sampaikan dari instalasi Früchtlinge di Berlin?

Elia Nurvista: Karya ini berangkat dari ketertarikan saya soal eksotis. Aku merasa banyak orang Eropa melihat buah naga sebagai sesuatu yang eksotis, misalnya. Dan aku juga merasa sempat mengesotisasi buah yang jarang aku temukan di Indonesia, seperti buah ara, delima, dst. Tapi aku juga merasa ada ironi disini, kita sepertinya obsesif dengan sesuatu yang eksotis jika itu bahan makanan, tapi lain halnya saat bertemu dengan manusianya (dari negara buah ini berasal), kita berkesan lebih diskriminatif.

Lalu untuk karya ini aku membuat beberapa karya, salah satunya kolase dari lukisan Still Life, teknik lukisan Eropa yang dikenal banyak dibuat oleh pelukis Renaissance Belanda, dengan tipe melukis objek (benda natural atau benda buatan manusia seperti buah, makanan, buku hingga perhiasan, dsb) yang diletakkan dalam satu tempat yang sama. Dari lukisan still life buah ini kemudian aku kolase  dengan stiker buah yang biasa kita temukan, dimana stiker ini kadang-kadang mengandung pesan bernuansa “rasis” seperti “Latin pride” atau “touch of France”.

Lalu ada juga kolase “Nobel Savage” sebuah karakter dari literatur yang dikenal di Germania hingga Eropa Barat abad ke-17. Karakter ini menggambarkan suku pedalaman asli yang belum terpengaruh oleh peradaban. Banyak pelukis Eropa, yang punya imajinasi soal tempat tropis dan suku yang eksotis dimana penduduknya belum mengenal peradaban. Aku pun membuat kolase dari ide ini dan memasukkan juga pesan humor.

Selain itu aku juga membuat video animasi 3D soal buah-buah yang  yang kubuat dari kebijakan import buah EU, aku padukan teks-teks aturan itu dan membandingkannya dengan persoalan kebijakan migrasi, misalnya birokrasi saat mengurus visa.

Aku memvisualkan layaknya mesin pindai seolah mengecek dari mana asalnya dan apakah “buah migran” ini bisa berintegrasi atau tidak dengan ‘pasar’ Uni-Eropa. Integrasi ini kata yang sering dipakai disini untuk para migran.

Terakhir aku buat juga patung gerbang berbahan dasar tepung. Idenya dari mata uang Euro yang hampir keseluruhan ditemukan logo gerbang seolah menggambarkan ‘kita terbuka lho… selamat datang!’, yang sebenarnya ironi juga…

Proses bekerja seniman Elia Nurvista
Elia saat membuat karya dari bahan makananFoto: Elia Nurvista

Banyak karya Elia sebelumnya juga berkisah tentang migran. Apa yang menginspirasi mbak untuk mengangkat kisah tentang migran ini?

Saat awal tiba di Berlin, saya banyak melihat dan merasa isu tentang migran sangat kuat, mulai dari berita2 sampai apa yg saya lihat sendiri di daerah tempat saya tinggal, di Kottbuser Tor. Lalu saya sering ikut workshop dan event-event terkait migran. Pernah masak juga untuk para migran.

Sebenarnya inspirasi lebih dapat dalam kehidupan sehari-hari, di pasar atau situasi daerah sekitar saya tinggal yang dikenal sangat “diverse community”. Tapi lambat laun saya merasa, bukanya hidup dalam dinamika keberagaman, tetapi lebih pada situasi paralel antar komunitas yang hidup di suatu area. Misalnya, selain belanja di toko Turki, mungkin kelompok dari latar belakang lain(selain Turki) tidak pernah saling terhubung. Hubungan mereka hanya sebatas bisnis.

Bagaimana awal kisah hingga Elia hingga akhirnya sering menarik wacana makanan dalam berkarya?

Awalnya karena hobi memasak. Saya dulu bekerja di kantor desain interior dan di waktu luang saya browsing resep – berpikir masak apa ya. Dari situ  mulai terobsesi dengan masak dan resep-resep. Banyak juga mengikuti food blogger Indonesia di luar negeri saat itu, mereka ibu rumah tangga yang kangen masakan Indonesia tapi tidak ada bumbu Indonesia di sana – jadi mereka berkreasi cari bumbu pengganti. Lama kelamaan kenapa ya resep-resep ini menarik buatku, mulai dari bicara soal bahan atau materialnya.

Kelamaan aku pun makin sering masak, sering undang teman-teman, karena aku kurang begitu suka makan banyak. Jadi teman-teman sering datang ke rumah karena ada makan gratis. Baru dari situ bikin proyek pertama soal makanan, saat  tahu ada kesempatan residensi pertama di Jepang dengan tema “Re-visit” atau mengunjungi kembali. Aku pun memasukkan proyek “Testing Memory” mempelajari sejarah keluarga lewat resep masakan mereka. Rancangan proyekku diterima dan dari situ aku mendapat residensi di Jepang selama tiga bulan. Sebenarnya tidak menyangka ya dari hobi masak bisa jadi praktek seni.

Dari situ lalu berlanjut, apa lagi yang bisa digali lewat makanan – terus aku sempat bikin proyek sendiri “Adiboga Wonosari” berupa “Dapur umum” di galeri bernama Kedai Kebun Forum di Yogyakarta. Saat itu yang aku bahas adalah makanan di Wonosari, iseng dari mengunjungi pasar disana dan mereka menjual makanan seperti Cabuk yang menurutku itu aneh. Ternyata itu ampas (residual) dari pembuatan minyak wijen/kacang, mereka juga buat makanan dari sisa sisa nasi.

Dari situlah aku terinspirasi bagaimana jika orang-orang memasak masakan a la “fine dining” tapi dari bahan residual. Awalnya aku yang eksperimen memasak, lama-lama orang-orang antusias dan bergantian memasak.

Lalu perjalanan berlanjut. Tahun 2014 di Inggris, London ada kesempatan residensi dengan tema utama “Politic of Food”. Aku daftar dan keterima. Aku pun membuat jamuan “Rijstafel” jamuan makan Indonesia berkisah tentang pesan feodalisme, saat Belanda menjajah Indonesia saat itu.

Seniman Elia Nurvista dan timnya
Elia Nurvista dan BakudapanFoto: Elia Nurvista

Saat meriset makanan, Elia tidak sendiri tapi juga dengan food study group Bakudapan, sejauh ini apa saja yang diteliti Elia dengan Bakudapan?

Tahun 2015 aku bersama kawan-kawan antropologi UGM membuat food study group yang meriset makanan. Kami juga membahas makanan dengan kaitan politis seperti: buruh migran dan bagaimana relasi kuasa di dapur. Ternyata ada tegangan soal memasak antara tenaga kerja (asisten rumah tangga) dengan majikannya. Tapi kita pun menyasar yang lebih luas seperti apa kebijakan mengenai asisten rumah tangga.

Kita juga bahas soal pangan liar lewat diskusi dengan ibu-ibu mantan tahanan politik 1965, yang dulunya di Kamp Pelantungan. Pangan yang berasal dari tanaman liar ini dikonsumsi orang jaman dulu, tapi karena pasar dan industri berubah tidak ada lagi yang menganggapnya bahan makanan. Kita pun hanya konsumsi apa yang disediakan di pasar atau supermarket. Bakudapan bikin riset dan menemukan bahwa dulu ibu-ibu ini makan tumbuhan liar seperti Bunga Telang, Daun Kelor, Pegagan.

Kita pun memasak pangan liar tersebut menjadi pecel dan kita bawa ke pasar induk (Beringharjo) sambil tanya-tanya ke orang pasar apa mereka tahu atau tidak dengan tumbuhan-tumbuhan liar yang sudah kita buat jadi pecel ini. Responnya malah positif, mereka berbagi memori mereka terhadap makanan itu. Ada yang cerita pengalamannya saat neneknya membuat makanan itu untuk mereka.

Metode Bakudapan lebih akademis – mereka menerbitkan jurnal, membuat literatur, penelitian terstruktur, sedangkan aku lebih eksploratif.

Tapi mereka juga dinamis dari segi metode, bukan sekedar kualitatif atau kuantitatif atau sekedar sebar angket, mereka juga buat tur misalnya tur makanan cepat saji. Mereka membandingkan makanan cepat saji merek ternama dengan buatan lokal. Sembari makan mereka pun sembari diskusi dan riset sensori hingga riset terhadap efek sosial yang dirasakan.