1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ibu Kota Baru dan Kontinuitas Aksi Kamisan

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
4 April 2020

Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, sudah menginjak tahun ke-13, dan belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir. Apa hubungannya antara aksi ini dengan rencana perpindahan ibu kota?

https://p.dw.com/p/3Z5kc
Aksi protes di Jakarta dengan payung hitam
Foto ilustrasi aksi protesFoto: picture-alliance/ZUMA/N. Hanoatubun

Militansi dan stamina partisipan Aksi Kamisan sungguh luar biasa. Mereka seolah tidak peduli aksi mereka diperhatikan penguasa negeri atau tidak.

Bagi yang pernah mengikuti sekali atau dua kali Aksi Kamisan, akan selalu terlihat wajah-wajah milenial yang kerap muncul. Bisa jadi mereka belum lahir, ketika peristiwa-peristiwa (pelanggaran HAM) yang mereka suarakan itu terjadi, seperti Peristiwa 1965 dan pelanggaran HAM di tahun-tahun 1997- 1998. Artinya selalu terjadi regenerasi pada komunitas pembela HAM, dan fenomena ini sungguh memberi harapan, terutama bagi keluarga korban.

Dengan atmosfer seperti itu, rasanya tidak masalah juga, bila kelak ibu kota negara akan dipindahkan, mengingat Aksi Kamisan sudah menjadi gerakan nasional, yang juga dilakukan di kota lain (selain Jakarta).

Bila penguasa tidak memperhatikan isu pelanggaran HAM, bukankah itu sudah terjadi sejak dulu. Kepindahan ibu kota, hanya sekadar penegasan, bahwa negara sejatinya tidak bersedia bersinggungan dengan isu HAM, terlebih rezim Jokowi sekarang, yang begitu gandrung dengan proyek infrastruktur.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Persilangan kekuasaan dan  HAM

Perjuangan penyelesaian HAM di negeri ini sungguh berat dan panjang. Saya jadi teringat dengan perjuangan aktivis-aktivis kemerdekaan Timor Leste dulu, yang terus berjuang mencapai kemerdekaan, tanpa bisa dipastikan kapan kemerdekaan itu akan tiba, meski pada akhirnya tiba juga. Perjuangan HAM di tanah air bisa jadi juga akan menyusuri lorong waktu seperti itu.

Bila kekuasaan selalu mengingkari (denial) kasus pelanggaran HAM, tentu ada landasan historisnya, sebab hampir semua pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu adalah bagian dari peralihan rezim. Peralihan rezim pada tahun 1965 dan 1998 adalah contoh terbaik, bagaimana sebuah alih kekuasaan  harus  didahului  peristiwa berdarah-darah. Dan darah di sini bukanlah kiasan, namun memang begitulah terjadi.

Berdasarkan fakta lapangan, memang cukup beralasan bila rezim berikutnya tidak bersedia mengungkap atau menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada periode transisional, mengingat rezim berikutnya adalah bagian dari pelanggaran HAM tersebut, yang bila dibuka sama saja membuka aib sendiri. Seperti istilah sekarang yang sedang viral, ibarat menampar pipi sendiri, baik pipi kiri maupun pipi kanan.

Pada Peristiwa 1965 misalnya, baik rezim Soeharto, maupun rezim-rezim sesudahnya, mustahil akan menyelesaikannya, bahkan sekadar kata maaf. Peristiwa 1965 saya kira akan tetap jadi misteri, dan itu memang disengaja. Sebab peristiwa tersebut banyak melibatkan unsur pimpinan TNI, khususnya TNI AD. Soeharto dan lingkaran elite TNI AD bisa berkuasa begitu lama, adalah berkat  dari Peristiwa 1965, yang sekelompok jenderal itu memang terlibat.

Asumsi itu masih berhubungan dengan situasi kekinian, ketika Jokowi masih dikelilingi para jenderal senior yang tahu persis bagaimana Peristiwa 1965 itu dijalankan. Jenderal dimaksud adalah Hendro Priyono (Akmil 1967), Agum Gumelar (Akmil 1968), Wiranto (Akmil 1968), Luhut B Panjaitan (Akmil 1970), dan seterusnya, yang pengaruhnya terhadap Jokowi sudah menjadi rahasia umum.

Demikian juga pada peralihan kekuasaan pada tahun 1998, sama saja keadaannya, selamanya tetap akan jadi misteri, dan siapa "dalang” sesungguhnya  dari peristiwa tersebut, akan berhenti menjadi pertanyaan dari generasi ke generasi. Konstruksi kasusnya kurang lebih sama dengan Peristiwa 1965, bahwa jenderal-jenderal yang memegang posisi kunci pada 1998, masih ada di sekitar Jokowi, bahkan memperoleh jabatan terhormat, seperti Prabowo (Menhan) dan Wiranto (Ketua Wantimpres).

Menkopolhukam bukan harapan

Dari nomenklatur kelembagaan, pejabat tertinggi yang menjadi jangkar terkait masalah (pelanggaran) HAM adalah Menkopolhukam, yang untuk periode sekarang dipegang oleh Mahfud MD (MMD). Sejak kali pertama namanya diumumkan di tangga istana sebagai Menkopolhukam, apatisme sudah mulai muncul di komunitas keluarga korban pelanggaran HAM, termasuk para pembela HAM (human right defender).

Prospek MMD sudah terbaca sejak awal, bahwa MMD tampak sangat menikmati posisinya sebagai bagian elite di Istana. Integritas MMD sudah diragukan, utamanya ketika dihubungkan dengan peristiwa beberapa bulan sebelumnya, saat dirinya dibatalkan oleh Jokowi sebagai cawapres pada menit-menit akhir. Bila MMD memiliki integritas, tentu dia akan menolak jabatan Menkopolhukan, mengingat dirinya pernah dipermalukan Jokowi. Namun siapa yang sanggup menolak jabatan, meminjam istilah pujangga pamungkas Ronggowarsito, di "Zaman Edan” seperti sekarang, di tengah antrean panjang menuju karpet merah kekuasaan.

Pada akhirnya MMD hanya bertumpu pada jabatan dan kekuasaan dalam penyelesaian HAM. Pada hari-hari pertama MMD sudah menyampaikan pernyataan prematur, dengan menyebut tidak ada pelanggaran HAM di periode pertama pemerintahan Jokowi. Pernyataan ini langsung mentah, ketika Komnasham menyatakan kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat. Tragedi Paniai (Papua), terjadi pada awal Desember 2014, belum genap dua bulan setelah Jokowi dilantik sebagai presiden.

Narasi MMD terkesan manipulatif. Namun itu wajar saja, mengingat MMD sekadar menyesuaikan iramanya saja dengan Jokowi, yang pada dasarnya memang enggan bersinggungan dengan isu HAM. Bagi figur berpengalaman seperti MMD, termasuk berpengalaman dalam  civil society movement, bukan perkara sulit dalam mengatur kata-kata. Saya kira MMD paham benar apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, namun realitas itu sudah diolah sedemikian rupa, agar seirama dengan pimpinan yang lebih tinggi.

Dengan mengamati gaya kepemimpinan MMD atau pejabat negara yang lain, kita melihat ada yang linear dengan gaya pejabat era Orde Baru. Sistem politik Orde Baru dikenal tertutup dan otoriter, artinya segala pernyataan menteri atau pejabat negara harus dianggap sebagai kebenaran tunggal, tidak ada kebenaran tandingan di luar pernyataan itu. Sementara di era informasi digital seperti sekarang, kita bisa memperoleh informasi dari berbagai sumber. Bila pejabat masih (setengah) memaksakan, bahwa ucapannya sebagai kebenaran tunggal, tentu hanya akan jadi bahan tertawaan masyarakat.

Sebenarnya ada satu status yang  bisa dijadikan alasan keluarga korban dan para pembela HAM,  untuk menaruh harap pada MMD, sebagai satu-satunya figur berlatar belakang sipil murni yang dipercaya menjabat Menkopolhukam. Namun harapan itu sudah pupus sejak hari pertama namanya diumumkan sebagai menteri.

Komnasham diajak belakangan

Dengan melihat kecenderungan rezim sekarang yang abai terhadap pelanggaran HAM, sepertinya Komnasham tidak disertakan dalam rencana pindah ibu kota kelak, yang gelombang pertamanya sudah dimulai tahun 2024. Seandainya kantor atau sekretariat Komnasham ikut pindah pun, mungkin pada gelombang terakhir. Setiap membahas rencana ASN yang akan boyong ke ibu kota yang baru, Komnasham tidak pernah disebut-sebut Jokowi.

Bila kita perhatikan figur komisioner periode sekarang, umumnya adalah aktivis yang sebelumnya dikenal tangguh di sektor masing-masing, seperti Ahmad Taufan Damanik (advokasi anak jalanan), Sandra Moniaga (isu lingkungan), Amiruddin (isu buruh dan hak berdaulat rakyat Timor Leste), Choirul Anam (advokasi HAM Aceh dan Papua), dan seterusnya.

Namun persoalannya ada pada second liner, yakni para staf di sekretariat Komnasham, yang umumnya berstatus sebagai ASN, termasuk posisi Sekjen, yang merupakan eselon I dalam birokrasi pemerintahan. Karena status sebagai ASN itulah, staf Komnasham seolah ragu dalam melakukan advokasi atau pembelaan isu HAM, karena kebijakan negara yang sengaja abai terhadap masalah tersebut.

Kompleksitas itu masih bertambah lagi berdasar kenyataan, masyarakat kita yang biasa terpapar amnesia sejarah, khususnya dalam isu HAM. Sehingga bila sekretariat Komnasham diajak pindah pada "kloter” terakhir pun, publik rasanya juga kurang peduli. Bagaimana mengawal isu HAM, bila hidup rakyat sehari-hari sudah sulit. Rakyat kita baru bangkit mempersoalkan isu HAM, bila dia sendiri yang pernah mengalami pelanggaran itu.

Terkait isu HAM, kelak ibu kota negara yang baru, akan memperoleh julukan yang unik: ibu kota negara yang steril dengan isu HAM. Yang artinya juga terbebas pula dari aksi rutin tiap Kamis sore.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.