1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MigrasiEropa

Impian Warga Tunisia Pindah ke Jerman Secara Legal

6 Desember 2022

Sebagai bekas koloni Prancis, rakyat Tunisia telah lama terbiasa dengan beragam bahasa asing, dan sangat terbuka terhadap budaya lain. Mengapa mereka sekarang lebih memilih Jerman daripada Prancis?

https://p.dw.com/p/4KULv
Ilustrasi pekerja migran di Jerman
Ilustrasi pekerja migran di JermanFoto: Sven Hoppe/dpa/picture alliance

Jerman menjadi negara tujuan utama bagi para pemuda Tunisia yang kecewa akan keadaan di negaranya. Negara ini dipilih oleh warga Tunisia meski ada kendala bahasa dan sejarah panjang hubungan mereka dengan Prancis.

Sebagai negara perekonomian terbesar Eropa dan dengan tingkat kelahiran yang rendah, Jerman sangat membutuhkan tenaga kerja. Sementara banyak warga Tunisia merasa jenuh dan letih dengah krisis ekonomi berkepanjangan. Mereka pun melihat peluang emigrasi secara legal.

Jumlahnya memang masih terbilang kecil tapi cenderung naik dengan cepat. Dari Januari hingga Oktober, 2022 Jerman memberikan 5.474 izin kerja kepada warga Tunisia. Jumlah ini meningkat dari 4.462 izin yang diberikan sepanjang tahun lalu, dan naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2020. Tren ini didorong oleh fakta bahwa Jerman tidak memiliki batasan kuota untuk negara asal dan semakin banyak mengakui ijazah asing.

Jerman "punya kebutuhan besar akan pekerja, tidak hanya di sektor kesehatan dan TI tetapi juga di bidang perhotelan, pembangunan, pemasangan kabel serat optik atau mengemudikan kendaraan barang berat," kata Narjess Rahmani, warga Tunisia yang tinggal di Berlin. Ia mengepalai sebuah agensi imigrasi bernama Get In Germany.

Kuasai bahasa asing

Yeft Benazzouz, pengelola sekolah bahasa di ibu kota Tunis, mengatakan permintaan untuk kelas bahasa Jerman meningkat tajam sejak 2020. "Sebelumnya, saya memiliki kelompok yang terdiri dari satu atau dua orang," ujar Benazzouz. "Sekarang meningkat jadi enam atau tujuh."

Selain bahasa, ia juga mengajarkan norma dasar budaya Jerman, termasuk nasihat bahwa puenktlich ist schon spaet yang berarti "tepat waktu artinya sudah terlambat."

Sebagai bekas koloni Prancis, rakyat Tunisia telah lama terbiasa dengan bahasa asing, kata Rahmani. "Kami juga sangat terbuka terhadap budaya lain, melalui pariwisata dan perpaduan budaya sepanjang sejarah kami."

Sebuah toko di Jerman terpaksa tutup karena kekurangan tenaga kerja
Sebuah toko di Jerman terpaksa tutup di hari-hari tertentu karena kekurangan tenaga kerja.Foto: Stefan Sauer/dpa/picture alliance

Para siswa dari sekolah bahasa di Tunisia sering kali berkualifikasi tinggi, karena sistem pendidikan mereka adalah salah satu yang paling terkemuka di dunia Arab. Namun negara itu dihantui angka pengangguran yang memengaruhi sekitar 30% lulusan mudanya. 

Insinyur hidrolik bernama Nermine Madssia, 25, yang mengenakan jilbab, lebih memilih Jerman daripada Prancis untuk menghindari islamofobia. Dia berharap mendapatkan "rasa hormat, pertimbangan dan gaji yang layak," di Jerman, berbeda dengan Tunisia di mana gaji rata-rata bidang pekerjaanya hanya 1.000 dinar (sekitar Rp4,89 juta) per bulan.

Seperti banyak orang yang bercita-cita meninggalkan Tunisia, Nermine mendapat bantuan dari orang tuanya dalam membiayai pelajaran bahasa Jerman dan aplikasi visa.

Inflasi per tahun pada bulan Oktober di Tunisia mencapai mencapai 9,0%. Negara ini juga mengalami krisis ekonomi berkepanjangan, bahkan sebelum revolusi 2011 yang menggulingkan Zine El Abidine Ben Ali. Perebutan kekuasaan oleh Presiden Kais Saied tahun 2021 juga tidak banyak membantu meningkatkan kepercayaan ekonomi.

Pilih emigrasi jalur legal

Satu dari setiap dua anak muda Tunisia menyatakan ingin beremigrasi, menurut organisasi Tunisian Forum for Economic and Social Rights. Ada yang pergi secara legal, termasuk lebih dari 40.000 insinyur dan 3.300 dokter dalam lima tahun terakhir. Sementara ribuan lainnya mencoba rute ilegal dan berbahaya ke Italia dengan perahu darurat, banyak yang tenggelam di tengah perjalanan.

Di antara mereka yang pergi secara legal adalah Elyes Jelassi, 28. Sebotol minyak zaitun dan beberapa bumbu ia bawa ke dalam koper saat bersiap pergi ke Jerman. Dia awalnya tidak berniat pergi dari Tunisia. Namun "setelah tiga tahun belajar dan magang di beberapa rumah sakit, saya memutuskan untuk tidak berkarier di Tunisia," ujar Jelassi.

Jelassi sudah mendapatkan kontrak kerja sebagai perawat senior di kota Wiesbaden, Jerman, dengan akomodasi gratis selama enam bulan pertama. Selain gaji yang bagus, dia berharap mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan dengan di Tunisia, di mana sistem kesehatan telah lumpuh akibat pandemi dan pengabaian selama bertahun-tahun.

UE perketat rute Balkan Barat

Sementara itu, guna menekan lahu migrasi ilegal ke Uni Eropa (UE) lewat jalur Balkan, Komisi Uni Eropa meluncurkan rencana aksi mereka pada hari Senin (05/12). Komisi UE ingin meningkatkan manajemen perbatasan di wilayah tersebut, dan menyelaraskan kebijakan visa serta mendukung pendaftaran pencari suaka, kata Wakil Presiden Komisi UE, Margaritis Schinas.

Komisioner UE mengatakan Serbia telah mengakhiri perjanjian bebas visa dengan Burundi dan Tunisia dan telah berjanji untuk melakukan hal yang sama dengan India.

Tindakan ini diambil setelah terjadi lebih dari 22.000 percobaan penyeberangan perbatasan ilegal di Balkan Barat pada Oktober 2022. Jumlah ini 159% lebih banyak dibandingkan tahun 2021, menurut data dari Frontex, badan perlindungan perbatasan UE.

Mayoritas pendatang yang mencoba memasuki UE berasal dari Suriah, Afganistan, dan Turki, lapor Frontex. Kebanyakan orang yang datang ke blok UE tanpa visa datang melalui Serbia, kata Komisaris Urusan Dalam Negeri UE Ylva Johansson.

ae/hp (AFP, dpa)