1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Intelijen AS-Inggris-Libya Pernah Kerjasama?

3 September 2011

Sejumlah dokumen yang ditemukan di gedung pemerintahan Libya menunjukkan kerjasama erat antara biro intelijen AS dan Inggris dengan rezim Muammar Gaddafi. Termasuk pengiriman tersangka teroris ke Libya untuk interogasi.

https://p.dw.com/p/12Sfn
Mantan PM Inggris, Tony Blair (kiri), berjabat tangan dengan pemimpin Libya, Muammar Gaddafi, di Tripoli, 25 Maret 2004.
Mantan PM Inggris, Tony Blair (kiri), berjabat tangan dengan pemimpin Libya, Muammar Gaddafi, di Tripoli, 25 Maret 2004.Foto: AP

Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) di bawah pemerintahan mantan presiden George W. Bush membawa sejumlah tersangka teroris ke Libya dan menyarankan tim pemeriksa Libya yang menginterogasi mereka. Demikian isi laporan harian The Wall Street Journal yang dikutip dari dokumen yang ditemukan di markas Organisasi Keamanan Eksternal Libya.

Harian Inggris The Independent juga menyebutkan bahwa sejumlah dokumen rahasia yang ditemukan juga menunjukkan bahwa Inggris pernah memberikan detail mengenai lawan Muammar Gaddafi di pengasingan kepada mata-mata Libya. Menteri luar negeri Inggris, William Hague, menolak mengomentari data yang memperlihatkan kedekatan London dengan Tripoli. Menurut Hague, semua dokumen berhubungan dengan pemerintahan Inggris yang terdahulu.

"Fokus kami saat ini adalah memberikan bantuan yang dibutuhkan di Libya. Mendorong pengakuan yang lebih meluas bagi Dewan Transisi Nasional, mencairkan aset Libya yang dibekukan sehingga bisa menghindari masalah kemanusiaan disana," tegas Hague dalam wawancara dengan televisi satelit Inggris, Sky News.

Inggris dan AS tutup mulut

Komentar singkat Hague dipertegas oleh seorang juru bicara kementerian luar negeri Inggris kepada kantor berita AFP, "Sudah menjadi kebijakan pemerintah sejak lama untuk tidak mengomentari urusan intelijen." Nada serupa juga datang dari kementerian dalam negeri di Washington. Mereka bahkan menolak untuk berkomentar.

Seorang pejabat Washington yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa saat itu Libya tengah berusaha mencairkan ketegangan diplomatik dengan dunia Barat. "Coba kita ingat lagi konteksnya. Di tahun 2004, Amerika Serikat berhasil meyakinkan pemerintah Libya untuk menghentikan program senjata nuklir dan membantu mencegah teroris yang secara aktif menargetkan warga Amerika baik di dalam maupun luar negeri," ujarnya.

Dokumen yang dipetik The Journal menjelaskan bahwa CIA berupaya membuat kehadiran di Libya sebagai permanen di tahun 2004. Yakni sebuah catatan singkat dari pejabat senior CIA, Stephen Kappes, yang ditujukan bagi kepala intelijen Libya saat itu, Mussa Kussa. Kedekatan keduanya terlihat dari sapaan yang digunakan, 'Dear Mussa' dan 'Steve.'

The Independent memperlihatkan sejumlah surat dan faks untuk Kussa dengan kalimat pembuka, 'Greetings from MI6' (Dinas Intelijen Rahasia Inggris) dan sebuah pesan pribadi untuk Natal yang ditandatangani seorang mata-mata senior Inggris dengan julukan, 'Your friend.'

Blair dan Gaddafi berbincang-bincang di dalam sebuah tenda tradisional Libya.
Blair dan Gaddafi berbincang-bincang di dalam sebuah tenda tradisional Libya.Foto: AP

Kerjasama intelijen Barat-Libya terjalin erat

Kussa kemudian menjabat sebagai menteri luar negeri Libya dari tahun 2009 hingga Maret lalu, sebelum membelot dari rezim Gaddafi dan kabur ke Inggris. Dokumen rahasia yang berhasil ditemukan tersebut juga menjelaskan bahwa kantor mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, yang mengajukan pertemuan dengan Gaddafi di Tripoli tahun 2004 dilakukan di dalam sebuah tenda tradisional Libya.

Menurut The New York Times, badan intelijen Amerika Serikat mengirim sedikitnya 8 tersangka teroris untuk diinterogasi di Libya meski mengetahui reputasi negara pimpinan Gaddafi tersebut yang gemar menyiksa. Sebagai imbalan, Libya meminta pengiriman Abu Abdullah al-Sadiq, seorang pimpinan oposisi. Seorang pejabat CIA menulis pada bulan Maret 2004: "Kami berkomitmen penuh untuk membangun hubungan ini demi kemaslahatan kedua belah pihak," dan kemudian berjanji akan berusaha keras mencari lokasi Sadiq. Data penerbangan rahasia CIA juga menunjukkan transportasi puluhan tersangka teror ke berbagai penjuru dunia menyusul serangan 11 September. Interogasi seringkali digelar di negara ketiga.

Para periset Human Rights Watch menemukan dokumen-dokumen tersebut saat menjelajahi gedung-gedung pemerintahan Libya. Mereka juga yang kemudian memberikan kopi dokumen kepada media. Human Rights Watch kemudian mempelajari dari dokumen yang ada bahwa Sadiq adalah nama perang bagi Abdel Hakim Belhaj, yang kini menjadi pimpinan militer kaum pemberontak Libya.

afp/rtr/Carissa Paramita

Editor: Christa Saloh-Foerster