1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jalur Cepat Mereduksi Tradisi Korupsi

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
4 Januari 2020

Apa hubungannya antara penangkapan terduga peynerang Novel Baswedan dengan korupsi? Percayakah Anda, Polri juga mampu mereduksi tradisi korupsi yang sudah mengakar sekian abad? Opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/3VbHN
Indonesien Polizisten in Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry

Langkah cepat Kepala Bareskrim (Badan Reserse Kriminal) Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo menangani kasus Novel Baswedan perlu diapresiasi. Terlihat sekali bagaimana sebagai pejabat baru, Komjen Listyo ingin meruntuhkan pesimisme publik. Pertanyaan yang pertama kali muncul, saat dirinya diumumkan sebagai Kabareskrim baru, adalah soal kemampuannya mengungkap tuntas kasus Novel, yang seolah jalan di tempat, dua setengah tahun setelah peristiwa terjadi (April 2017).

Fenomena menarik terjadi ketika Listyo sendiri yang tampil saat konferensi pers, dan mengumumkan pada awak media, soal penangkapan dua anggota Brimob, yang diduga sebagai pelaku penyiraman air keras pada Novel. Ini semacam tindakan simbolik, bahwa Listyo akan memimpin sendiri upaya pengungkapan kasus ini.

Tak lama setelah kasus penangkapan dua terduga pelaku tersebut, seperti biasa selalu terjadi perdebatan atau keraguan lanjutan. Saya kira itu wajar, itu merupakan sinyal, bahwa publik masih menaruh perhatian penuh pada kasus Novel. Dan itu sebenarnya pertanda baik bagi Polri (khususnya Bareskrim), bagaimana keraguan publik bisa dijawab dengan kerja keras lapangan, dan ada perkembangan yang signifikan soal kasus tersebut. Bukan sekadar mengumbar "harapan palsu” sembari menunggu pergantian jabatan baru, sehingga pejabat yang lama bisa terbebas sementara.

Dari politis ke strategis

Tidak bisa dihindari bila sempat muncul anggapan, bahwa diangkatnya Komjen Listiyo Sigit Prabowo (Akpol 1991) sebagai Kabareskrim bernuansa politis, karena memang ada kedekatan khusus antara Presiden Jokowi dan Komjen Sigit. Sudah jamak terjadi di era rezim Jokowi, perwira yang pernah bertugas di Solo, saat Jokowi masih menjadi Walikota, terkesan diberi kemudahan dalam promosi. Secara singkat bisa dikatakan, Jokowi telah memanfaatkan posisinya sebagai Presiden, untuk mempercepat promosi bagi perwira yang dianggap dekat dengan dirinya

Ketika Jokowi  dilantik sebagai Presiden periode pertama (Oktober 2014), Listyo ditunjuk menjadi ajudan (ADC) Jokowi, dari unsur kepolisian. Saat sebagai ajudan Jokowi inilah (2014-2016), kemudahan karier bagi Listyo mulai datang. Asumsi selama ini benar adanya, faktor politis sangat menentukan dalam karier perwira, salah satunya adalah dekat dengan kekuasaan.

Selepas ajudan Presiden Jokowi, Listyo dipromosikan sebagai brigjen dalam posisi Kapolda Banten, kemudian dilanjutkan sebagai Kepala Divisi Provoost dan Pengamanan (pangkat Irjen Pol), dan kini sudah dalam pos bintang tiga (komjen). Dalam kebiasaan di militer atau Polri, biasanya seorang brigjen atau irjen (mayjen) ditugaskan dahulu pada dua atau tiga jabatan pada pangkat yang sama, baru kemudian dipromosikan. Namun khusus untuk Listyo, kebiasaan itu tidak berlaku, baru menduduk satu jabatan pada pangkat yang sama, langsung mendapat promosi. 

Jokowi terkesan mengabaikan soal fenomena konflik laten antara Angkatan Darat dan polisi, dengan kata lain Jokowi kurang menaruh empati pada AD, sebagai matra yang dianggap senior atau primus inter pares. Bagaimana tidak, dari segi generasi Listyo masih sangat "muda” (Akpol 1991), namun sudah diberi posisi bintang tiga (komjen). Sekadar perbandingan, dari Akmil 1991 baru satu orang dengan pangkat mayjen (bintang dua), yakni Mayjen Teguh Pujo Rumekso (lulusan terbaik Akmil 1991), kini dalam posisi sebagai Komandan Pussenif (Pusat Kesenjataan Infanteri) di Bandung.

Kerja cepat Listyo dalam mengungkap kasus Novel bisa diartikan, bahwa pengangkatan dirinya adalah berdasarkan kompetensi, bukan politis semata. Penangkapan dua terduga pelaku tersebut, ibarat titian bagi Listyo, dari makna politis ke posisi strategis, bahwa Polri juga mampu memberikan kontribusi bagi peradaban bangsa, yaitu mereduksi tradisi korupsi yang sudah mengakar sekian abad.

Penulis:  Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Merawat Kepercayaan Publik

Keprihatinan terhadap isu atau tradisi korupsi, sudah berlangsung berabad-abad, itu sebabnya korupsi dalam masyarakat kita sudah pantas disebut tradisi. Perusahaan dagang Belanda (VOC) misalnya, jatuh juga karena perilaku korup para petingginya di penghujung Abad 18. Mungkin peristiwa ini bisa disebut sebagai literasi awal soal korupsi di Tanah Air. Kemudian pada pertengahan Abad 19, pujangga pamungkas Ronggowarsito telah menulis sebuah syair Serat Kalatida, yang berdasar kesaksiannya atas kasus korupsi di lingkaran elite istana, khususnya di Solo dan Yogya.

Dua kejadian tersebut bisa menjelaskan, bahwa apa yang dilakukan Bareskrim hari ini, adalah sebuah langkah kecil, bagian dari gerakan besar menuju perlawanan tradisi korupsi. Novel selama ini sudah terlanjur dikenal sebagai ikon gerakan antikorupsi, sehingga penyerangan terhadap Novel secara otomatis merupakan serangan terhadap segala upaya melawan perilaku korupsi, yang sudah demikian mengakar dalam masyarakat kita.

Dalam mengungkap kasus dua penyerang Novel tersebut, pihak Polri juga perlu mengedepankan transparansi, mengingat kasus ini sudah menjadi perhatian publik, termasuk media mancanegara. Mengingat kebiasaan selama ini, Polri biasa tertutup bila mengungkap kasus yang melibatkan anggotanya.

Selain itu Polri harus bisa membuktikan adanya aktor intelektual di balik penyerangan Novel, karena sangatlah diragukan bila anggota pasukan lapangan (Brimob) bergerak sendiri tanpa adanya "arahan” pada otoritas yang lebih tinggi. Sebagaimana pernah dikatakan Novel sendiri di awal peristiwa, soal kemungkinan adanya keterlibatan pati Polri.

Logikanya begini saja, pangkat terakhir Novel dalam kepolisian adalah Kompol atau AKBP, artinya yang bisa bertindak atas Novel adalah perwira di atas pangkat (terakhir) Novel tersebut. Dengan begitu  asumsi yang mengatakan, bahwa dua anggota Brimob tersebut bekerja atas inisiatif sendiri langsung terpatahkan.

Peristiwa ini mengingatkan kita pada gerakan pasukan Cakrabhirawa, yang melakukan penculikan sejumlah jenderal TNI AD pada penghujung September 1965. Mustahil rasanya bila regu atau unit yang dipimpin bintara senior (serma atau peltu), bisa melakukan gerakan sekompleks itu, tanpa ada arahan dari perwira dengan pangkat tinggi. Bila aktor intelektualnya tetap masih misteri sampai sekarang, mungkin itu sudah kehendak sejarah.

Peristiwa tersebut bisa dijadikan rujukan dalam penanganan kasus Novel. Bila Polri ingin tetap dipercaya publik, reserse terbaik dari Bareskrim harus bisa mengungkap siapa "dalang” di balik kasus Novel tersebut, bila tidak, ini sekadar duplikasi dari model gerakan dari pasukan Cakrabhirawa pada  September 1965.

Namun publik bisa tetap optimistis, mengingat kasus ini lebih sederhana, bahwa yang disidik adalah anggota Polri sendiri. Artinya bila Kepala Bareskrim memang ada kehendak, jaringan kuat di balik penyerangan terhadap Novel, juga bisa diungkap. Polri sudah pernah mengungkap kasus yang melibatkan satuan lain, seperti pada kasus pembunuhan Dirut PT Asaba (2003), dimana antara eksekutor dan korban penembakan, berasal dari satuan yang sangat disegani, yakni Korps Marinir dan Kopassus. Singkatnya, mengungkap apa yang terjadi pada internal kepolisian relatif lebih ringan.

Generasi baru Polri

Bila elite Polri ternyata kurang memenuhi harapan publik  dalam pengungkapan kasus Novel, apa boleh buat, kita hanya bisa berharap pada generasi baru Polri, yang saat ini masih berpangkat pamen, atau mereka yang masih sedang mengikuti studi lanjut.

Dari pengamatan media sempat muncul nama Kombes Hengki Haryadi (kini Kapolres Jakarta Barat, Akpol 1996). Saat masih menjabat Kasatserse Polres Jakbar (pangkat AKBP), Hengki berhasil "menundukkan” tokoh preman Hercules. Selama ini ada mitos yang berkembang, bahwa Hercules seolah tak tersentuh karena ada dukungan tokoh kuat di belakangnya, bahkan oleh aparat kepolisian sekalipun. Adalah AKBP Hengki Haryadi yang meruntuhkan mitos tersebut.

Perwira kedua yang bisa disebut adalah Kombes Deonijiu de Fatima (kini Kepala Satuan Brimob Polda Metro Jaya), yang juga lulusan Akpol 1996. Kombes Deonijiu sejak lama bertugas di Satuan Gegana Brimob Polri, dengan spesialisasi adalah jihandak (penjinakan bahan peledak). Kompetensinya sudah tidak diragukan lagi, sehingga hanya soal waktu, bila kelak dirinya akan menjadi pimpinanBrimob Polri.

Tentu saja Kombes Hengki Haryadi dan Kombes Deoniju hanyalah sekadar contoh kecil, masih banyak perwira muda Polri lain yang memiliki kompetensi dan kualifikasi setara sebagaimana ditunjukkan oleh keduanya. Masih ada nama-nama lain, yang bisa kami sebut secara acak, seperti AKBP Jean Calvijn Simanjuntak (Akpol 1999, kini Kapolres Trenggalek), yang acapkali mengungkap kasus narkoba di kalangan pesohor. Kemudian Kombes Andry Wibowo (Akpol 1993, kini penyidik di Bareskrim Polri), yang baru menyelesaikan studi doktoralnya.

Bila perwira muda Polri seperti itu adanya, keberadaan mereka adalah berkah, bukan hanya bagi institusi Polri, namun juga bagi bangsa ini. Dengan perwira-perwira muda seperti itu, langkah Polri untuk menata kembali internal Polri, utamanya mereduksi mentalitas korup pada masyarakat kita, akan jauh lebih mudah. Perwira-perwira semacam itu bisa menjadi andalan untuk perbaikan Polri di masa depan. Kiranya mereka tidak cepat silau oleh simbol kesejahteraan, melalui mobil sekelas Rubicon, Toyota Alphard, Lexus, dan seterusnya.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.