1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cina Legalkan Kamp Massal Muslim Uighur

11 Oktober 2018

Pemda Xinjiang, Cina, telah merevisi undang-undangnya agar dapat segera melegalisasi 'kamp interniran' yang menjadikan minoritas Muslim sebagai target pengawasan. Diperkirakan ada 1 juta Muslim di kamp-kamp tersebut.

https://p.dw.com/p/36L6b
China Unruhen in Xinjiang
Foto: picture-alliance/dpa/epa/D. Azubel

Pemerintah Cina di wilayah Xinjiang merevisi undang-undang untuk mengizinkan penggunaan "pusat pendidikan dan pelatihan" untuk memerangi ekstremisme agama.

Dalam prakteknya, pusat-pusat tersebut adalah kamp interniran di mana sebanyak 1 juta minoritas Muslim ditempatkan dalam 12 bulan terakhir. Ini menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia dan laporan-laporan LSM.

Undang-undang yang diubah menyatakan bahwa pemerintah daerah "dapat mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan ... untuk mendidik dan mengubah mereka yang telah dipengaruhi oleh ekstrimisme."

Namun, selain mengajarkan bahasa Mandarin dan memberikan keterampilan kejuruan, petugas di pusat-pusat tersebut sekarang diarahkan untuk memberikan "pendidikan ideologis, rehabilitasi psikologis dan koreksi perilaku" di bawah klausul baru.

Beijing membantah bahwa pusat-pusat tersebut berfungsi sebagai kamp internirantetapi telah mengakui bahwa pelaku kejahatan ringan juga telah dikirim ke pusat-pusat tersebut. Mantan tahanan telah mengatakan kepada kelompok-kelompok hak asasi bahwa mereka dipaksa untuk mengecam Islam dan dipaksa untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada Partai Komunis Cina.

"Ini adalah pembenaran retrospektif untuk penahanan massal orang-orang Uighur, Kazakhstan, dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang," kata James Leibold, seorang sarjana kebijakan etnis Cina di La Trobe University Melbourne, kepada kantor berita AP.

"Ini adalah bentuk baru dari pendidikan ulang yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak benar-benar memiliki dasar hukum, dan saya melihat mereka berebut untuk mencoba menciptakan dasar hukum untuk kebijakan ini."

Warga Uighur, Kazakhstan dan minoritas Muslim lainnya yang tinggal di luar negeri telah mengindikasikan bahwa mereka tidak dapat menghubungi keluarga mereka di Cina.

Pemerintah Cina selama beberapa dekade mencoba untuk menekan gerakan pro-kemerdekaan di antara komunitas Muslim Xinjiang, yang dipicu oleh frustrasi atas masuknya pendatang dari mayoritas Han China.

Pihak berwenang Cina mengatakan bahwa ekstrimis di wilayah itu memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok teror, tetapi telah memberikan sedikit bukti untuk mendukung klaim itu.

Undang-undang terbaru ini muncul setelah pemerintah daerah meluncurkan tindakan keras terhadap produk halal dan melarang pemakaian jilbab.

Cina dikecam dunia internasional

Menyusul perubahan hukum di wilayah Xinjiang, kelompok bipartisan anggota parlemen AS mendesak Presiden Donald Trump untuk mengecam "pelanggaran berat" hak asasi manusia di wilayah barat laut Cina.

Proposal yang diajukan oleh Komisi Eksekutif Kongres untuk Cina menyerukan kepada Trump untuk menekan mitranya dari Cina, Xi Jinping, agar segera menutup apa yang digambarkan sebagai "kamp pendidikan ulang politik."

Mereka juga mengusulkan penerapan sanksi terhadap Ketua Partai Komunis Xinjiang Chen Quanguo di bawah Akta Magnitsky, yang akan mencegahnya memasuki AS dan membekukan aset apa pun yang ia miliki di bank-bank AS.

"Otoritarianisme Cina di dalam negeri secara langsung mengancam kebebasan kami serta nilai-nilai dan kepentingan nasional kami yang paling dalam," ujar Senator Florida Marco Rubio dan perwakilan New Jersey, Chris Smith, keduanya dari partai Republik.

Pejabat kebijakan luar negeri Uni Eropa, Federica Mogherini, menyatakan keprihatinan serupa pekan lalu.

Langkah-langkah yang diusulkan oleh anggota parlemen AS datang karena ketegangan antara Washington dan Beijing terus meningkat atas sengketa tarif dan keluhan Amerika tentang kebijakan teknologi Cina.

vlz/yf (AP. AFP, dpa)