1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kecerdasan Buatan untuk Diagnosis Medis

Claudia Laszczak
10 April 2021

Kecerdasan buatan bisa buat diagnosis medis lebih cepat daripada dokter. "Machine Learning" merevolusi dunia kedokteran dalam melawan berbagai penyakit.

https://p.dw.com/p/3rmd0
foto menunjukkan program komputer
Gambar simbol kecerdasan buatanFoto: picture-alliance/K. Ohlenschläger


Menetapkan diagnosa yang tepat, juga pada penyakit berat bukan hal mudah. Dalam dunia kedokteran, teknologi canggih juga digunakan. Misalnya dengan pencitraan resonansi magnetik. Dalam citra terperinci, struktur organ-organ tubuh bisa terlihat. 

Apakah itu cara terbaik? Andreas Lemke, manajer dan pengembang program pada Mediaire mengungkap, "Seorang pakar radiologi saat ini hanya punya sedikit waktu untuk menganalisa gambar. Kira-kira 10 menit bagi setiap pasien. Padahal ada 200-400 gambar, yang harus dilihat." Artinya, ia memberikan penilaian berdasarkan pengalamannya. Sementarapiranti lunak yang dikembangkan Mediaire menganalisa setiap pixel dan menangkap struktur otak. 

Mesin yang mampu belajar

"Machine Learning" begitu nama teknologinya. Data dalam jumlah besar dihubungkan oleh sebuah algoritme. Komputer yang dilengkapi inteligensia artifisial ini belajar mengenali sklerosis multipel atau MS, dan serangan demensia pada otak. Semakin besar dan terperinci datanya, semakin tepat pula hasilnya. Perusahaan IT di Berlin itu menggunakan program inteligensia artifisial, yang sudah lebih pintar daripada dokter.  

Manajernya menambahkan, "Setiap bagian proses akan kami otomatisir. Semakin banyak piranti lunak juga akan bisa menganalisa masalah tertentu. Akhirnya seorang ahli radiologi hanya akan memeriksa informasi tertentu. Hal lainnya dikerjakan piranti lunak."

Kecerdasan Buatan untuk Diagnosa Penyakit

Piranti lunak yang mampu belajar itu juga digunakan dalam upaya memerangi COVID-19. Misalnya dalam tes Corona untuk masyarakat luas. Dalam waktu dekat akan ada aplikasi baru, yang dengan bantuannya, tes infeksi bisa dilaksanakan hanya dengan pengenalan suara. Tes kilat audio itu tidak bisa menggantikan tes dengan sampel dari tenggorokan. Tapi ketepatannya bisa sampai 90%. Sekarang, data suara dari sebanyak mungkin orang dikumpulkan untuk melatih "software". 

Florian Eyben, salah satu pendiri perusahaan audEERING menjelaskan, "Lewat kerja paru-paru, misalnya saat batuk atau tertawa, diukur seberapa banyak tekanan dikeluarkan paru-paru. Itu hal-hal yang kami ukur lewat algoritma pengolahan sinyal. Kemudian melatih inteligensia artifisial menggunakan contoh-contoh dari kumpulan data, untuk melihat apakah seseorang positif atau negatif tertular, apakah menunjukkan simtom."

Memperbaiki peluang hidup

Jika penderita sakit paru-paru harus diberikan pernapasan buatan, risikonya besar, bahwa paru-paru rusak. Angka kematiannya yang diakibatkan juga tinggi. Oleh sebab itu, sebuah perusahaan pembuat piranti lunak di München mengembangkan inteligensia artifisial yang bertujuan memperbaiki peluang hidup. Dengan sebuah software dibuat model digital paru-paru, dan disimulasikan bagaimana udara masuk. Dengan cara itu, misalnya, tekanan pada alat pernapasan bisa disesuaikan. 

"Sejauh ini, dokter tidak bisa melihat ke dalam paru-paru. Ia hanya melihat dari luar, apa yang ditunjukkan alat pernapasan tentang tekanan pada trakea. Dengan teknologi yang kami kembangkan, dokter bisa melihat ke dalam paru-paru. Bagaimana udara bergerak di dalamnya, di mana udara menimbulkan pembengkakan. Dan bukan itu saja. Karena ini alat digital, sebelum digunakan pada pasien, bisa diujicoba tanpa merugikan pasien." Begitu dijelaskan Dr. Jonas Biehler, manajer perusahaan Ebenbuild.

Tantangan berikutnya bagi perusahaan itu adalah izin penggunaan program itu sebagai produk kedokteran. Dalam dua tahun mendatang, produk ini bisa dilempar ke pasaran Eropa. Walaupun ketika itu pandemi corona mungkin sudah teratasi. (ml/yp)