1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMyanmar

Kematian Seorang Demonstran Sudutkan Militer Myanmar

19 Februari 2021

Kematian seorang demonstran semakin menyulitkan posisi Tatmadaw, ketika negara lain ikut bergabung menjatuhkan sanksi. Pemerintah junta berusaha meredam protes warga dengan menangkap tokoh-tokoh demonstrasi.

https://p.dw.com/p/3paST
Demonstran menampilkan poster bergambar Mya Thwate Thwate Khaing dalam aksi protes pada 14 Februari silam.
Demonstran menampilkan poster bergambar Mya Thwate Thwate Khaing dalam aksi protes pada 14 Februari silam. Pada Jumat (19/2) dia dinyatakan meninggal dunia.Foto: AP/picture alliance

Mya Thwate Khaing baru menginjak usia 20 tahun ketika dinyatakan meninggal dunia pada Jumat (19/02), setelah dirawat selama hampir dua pekan. Dia ditembak di kepala saat aksi demonstrasi yang berubah rusuh di Naypyidaw pada 9 Februari silam. 

Saat itu aparat keamanan mengklaim hanya menggunakan peluru karet. Namun dokter di rumah sakit mengatakan setidaknya dua demonstran lain ditembak amunisi tajam, lapor kantor berita AFP.

"Karena ini adalah ketidakadilan, kami akan tetap menyimpan catatan kematiannya, kelak kami akan mencari keadilan,” kata doktor yang menolak disebut namanya.

Sejak kudeta pada 1 Februari lalu, militer Myanmar sejauh ini telah menangkap 520 orang terkait aksi demonstrasi menentang junta. Aparat dikabarkan menggunakan kendaraan lapis baja untuk menghadang demonstran.

Eskalasi di Naypyidaw kini menjalar ke lembaga dan perusahaan negara, di mana pegawai negeri melakukan aksi mogok massal. Saat ini sepertiga PNS di Myanmar tercatat menolak bekerja sebagai ungkapan protes. 

Tom Andrews, pakar HAM untuk PBB, menilai pembangkangan sipil di Myanmar turut melumpuhkan kehidupan ekonomi. Hal ini menurutnya harus ditanggapi oleh dunia internasional dengan "menjatuhkan sanksi ekonomi atau tekanan diplomatik dengan fokus dan terarah,” kata dia.

Hujan sanksi bagi junta

Sementara itu pemerintah Inggris mengumumkan sanksi terhadap tiga jendral Tatmadaw atas tuduhan "pelanggaran HAM berat,” terhadap warga sipil Myanmar. Selain pembekuan aset dan larangan masuk, Inggris juga mengkaji pemutusan hubungan dagang dengan perusahaan militer.

Adapun Kanada menghukum sembilan perwira tinggi Myanmar dan menuding junta melakukan "kampanye represif yang sistematis melalui langkah-langkah legislatif terpadu dan penggunaan tindak kekerasan.”

"Kanada berdiri bersama warga Myanmar dalam perjuangannya demi demokrasi dan hak asasi,” kata Menteri Luar Negeri Marc Garneau.

Langkah kedua negara kini diikuti oleh India yang notabene sekutu dekat Myanmar. Dalam pernyataannya, Menlu Subrahmanyam Jaishankar, mendesak agar Tatmadaw "patuh pada konstitusi dan transisi demokrasi” di Myanmar.

India tidak menjatuhkan sanksi, melainkan mendukung pernyataan bersama Amerika Serikat, Jepang dan Australia. Bagi para jenderal, New Delhi selama ini menjadi sumber dukungan terbesar setelah Cina. Baru tahun lalu India menyumbangkan kapal selam pertama bagi militer Myanmar, menyusul perjanjian kerjasama pertahanan pada 2013.

Namun begitu, pengamat politik internasional, Paul Donowitz, meyakini dunia internasional "gagal menunjukkan ketegasan yang dibutuhkan untuk mengadili militer Myanmar dan melucuti kekuatan ekonominya.”

Kini perhatian diarahkan ke Eropa. "Kami akan menunggu pengumuman sanksi UE,” pada Senin (22/2) mendatang, kata Shulei Yi, salah seorang aktivis Myanmar yang ikut menggerakkan "Gerakan Pembangkangan Sipil” melawan junta.

"Kami mengimbau negara-negara lain untuk berkoordinasi dan bersatu melawan kudeta militer di Myanmar,” imbuhnya.

Gelora demokrasi di jalan raya

Pada Jumat (19/02) Myanmar memasuki hari kelima pemberlakuan jam malam, menurut pantauan NetBlocks, yang melaporkan pemadaman internet oleh militer. Sambungan baru kembali pada jam 9 pagi waktu setempat.

Pemadaman internet untuk meredam demonstrasi di Myanmar
Pemadaman internet untuk meredam demonstrasi di Myanmar

Sore harinya, puluhan ribu warga turun ke jalan-jalan kota Yangon. Pegawai kereta api dan guru ikut bergabung dalam seragam lengkap. Para demonstran membawa poster Aung San Suu Kyi, sembari berteriak "bebaskan pemimpin kami!.”

"Jangan bekerja!,” dan "ayo mogok, ayo mogok!,” terdengar ikut bersahutan, kabar AFP.

Di kota Myitkyina, sekelompok kecil demonstran dilaporkan bentrok dengan pasukan anti huru-hara. Kejadian itu terekam dalam sebuah video yang diunggah ke media sosial. Seorang guru yang berada di lokasi kejadian, mengatakan polisi menangkap belasan orang, termasuk dua rekan kerjanya.

"Mereka menahan semua yang mencoba merekam video atau mengambil gambar. Ini adalah ketiakadilan nyata,” kata dia.

Saat ini lembaga lokal, Asosiasi Bantuan Hukum Tahanan Politik (AAPP), melaporkan pemerintah junta sudah menahan setidaknya 12 pejabat Kementerian Luar Negeri atas tuduhan terlibat dalam gerakan anti-kudeta.

rzn/vlz (afp, rtr, ap)