1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kembalinya Kekuatan Wahabi di Tengah Pandemi Corona?

Kersten Knipp | Ismail Azzam
23 April 2020

Arab Saudi dua kali terpukul oleh pandemi corona. Pertama, mengatasi jatuhnya harga minyak. Di sisi lain, ulama reaksioner mengancam untuk kembali menguat.

https://p.dw.com/p/3bJSV
Kekuatan Wahabi kembali?
Arab Saudi terpukul akibat pandemi coronaFoto: picture-alliance/abaca/Balkis Press

Arab Saudi bergulat dengan krisis corona dalam dua cara. Pada pertengahan April, kerajaan tersebut, bersama dengan negara-negara anggota OPEC dan kartel produksi minyak lainnya, menyetujui pengurangan drastis  produksi  minyak.

Pada bulan Mei dan Juni, produksi minyak diperkirakan akan turun 9,7 juta barel per hari, setara dengan sepuluh persen dari volume produksi sebelumnya – pemotongan tertinggi yang pernah dilakukan oleh organisasi tersebut.

Namun demikian, negara-negara OPEC mengalami kesulitan dalam menjual minyak. Di tengah krisis corona, konsumsi global anjlok sebanyak 30 persen. Banyak negara mengeluhkan tidak lagi memiliki kapasitas penyimpanan menyusul rendahnya permintaan atas bahan bakar. 

Kebijakan karantina yang diterapkan di seluruh penjuru dunia tidak hanya melumpuhkan mobilitas manusia, tetapi juga sentra-sentra produksi yang selama ini menjadi pelanggan terbesar minyak bumi.

Akibatnya Arab Saudi harus mengetatkan ikat pinggang, karena pendapatan negara yang runtuh bukan cuma karena wabah corona, melainkan juga akibat perang harga dengan Rusia.

Jumlah infeksi yang meningkat dengan cepat

Krisis harga minyak terjadi saat monarki di Riyadh juga menghadapi peningkatan jumlah kasus infeksi. Pada hari Kamis (23/04), Worldometers mencatat lebih dari 12 ribu kasus positif virus corona di Arab Saudi. Sebanyak 114 orang meninggal dunia. Eskalasi wabah di Arab Saudi ditandai dengan lonjakan angka kasus penularan. Kurva tersebut mencuat tajam sejak pertengahan bulan. Padahal tanggal 17 April silam, tercatat tujuh ribuan orang yang terinfeksi.

Menurut laporan New York Times, 150 anggota keluarga kerajaan ikut terkena imbas pandemi corona. 

Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MbS) dilaporkan pindah ke Jeddah disertai oleh banyak menteri. Menurut laporan tersebut, fakta bahwa pandemi telah menjangkau keluarga kerajaan bisa menjadi alasan di balik langkah dini pemerintah membatasi ruang gerak masyarakat.

Negara misalnya menutup perbatasan untuk berziarah ke Mekkah dan Madinah sejak akhir Februari lalu. Kerajaan juga mengimbau jamaah agar menunda ibadah haji tahun ini, atau berziarah ke Mekkah.

Ketidakpastian nasib pekerja tamu 

Arab Saudi memberlakukan jam malam 24/7 di beberapa kota, termasuk ibu kota Riyadh. Di seluruh negeri jam malam mulai pukul 3 hingga 6 pagi. Perjalanan antar provinsi dan kota tidak diizinkan di seluruh negeri.

Meski demikian, penyebaran virus corona tetap tidak terbendung. Hingga sembilan juta pekerja tamu yang tinggal berdesakan di pemukiman sempit dan berpenduduk padat dianggap sebagai sumber infeksi yang berbahaya. Beberapa perusahaan Saudi tidak lagi mempekerjakan mereka dan berhenti membayar upah buruh. Nasib mereka tidak bisa dipastikan. Kondisi buruh asing di negara-negara Teluk lainnya tidak jauh berbeda.

Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), sekitar 35 juta pekerja migran tinggal di negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC). 

Reformasi dalam bahaya?

Virus corona juga membayangi kebijakan politik dan budaya yang dikendalikan oleh Putra Mahkota Saudi. Bagi para ulama Wahabi, pandemi berarti meningkatnya kesadaran publik terhadap otoritas keagaman.

Selama ini pengaruh keluarga al-Syeikh yang menguasai urusan keagamaan bergantung pada perjanjian kuno yang dibuat dengan keluarga al-Saud. Perjanjian itu pula yang memungkinkan ulama Wahabi memperluas pengaruhnya di dunia Islam, dengan imbalan berupa legitimasi moral terhadap kekuasaan keluarga al-Saud.

Antropolog agama Madawi Al-Rasheed, yang mengajar di London School of Economics, menggambarkan bagaimana pengaruh kaum Wahabi terhadap kehidupan publik: Pada paruh kedua abad ke-20 saja, otoritas agama di Saudi sudah mengeluarkan lebih dari 30.000 fatwa. 

Di dalamnya, mereka mengambil sikap terhadap semua persoalan Fiqh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bukunya "Contesting the Saudi State" Al-Rasheed menggambarkan, derasnya kemunculan fatwa baru yang seakan tidak ada habisnya itu sebagai upaya “menyihir dunia”, demi menyita perhatian orang sepenuhnya pada agama. 

Mohammad bin Salman
Putra mahkota Mohammad bin Salman terus mengupayakan proyek Visi 2030Foto: Getty Images/AFP/M. Ngan

Visi 2030

Namun sebagai bagian dari "Visi 2030", Mohammed bin Salman secara konsisten menggerus kekuasaan klan al-Syeikh dan dengan begitu membatasi pengaruh Wahabi. Proyek ambisius sang pangeran dirancang untuk mempersiapkan kerajaan ketika pendapatan minyak berhenti mengalir. Februari lalu Dana Moneter Internasional (IMF) mewanti-wanti, cadangan minyak Saudi akan menyusut drastis dalam 15 hingga 20 tahun ke depan.

Jatuhnya harga minyak yang dipicu epidemi corona berarti kemunduran bagi Visi 2030, setidaknya untuk “jangka pendek,” kata Stephan Roll, Direktur kawasan "Timur Tengah dan Afrika" di Berlin Science and Politics Foundation (SWP). Harga minyak yang rendah dipastikan akan menyebabkan lubang pada kas negara. Rencana penawaran umum perdana (IPO) oleh perusahaan negara, Aramco, dinilai tidak realistis dalam kondisi saat ini. Tapi di lain sisi "saham Aramco bisa menghasilkan uang untuk proyek-proyek berskala besar. Lagipula musim haji akan ditunda, padahal selama ini penting bagi sumber pendapatan kerajaan."

Kembalinya pengaruh Wahabi?

Salah satu faktor kunci bagi Visi 2030 sebenarnya adalah melunakkan ajaran Wahabi agar tampil lebih moderat. Mohammed bin Salman memahami aliran Islam puritan itu dipandang kritis oleh banyak pihak, terutama negara-negara barat yang merupakan mitra dagang penting. Betapapun juga, citra sebagai negara yang modern dan terbuka tidak bisa dianggap remeh dalam memperdalam hubungan perdagangan atau politik dan budaya. 

Tetapi pandemi corona ikut memperkuat pengaruh ulama Wahabi. Peran mereka dibutuhkan kerajaan untuk mengajak penduduk mematuhi aturan pembatasan sosial. Awal April lalu, Abdullah bin Mohammed al-Mutlaq, seorang ulama penasehat kerajaan yang juga anggota komite cendekiawan nasional, tampil di televisi menjawab pertanyaan Fiqh dari penduduk. 

Saat ada yang bertanya perihal potensi penularan, dia menjawab perempuan berhak mengusir suami dari ranjang jika mengidap virus corona.

Dalam video layanan masyarakat yang diproduksi oleh pemerintah, penduduk diajak melindungi diri, antara lain dengan menceritakan betapa Nabi Muhammad menutup mulutnya dengan tangan atau kain ketika hendak bersin.
 
Bukan hanya Arab Saudi yang berjuang dengan pandemi korona, ujar pakar pasar minyak mentah Khaled Al-Zubaidi kepada DW. Negara-negara Teluk pada umumnya terpengaruh. Pengurangan pendapatan dan defisit dapat terjadi di beberapa negara. Hal ini dapat menyebabkan negara-negara yang bersangkutan  harus mengatur kembali seluruh proyek infrastruktur mereka. (ap/vlz)