1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kunjungan ke Negeri Karl Marx: Jerman Semakin Terbarukan

Aditya Wardhana
31 Januari 2020

Kami, berjumlah 17 orang dari 17 negara dan empat benua dengan beragam profesi: jurnalis, akademisi, pegawai pemerintah dan aktivis NGO. Kami disatukan isu yang sama: perubahan iklim. Oleh Aditya Wardhana.

https://p.dw.com/p/3Wveu
Besuchsprogramm Klimawandel und Energietransition in Deutschland
Foto: Aditya Wardhana

"Lihat, apa nama klub sepakbola itu?” tanya Sebastian Zoepp. Kami serentak menengok ke kiri. Di seberang jalan terdapat stadion sepakbola. Dindingnya bercat merah menyala. Nama klub yang berkandang disitu ditulis besar-besar: FC Energie Cottbus.

"Klub sepak bola tersebut bisa menggambarkan bagaimana bisnis lignite di wilayah ini sangat berpengaruh” terang Zoepp setelah wajah kami kembali menghadap ke depan.

Besuchsprogramm Klimawandel und Energietransition in Deutschland"
Aditya WardhanaFoto: Aditya Wardhana

Lignite merupakan batubara muda yang digunakan sebagai salah satu sumber energi di Jerman. Rombongan kami tengah menuju Lusatia untuk melihat tambang lignite. Kini, Jerman tengah berusaha melepaskan diri dari kecanduan energi fosil.

Kami, berjumlah 17 orang dari 17 negara dan empat benua, merupakan rombongan Visitors Programme of the Federal Republic of Germany, Climate Policy for 2050. Beragam profesi, ada yang jurnalis, akademisi, pegawai pemerintah dan aktivis NGO. Kami disatukan isu yang sama, perubahan iklim.

Undangan ke negara Karl Marx

Suatu siang di satu ruang kantor Kedutaan Besar Jerman di Jalan Thamrin, Jakarta. "Karl Marx dan Bayern Munich,” jawabku mantap.

Marc Seemann, Deputy Cultural Section di Kedutaan Besar Jerman di Jakarta terkekeh. "Orang biasanya menjawab Mercedes atau BMW. Jawaban klise.”

Rupanya pertanyaan untuk menyebutkan dua hal yang paling anda ketahui tentang Jerman adalah pertanyaan pokok yang dilontarkan ke setiap orang yang diwawancarai di Kedubes Jerman. Karl Marx filsuf besar ini berasal dari Jerman. Ajarannya menjelma menjadi aliran sosial dan kekuatan politik yang mewarnai perkembangan peradaban manusia. Sedangkan Bayern Munich adalah kesebelasan top asal Jerman. Lewat klub-klub bola, aku mengenal kota-kota di Jerman macam Leverkusen, Dortmund, Hamburg, Stuttgart dan Frankfurt.

Kedua nama itu, Marx dan Munich, menerbangkan aku Jerman. Aku terpilih mengikuti Visitor Programme.

Kenangan di kantor Kedubes Jerman yang kala itu masih berbau cat basah langsung ambyar ketika minibus berhenti di samping pagar. Kami sudah tiba di kawasan pertambangan lignite.

Zoepp membuka kotak kecil berisi batu-batu hitam. Inilah lignite. Bentuknya mirip arang. "Bisa dimakan”. Entah Zoepp serius atau bercanda. Tapi seperti batubara, lignite tersusun dari karbon. Sama dengan sayur mayur atau bahan makanan yang kita konsumsi sehari-hari.

Besuchsprogramm Klimawandel und Energietransition in Deutschland
Batu lignite di tangan Sebastian ZoeppFoto: Aditya Wardhana

Yuval Bagno, kawan jurnalis dari koran Maariv, Israel menggigit liginite. "Ada yang mau ikut nyobain?” Yuval menawarkan potongan lignite sambil meringis. Jurnalis berkacamata berdarah Yahudi ini memang kerap melucu.

Peta yang menggambarkan area pertambangan lignite berpindah tangan di antara kami. Di era kejayaan, terdapat lebih dari 170 ribu hektar tambang lignite dengan puluhan ribu pekerja beber Zoepp.  Sebagai negara industri, Jerman membutuhkan sumber energi untuk membangkitkan listrik dan menggerakkan mesin-mesin. Lignite adalah sumber energi yang murah dan mudah didapat. Jerman merupakan negara penghasil lignite terbesar di dunia. Lignite adalah batubara muda berkalori rendah dan ditambang di permukaan tanah.

Dari balik pagar, di kejauhan, mesin raksasa menambang lignite dari tanah. Tidak tampak pekerja atau truk-truk yang berlalu lalang dan debu beterbangan. Penambangan berjalan efisien.

Di Lusatia, penambangan lignite dimulai sejak 1860. Uang besar berputar di bisnis lignite ini. Menurut data RWI lembaga riset ekonomi, pada 2015, Lusatia mendapatkan pemasukan lebih dari 31 juta euro dari lignite.

Bahan bakar fosil dibakar. Emisi karbon di atmosfer semakin tebal. Memicu pemanasan global dan perubahan iklim. Bencana-bencana semakin sering terjadi dengan tingkat kerusakan yang bertambah parah. Perubahan iklim menjadi musuh bersama umat manusia. Negara-negara bersepakat untuk menyelamatkan bumi dengan menahan laju perubahan iklim. Dituangkan dalam wujud Kesepakatan Paris.

Besuchsprogramm Klimawandel und Energietransition in Deutschland
Peserta Visitors Program "Climate Policy for 2050" di JermanFoto: Aditya Wardhana

Melepas kecanduan bahan bakar fosil

Jerman berkomitmen mengurangi emisi karbon sebesar 42% pada 2020 hingga 95% pada 2050 dibandingkan pada level tahun 1990. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, salah satu jalan yang ditempuh adalah transisi energi dari melepas kecanduan bahan bakar fosil lalu beralih ke energi terbarukan yang lebih bersih dan ramah lingkungan seperti tenaga surya, angin, panas bumi dan gelombang laut.

Lignite dikurangi pemakaiannya. Tidak mengeluarkan ijin baru untuk penambangan, dilarangnya perusahaan Jerman berinvestasi di lignite adalah cara-cara yang ditempuh agar penggunaan lignite berkurang. "Perusahaan yang mengelola tambang ini berasal dari Ceko,” jelas pria berperawakan langsing dan berkacamata ini.

Sebagai seorang Managing Editor Spreeakademie, Zoepp sangat memahami isu lignite. Spreeakademie adalah lembaga non profit yang berfokus pada edukasi dan penasihat pembangunan berkelanjutan. Fokus Spreeakademie di bidang suplai energi masa depan, konservasi biodiversitas, penggunaan lahan bekas tambang lignite dan turisme berkelanjutan.

Perut kami keroncongan. Tidak satu pun kami yang bernafsu menyantap lignite. Pahit euuy. Kami diajak ke restoran Tembok batubara berwarna merah menyala tampak mencolok di antara deretan bangunan. Restoran tidak terlalu besar. Ada satu meja panjang di tengah dan beberapa meja kecil. Kepala rusa bertanduk besar tergantung di dinding atas. Gagang pintu terbuat dari kuningan tebal berbentuk babi hutan. Sebagian besar kami menyantap steak yang lembut dengan kentang bulat yang mengenyangkan. Ada satu dua yang bersantap menu vegetarian. Kami menikmati santap siang sambil ngobrol. Suasana sangat akrab.

Kami dibawa ke wind farm di daerah. Ada delapan turbin yang berputar lamban ditiup angin sore sepoi-sepoi. Menurut Zoepp, turbin pertama didirikan tahun 2002. Kedelapan turbin sanggup menghasilkan listrik sebesar 13.5 megawatts. Kami berdiri di bawah salah satu turbin sembari mendengarkan penjelasan Zoepp. Bayangan turbin menari di atas tanah, diterpa matahari yang semakin condong ke barat.

"Any question?” bahasa Inggris Zoepp sangat bagus sehingga kami bisa memahami penjelasannya.

Saya mengajukan tangan. "We are in wind farm now. But where is the famer?

Tidak ada jawaban, hanya tawa yang terdengar. Hawa sejuk, perut kenyang. Butuh tawa penyegar agar mata tetap terbuka.

Rombongan Visitor Program tidak hanya berkunjung ke lapangan namun kami juga bertemu dan berdiskusi dengan banyak pihak seperti akademisi, lembaga riset dan wakil pemerintah.

Salah satu yang kami datangi adalah PIK Potsdam Institute for Climate Impact Research, lembaga riset yang didanai pemerintah Jerman yang bekerja di sektor perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Dr. Daniel Klingenfeld, Head of the Directors' Staff memaparkan apa penyebab perubahan iklim dan bagaimana dampaknya secara lingkungan, ekonomi bahkan politik. Diskusi yang sangat berkesan sebab selain Dr. Daniel menjelaskan dengan data-data terkini, kami duduk melingkar di bawah kubah besar. Sebelum diubah menjadi ruang rapat, dulunya adalah tempat observasi antariksa dengan periskop besar.

Siapa yang tak kenal dengan Albert Einstein, ilmuwan terbesar yang menemukan  teori relativitas. Hanya sepelemparan batu dari tempat saya duduk, berdiri indah gedung observatory berwarna putih dengan kubah biru muda. Saya membayangkan, rambut kriwilnya berkibar ketika Einstein menaiki tangga lalu menghilang di balik pintu untuk tenggelam dalam penelitiannya.

Kunjungan yang paling mendebarkan justru ke kantor Kementerian Luar Negeri Jerman. Di depan kami, Paternoster, lift tanpa pintu terus bergerak tanpa henti. Di satu kabin, maksimum hanya dua penumpang tapi disarankan untuk sendirian saja. Aku mesti hati-hati melangkah ketika masuk ke dalam kabin yang terus bergerak naik. Tidak ada pintu. Kabin terbuka. Terlihat lantai-lantai yang dilalui. Lift terus bergerak termasuk ketika harus turun. Aku sedikit melompat. Lantai terasa bergoyang. Lift buatan abad 19 ini masih terawat dengan baik. Paternoster mengantar kami untuk jamuan makan siang bersama Michaela Späth, Direktur Energi dan Kebijakan Iklim, Ekonomi dan HAM dan Hak-hak Perburuhan dan Isu Internasional di Kementerian Luar Negeri Jerman. Sambil bersantap siang, Spath membeberkan berbagai kebijakan luar negeri yang diambil pemerintah Jerman terkait dengan perubahan iklim.

Besuchsprogramm Klimawandel und Energietransition in Deutschland"
Kincir angin, salah satu andalan Jerman menuju energi ramah lingkunganFoto: Aditya Wardhana

Berkunjung ke Bonn dan kantor Deutsche Welle

Dari Berlin, rombongan kami bergerak ke Bonn. Dari Ibu kota berpindah ke mantan Ibu kota. Di samping kantor DW, menjulang tinggi gedung UN Campus dimana 18 lembaga di bawah PBB berkantor. Salah satunya adalah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) lembaga yang berfokus memerangi perubahan iklim.

Sungai Rhein yang lebar dan bersih, aliran tenangnya membelah kota Bonn. Mempercantik lanskap Bonn yang berbukit hijau, sejuk dan udara yang segar. Pemerintah Kota Bonn pun tak ketinggalan berpartisipasi dalam pengurangan emisi dan mendorong penggunaan energi terbarukan. Panel surya dipasang dimana-mana. Kendaraan pribadi dikurangi, sepeda dan angkutan umum yang ramah lingkungan diperbanyak. Pemkot Bonn akan membangun 36 stasiun pengisian mobil listrik. Di stasiun ini pun tersedia penyewaan sepeda, otoped, dan mobil listrik melalui aplikasi. Di tahun 2022, Bonn berambisi mewujudkan pusat kota yang bebas emisi.

Secara global, emisi karbon yang dikeluarkan Jerman "hanya” 2%, jauh di bawah Cina sebesar 26.3% dan Amerika Serikat sebesar 13,7%. Namun tekad Jerman untuk menahan laju perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca terasa nyata. Berbagai kebijakan yang menstimulus penggunaan energi terbarukan, alokasi dana untuk penelitian dan hibah terkait perubahan iklim. Bahkan peran aktif masyarakat, sektor bisnis, pendidikan bahkan media turut membangun kesadaran pentingnya menjaga lingkungan.

* Aditya Wardhana adalah peserta Visitors Programme of the Federal Republic of Germany, Climate Policy for 2050.

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.