1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

HAM yang Luput dari Kampanye Politisi

Zaky Yamani
Zaky Yamani
13 April 2019

Persoalan demi persoalan HAM di tanah air seolah tak penah selesai. Zaky Yamani mempertanyakan mengapa calon presiden dan legislatif absen atas persoalan HAM.

https://p.dw.com/p/3GXKU
Indonesien Landwirtschaft Demonstration
Foto: Gunretno/Dewi Chandraningrum

Saat saya duduk di sebuah kedai kopi untuk menulis artikel ini, pemilik kedai itu berkisah tentang petani kopi. Kata dia, ada seorang aktivis warga yang mencoba membuat saluran penjualan biji kopi langsung dari petani kepada konsumen di sebuah daerah di Sumatera. Tujuan aktivis itu hanya satu, agar petani kopi bisa mendapatkan keuntungan yang adil dan tidak bergantung pada tengkulak. Di akhir kisah, si aktivis itu harus mengungsi ke Jawa karena rumahnya dibakar orang-orang tak dikenal, yang diduga adalah suruhan para kartel kopi.

Kisah semacam itu bukan hanya terjadi satu-dua kali saja di Indonesia. Beberapa kawan bahkan mencurigai ada praktik tanam paksa atas komoditas perkebunan terhadap ribuan warga di berbagai daerah di Indonesia.

Kejadiannya persis seperti zaman tanam paksa di era kolonial: warga diminta menanam tanaman tertentu, panennya hanya bisa dijual ke pihak yang meminta dengan harga yang ditetapkan si peminta, kalau menolak petani dan keluarganya diintimidasi.

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Dalam pemberitaan yang mencuat di media massa, kabar-kabar orang tertindas juga tidak pernah sepi. Lihat kasus Heri Budiawan alias Budi Pego, aktivis lingkungan yang menolak tambang emas di Pegunungan Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur, ditangkap dan dituntut di pengadilan dengan tuduhan menyebarkan komunisme, walau dalam persidangan tidak ada bukti untuk tudingan itu.

Saya juga teringat pada percakapan dengan warga sebuah desa di Aceh yang tanah leluhurnya direbut perkebunan sawit. Salah seorang dari mereka bercerita kepada saya, suatu malam terdengar keramaian di sekitar rumahnya. Ketika dia keluar, orang-orang perkebunan kelapa sawit sedang menanami halaman rumahnya dengan pohon-pohon kelapa sawit, dan tiba-tiba saja tanah miliknya itu berada di dalam peta lahan milik perkebunan kelapa sawit.

Tidak pernah selesai

Kita bisa mengorek-ngorek lebih jauh lagi untuk mencatat daftar panjang kasus-kasus pelanggaran kemanusiaan di negeri ini, mulai dari tengah hutan sampai ke tengah kota, untuk menunjukkan bahwa di Indonesia persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak pernah selesai, karena tidak pernah ada solusi yang menyeluruh untuk menghentikan persoalan-persoalan itu. Tapi dalam situasi itu, kita tak pernah mendengar persoalan HAM jadi perhatian para politisi di musim kampanye ini, apakah dari mulut para caleg untuk DPRD tingkat kabupaten, sampai para calon presiden dan wakil presiden.

Dalam salah satu episode debat calon presiden, kita mendengar bagaimana salah satu calon presiden disindir tentang kepemilikan ribuan hektare lahan miliknya. Lalu kemudian beberapa media menurunkan peta kepemilikan lahan-lahan raksasa yang dimiliki orang-orang di balik layar dua kubu yang sedang bertarung itu. Tapi sekali lagi, potret orang-orang yang tergusur atau yang terpaksa hidup dalam tekanan-tekanan para pemilik lahan raksasa tidak diangkat ke permukaan, juga tidak ada pertanyaan tentang bagaimana para capres itu akan menghargai hajat hidup warga yang selama ini dinistakan.

Kita sering lupa, persoalan HAM bukan semata kekerasan secara fisik. Jika merujuk pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, HAM harus dilihat pada dimensi luas yang meliputi hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik. Dan karenanya, ketika bicara HAM, kita harus sampai pada sebuah pertanyaan tentang keadilan negara ini bagi seluruh warga negaranya tanpa kecuali.

Lalu kenapa persoalan HAM nyaris absen di dalam kampanye para capres dan caleg? Kalau pun muncul, semata ditujukan pada pelanggaran HAM di masa lalu, yang digunakan sebagai alat menyerang lawan politik, alih-alih ditujukan untuk mencari keadilan.

Semata tak peduli

Absennya persoalan HAM di dalam musim politik ini membuat saya khawatir. Bukan karena para politisi itu tidak tahu tentang HAM (karena saya yakin di belakang mereka banyak penyokong yang memiliki pengetahuan tentang itu), bukan juga karena mereka tidak tahu tentang bagaimana pelanggaran HAM terjadi di negeri ini dari hari ke hari (karena saya yakin para politisi itu punya jaringan informan di seantero negeri). Yang saya khawatirkan, para politisi itu semata tidak peduli dengan HAM dan persoalan-persoalannya.

Ketidakpedulian itu sedikit banyak tergambar dari bagaimana para politisi dan partai politik membiarkan dirinya mendapatkan sokongan dana dan politik dari siapa pun, tak peduli apakah para penyokong pernah menggusur rakyat dari tanahnya, pernah mengintimidasi, atau menjalankan bisnis yang monopolistik. Bahkan untuk hal yang vulgar sekalipun, seperti perekrutan para caleg yang pernah dihukum dalam kasus korupsi, partai-partai politik menunjukkan ketidakpedulian yang luar biasa.

Kita tahu, banyak aksi pelanggaran HAM—terutama yang berdimensi kekerasan fisik—dilakukan secara horisontal oleh sesama warga, misalnya dalam kasus berlatar agama dan etnis. Biasanya penyelesaian kasus-kasus seperti itu dilakukan dengan pendekatan sosial dan ekonomi, dengan asumsi bahwa orang cepat tersulut amarahnya karena mereka miskin dan tak memiliki saluran aspirasi.

Tapi bagaimana dengan kasus-kasus perampasan tanah dan penggusuran?

Kasus-kasus seperti itu melampaui batasan agama dan etnis. Para pelakunya pun bukanlah orang-orang miskin dan tanpa saluran aspirasi, justru sebaliknya mereka adalah pihak-pihak yang kuat secara ekonomi dan politik, yang bahkan bisa mengendalikan alat-alat negara dan para politisi.

Dengan membaca peta seperti itu, setiap warga sudah sepatutnya merasa khawatir. Ketika persoalan-persoalan HAM tak disinggung dalam kampanye para politisi, ada kemungkinan yang sangat besar bahwa mereka memang tidak peduli akan persoalan itu. Jika demikian, pemilu berisiko hanya jadi alat legitimasi atas kekuasaan yang intimidatif dan menggerogoti hak asasi warga, siapa pun yang jadi pemenangnya.

Menguji komitmen

 Lalu bagaimana warga bisa menguji komitmen para politisi terhadap pemenuhan HAM? Langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan membalikkan kondisi dari posisi pasif menjadi aktif: warga harus bertanya dan terus mempertanyakan kepada para politisi, alih-alih mendengarkan secara pasif dalam kampanye-kampanye mereka. Sebelum menentukan pilihan politiknya, warga harus berani "menelanjangi” para politisi itu dengan pertanyaan-pertanyaan kritis, sampai terungkap untuk siapa mereka bekerja, dan jika memungkinkan mengungkap siapa saja yang berada di belakang mereka. Dorong mereka untuk berjanji mengedepankan hak asasi seluruh warga negara dalam berbagai dimensinya: ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.

Selanjutnya, ketika parpol-parpol dan para politisi itu memenangkan pemilu, mereka tidak bisa kita diamkan. Setiap saat janji-janji politik mereka harus ditagih untuk diwujudkan. Kalau mereka abai, kita harus berani protes dengan berbagai bentuk, apakah melalui surat, melalui audiensi, melalui demonstrasi, atau aksi-aksi menarik lainnya. Dengan kata lain setiap warga negara harus aktif menuntut hak semua warga negara.

Dengan cara itulah demokrasi bisa berjalan dengan benar, ketika rakyat banyak yang menentukan siapa yang bisa bekerja dan apa yang harus mereka lakukan demi kepentingan seluruh warga negara.

Zaky Yamani, Jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.