1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Kehidupan dan Harapan Lambat Laun Kembali ke Kota Wuhan

William Yang
1 April 2020

Kehidupan berangsur-angsur kembali normal di Wuhan setelah lockdown dilonggarkan. Selama lebih dua bulan, 11 juta penduduk diharuskan mengurung diri di rumahnya.

https://p.dw.com/p/3aHng
China Wuhan Menschen Skyline
Foto: Reuters/A. Song

Kehidupan lambat laun kembali normal di kota Wuhan, yang disebut-sebut sebagai kota asal penyebaran virus corona SARS-CoV-2 dan wabah COVID-19. Pada 8 April mendatang, karantina wilayah di Wuhan sebagian besar akan dicabut, dan mereka yang terdaftar sehat akan diizinkan untuk meninggalkan kota itu. Sekarang, bus dan kereta bawah tanah di Wuhan sudah beroperasi lagi. 

Ben, bukan nama sebenarnya, mengatakan bahwa dua bulan terakhir ini terasa seperti semua kegiatan sehari-hari berhenti. Setelah menghabiskan begitu banyak waktu di rumah, dia sekarang merasa sulit berada di kerumunan orang lagi. 

"Saya dulu suka pergi menonton film atau pertunjukan dengan teman di akhir pekan. Tetapi sebelum wabah benar-benar berakhir, saya sekarang lebih suka tinggal di rumah," kata Ben, yang bekerja di sektor real estate, kepada DW. 

Respons terlambat di Wuhan 

Bisnis real estate kemungkinan akan sulit bangkit kembali, karena orang tidak akan langsung membeli rumah jika situasi mulai normal. 

"Saya tidak berharap orang-orang akan berpikir untuk membeli properti sebelum wabah ini sepenuhnya berakhir," kata Ben. "Kecemasan yang dirasakan selama dua bulan terakhir masih akan mendominasi." 

Banyak penduduk Wuhan berpendapat, meskipun keputusan pemerintah pusat di Beijing untuk memberlakukan lockdown akhirnya berhasil meredam penyebaran virus corona, namun langkah itu terlambat sehingga menyebabkan puluhan ribu orang terinfeksi dan ribuan lainnya meninggal. 

"Saya tidak bisa melupakan tangisan dari banyak keluarga yang hancur, dan bagaimana pemerintah awalnya mengabaikan keselamatan banyak orang," kata Eric, yang tinggal di Wuhan bersama keluarganya dan tidak ingin nama sebenarnya disebut. 

Dia bekerja sebagai insinyur, dan mengatakan bahwa hidupnya telah berubah drastis sejak lockdown. "Saya biasa berjalan-jalan atau berolahraga di taman terdekat bersama keluarga. Ketika lockdown diberlakukan, kami terpaksa tinggal di rumah dan hanya menatap telepon seluler atau menonton televisi", tambah Eric. 

Manajemen berbasis komunitas untuk membantu warga 

Ben mengatakan, pada awal pemberlakuan lockdown terjadi kekacauan besar, karena pemerintah tidak mempersiapkan penerapannya dengan baik. 

"Meskipun lockdown adalah langkah yang diperlukan untuk mencegah penyebaran virus corona lebih lanjut, pemerintah pusat tidak menerapkan mekanisme untuk mengatasi kebutuhan masyarakat di tengah wabah. Sehingga mereka terpaksa mencoba mencari bantuan sendiri," katanya. Otoritas kewalahan karena jumlah yang sakit bertambah dengan cepat. 

Menyusul kekacauan awal, pemerintah Cina dengan cepat membangun beberapa rumah sakit darurat untuk merawat pasien yang terinfeksi Covid-19. Beijing juga mendatangkan dokter dan tenaga kesehatan dari provinsi lain. 

"Pemerintah memobilisasi relawan dan staf lokal untuk melakukan pengawasan dari rumah ke rumah dan lewat panggilan telepon. Para relawan lokal ini yang dikerahkan untuk membantu membeli obat-obatan dan kebutuhan dasar bagi keluarga-keluarga. Tim lokal ini memainkan peran kunci menjaga kita bertahan hidup selama wabah," kata Ben. 

"Jadi saya tidak ingin mendengar propaganda tentang 'kemenangan besar' pemerintah atas virus corona, karena saya percaya sekarang adalah saatnya untuk merefleksikan kesalahan yang telah mereka buat selama dua setengah bulan terakhir..., dan mencoba membangun mekanisme pencegahan penyakit yang lebih baik," pungkasnya. (hp/as)