1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
OlahragaTimur Tengah

Kisah Hogeg Memerangi Arabofobia di Klub Beitar Jerusalem

30 Desember 2020

Seorang pengusaha Yahudi mendapat dukungan dari Teluk buat mengusir hantu rasisme di klub Beitar Jerusalem, yang menolak pemain Arab. Inisiatif itu mengusik kelompok ultra, karena dianggap mengancam identitas klub

https://p.dw.com/p/3nMyy
Pendukung Beitar Jerusalem menonton sesi latihan, 11 Desember 2020.
Pendukung Beitar Jerusalem menonton sesi latihan, 11 Desember 2020.Foto: Emmanuel Dunand/AFP

Klub sepak bola Beitar Jerusalem punya masalah pelik. Dan pengusaha Yahudi Moshe Hogeg merasa punya jawabannya. Miliuner berusia 39 tahun itu belum lama ini menggandeng investor UAE yang juga anggota kerajaan, Sheikh Hamad Bin Khalifa Al Nahyan, untuk membenahi satu-satunya klub yang menolak mempekerjakan atlit berdarah Arab.

"Isu rasisme adalah termasuk elemen kunci yang membawa saya membeli klub ini,” kata Hogeg saat diwawancara Associated Press. "Saya melihat masalah ini tidak hanya mencederai citra klub, tetapi juga Israel.”

Klub sepakbola Beitar tergolong unik. Sejarahnya berakar pada gerakan Zionis prakemerdekaan yang turut melahirkan Partai Likud, tulis AFP. Kiprahnya termasuk yang paling sering dikisahkan oleh media nasional, dan dianggap sekutu politik PM Benjamin Netanyahu untuk memobilisasi basis kelompok nasionalis.

Salah satu daya tarik politik Beitar Jerusalem berada pada barisan pendukung fanatiknya, La Familia. Organisasi ultra kanan ini tidak hanya giat menggalang dukungan di dalam stadion, tetapi juga aktif berdemonstrasi di jalan-jalan kota. Namun langgam rasialis La Familia dianggap merintangi Beitar beradaptasi dengan sepak bola modern.

Pengusaha mata uang Kripto asal Israel, Moshe Hogeg.
Pengusaha mata uang Kripto asal Israel, Moshe Hogeg.Foto: Ronen Zvulun/REUTERS

Tidak lama setelah investasi UAE diumumkan, anggota La Familia menuliskan pesan di tembok stadion Teddy di Yerusalem, agar Beitar dijaga "kemurniaannya dari bangsa Arab,” lapor kantor berita AP. 

"Saya mencintai sepak bola dan saya kira ini adalah kesempatan untuk membeli klub ini dan membenahi masalah rasisme,” kata Hogeg. "Jadi saya bisa membuat sesuatu yang lebih besar ketimbang sepak bola sendiri.”

Dukungan dari Teluk

Hogeg membeli Beitar dua tahun lalu. "sejak awal" dia mengaku sudah berusaha mengubah kultur klub. Di berbagai kesempatan, dia menyempatkan berbicara menentang rasisme, bahkan melaporkan pendukung sendiri atas dugaan pencemaran nama baik klub. Tahun lalu, Hogeg membeli pemain muslim pertama dari Niger, Ali Mohamed.

Tapi kejutan terbesar datang saat Hogeg menjual 50% saham klub kepada anggota klan al-Nahyan, penguasa UEA.  Sang syeikh setuju menyuntikkan USD 90 juta ke dalam kas klub selama sepuluh tahun ke depan.

Pertalian antara kedua pengusaha berawal dari perjanjian damai antara Israel dan UEA, September silam. Hogeg lalu giat melobi sejumlah calon investor, sebelum dipertemukan dengan al-Nahyan oleh seorang kenalan. 

"Saya mencari mitra yang punya visi yang sama untuk menunjukkan kepada dunia, kepada anak-anak dan semua orang, bahwa muslim dan Yahudi bisa bekerjasama dan membangun hal-hal yang indah bersama-sama,” katanya. 

"Dan saya yakin sepak bola adalah platform terbaik untuk hal ini.”

Hogeg membeberkan, dia dan mitra barunya ingin menggunakan pendekatan "wortel dan tongkat,” dengan memanjakan pendukung lewat sepak bola berkualitas, sembari mengasingkan mereka yang menentang pesan koeksistensi damai di antara suku bangsa.

"Pilihannya adalah mendukung klub atau mendukung hal lain. Jika Anda menginginkan kebencian dan rasisme, Anda bukan bagian dari kami, kata dia.

Musuh dalam selimut

Pilihan itu kini jatuh ke tangan Avigail Sharabi, pendukung fanatik Beitar yang belakangan rajin tampil di televisi dan menuduh Hogeg menjual tradisi demi uang. 

Pria berusia 54 tahun itu bersikeras dirinya tidak rasis, tapi mengaku tak mampu mencerna skenario seorang atlit Arab mengenakan seragam berlambang menorah atau menyanyikan lagu nasional Israel yang merayakan Palestina sebagai tanah Yahudi.

"Dia menjual semuanya. Dia menjual nama kami, prinsip-prinsip kami, kehidupan kami, belahan jiwa kami,” kata Sharabi menuduh Hogeg. 

Amarah La Familia memuncak pada musim 2012/2013, ketika pemilik Beitar saat itu, Arcadi Gaydamak yang berdarah Rusia, membeli dua atlit muslim Chechnya dalam sebuah kesepakatan rahasia. 

Kehadiran kedua pemain muslim itu lalu memicu kampanye paling rasis dalam sejarah sepak bola Israel, catat harian Haaretz dalam sebuah editorialnya. Spanduk bertuliskan "mati bagi bangsa Arab” atau "mati bagi kaum muslim” berulangkali terlihat di dalam dan luar stadion

Maya Zinshtein, jurnalis yang membuat film dokumenter "Selamanya Murni” tentang Beitar Jerusalem di musim  yang kontroversial itu menilai La Familia mewakili suara minoritas yang vokal. Menurutnya mereka selama ini dibiarkan merundung basis pendukung yang lebih besar. 

Ironisnya, banyak di antara pendukung Beitar merupakan minoritas Mizrahis, Yahudi berdarah Arab yang juga mengalami diskriminasi di negeri sendiri. 

"La Familia tidak akan berubah. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar ruang yang diberikan bagi mereka,” kata Zinshtein. Sutradara pemenang penghargaan Emmy itu meyakini Hogeg akan mampu membawa perubahan. 

Baru-baru ini, aksi protes pendukung fanatik di sebuah sesi latihan ditandingi oleh pendukung lain yang berjumlah jauh lebih besar. "Ini tidak akan mudah,” kata Hogeg, yang meyakini La Familia akan terus mempertahankan tradisi rasis Beitar Jerusalem. "Tapi saya yakin kita akan menang,” pungkasnya.

rzn/as (ap, afp, jpost, haaretz)