1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kisah Pilu Mereka yang Kehilangan Dalam Gempa Palu

17 Oktober 2018

Dua minggu berlalu sejak gempa dan tsunami meluluhlantakkan beberapa wilayah di Sulawesi Tengah. Kepedihan mereka yang menyaksikan kehancuran dan kehilangan orang yang dicintai, menyisakan kisah-kisah nestapa.

https://p.dw.com/p/36fcT
Indonesien Puppe zwischen Trümmern auf Sulawesi
Foto: Reuters/J. Silva

Balok-balok kayu malang melintang, tumpukan puing beton, sepeda motor yang ringsek dan rongsokan barang-barang rumah tangga, mulai dari pot yang remuk hingga dan panci penyot dan mainan yang rusak tampak berserakan.

Setelah gempa bumi berkekuatan 7,5 menghantam pesisir  Palu, setumpuk puing beton berwarna merah jambu yang luluh lantak adalah yang tersisa dari rumah pedagang buah, Kaharuddin. Dia menatap puing-puing itu di kota kelahirannya Balaroa dan mengatakan di bawah tumpukan itu ada putrinya yang berumur satu tahun dan hilang setelah bencana 28 September.

"Saya hanya menunggu di sini dan berharap bisa menemukan anakku," kata lelaki berusia 40 itu. "Atau mungkin aku harus menerima kenyataan bahwa ia tetap dimakamkan di sini."

Empat hari setelah gempa, petugas evakuasi menemukan jenazah istrinya, Hastuti, yang tangannya masih memeluk jasad dua anak perempuan mereka yang lain, yang berusia empat dan dua tahun, begitu tuturnya dalam kepiluan.

Sekitar 5.000 orang diduga masih terkubur di bawah lumpur, demikian perkiraan petugas penanggulangan bencana. Pencarian korban resmi dihentikan pada hari Jumat lalu, dua minggu setelah gempa, meskipun ada permintaan warga agar pencarian tetap dilanjutkan.

Gempa bumi di Palu mengubah tanah menjadi lumpur dan menyeret ribuan rumah dan orang-orang di dalamnya ke bawah lumpur dan aspal. Gempa dan tsunami menghancurkan ribuan rumah, mobil dan bangunan lain, menyeret benda-benda itu ratusan meter dari posisi aslinya dalam waktu hanya beberapa menit.

Saat bumi menelan manusia

"Rasanya seperti bumi itu hidup," kata Darmi, yang melihat separuh dua lantai rumahnya runtuh. "Terbuka, menelan orang.orang dan kemudian menutup lagi. Dan kebisingannya begitu keras. Suara 'k-k-k' yang keras dan retak."

Kembali ke Balaroa untuk pertama kalinya dua minggu setelah bencana, Hesti Andayani, terkejut menemukan rumahnya meluncur jauh dari lokasi aslinya. "Butuh begitu lama untuk menemukannya," katanya, sambil menangis. "Tak tahu lagi di mana kami bisa tinggal sekarang."

Hesti, yang kehilangan adik perempuannya akibat gempa, duduk di atas tumpukan ubin yang pernah menutupi bagian lantai kedua kamar tidur, dikelilingi oleh perhiasan dan kosmetik berdebu. "Ini semua yang tersisa. Riasanku, kalung, pin untuk jilbab saya,"katanya sambil terisak.

Tim relawan tiba dengan lusinan ekskavator untuk membantu menggali jenazah yang tertimbun. Sementara sejumlah warga mengais barang berharga dari puing-puing rumah mereka yang hancur.

Menyaksikan kematian orang yang dikasihi

Pejabat pemerintah kabupaten Palu, Yassir Garibaldi, mendorong dan menarik sebuah mobil putih yang terjebak di bawah serambi bangunan yang runtuh. "Saya membeli mobil ini untuk orang tua saya," katanya. "Mereka sudah meninggal sekarang. Itu satu-satunya milik mereka.”

Dia dipaksa menyaksikan tanpa daya saat orang tua dan keponakannya meninggal setelah gempa mengguncang. "Saya menemukannya pagi hari setelah gempa," kata Yassir.

"Saya berhasil berbicara dengan mereka, bahkan memberi mereka air minum. Setelah beberapa saat, mereka berhenti bernafas." Banyak orang kehilangan orang yang dicintai.

Di Petobo, Ameriyah kehilangan  tiga anaknya, seorang cucu dan seorang menantu laki-laki. Dia sudah pasrah. "Kami telah mengadakan doa pemakaman bagi mereka, jadi kami berharap jiwa mereka akan damai, "katanya.

Beberapa orang lainnya tetap tidak bisa dihibur. "Saya tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya. Tidak ada yang tersisa untukku di sini, "kata Kaharuddin, pedagang buah yang masih mencari jasad putrnyai di bawah puing-puing beton merah muda dari bekas rumah mereka.

ap/vlz(rtr)