1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Komisi Eropa Akui Peran Penting Indonesia untuk COP26

19 Oktober 2021

Dalam wawancara dengan AP di Jakarta, Komisaris Eropa untuk Aksi Iklim mengapresiasi peran Indonesia untuk COP26. Menurutnya, RI tengah berupaya menunjukkan komitmen mengubah ekonominya menjadi lebih hijau.

https://p.dw.com/p/41qxY
Presiden RI Joko Widodo saat menyambut Frans Timmermans di Istana Mereka, Jakarta, Senin (18/10)
Presiden RI Joko Widodo saat menyambut Frans Timmermans di Istana Mereka, Jakarta, Senin (18/10)Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat President

Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa untuk Kebijakan Hijau dan Iklim Frans Timmermans, mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang sangat penting untuk COP26. Bukan hanya karena Indonesia akan memegang jabatan presidensi G-20 ke depan, tapi juga karena Indonesia ia nilai jadi salah satu negara yang telah membuat langkah-langkah besar dalam mengatasi masalah iklim.

Hal ini diutarakan Timmermans saat berbicara tentang gelaran KTT Iklim PBB yang dikenal sebagai COP26, kepada The Associated Press di Jakarta pada Senin (18/10). KTT Iklim tersebut akan dimulai di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober mendatang.

"[Indonesia] sekarang menjadi sebuah negara yang ingin memimpin dalam masalah ini, yang ingin menunjukkan bahwa mereka juga bisa mengubah ekonomi mereka menjadi ekonomi yang berkelanjutan. Dan saya benar-benar bersemangat akan hal itu. Dan itu juga mengapa saya ingin berada di sini,” kata Timmermans seperti dikutip dari AP.

"Tidak boleh ada yang tertinggal”

Timmermans mengatakan model ekonomi global saat ini – seperti ketergantungan historis terhadap bahan bakar fosil – perlu diubah untuk memastikan pergeseran yang lebih adil menuju ekonomi hijau. Meski begitu, ia menekankan perubahan itu seharusnya tidak mengorbankan pembangunan di negara-negara miskin.

Semua negara menurutnya memiliki tanggung jawab untuk memastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal di belakang. Dan transisi menuju ekonomi yang lebih hijau untuk mengatasi krisis iklim harus dilakukan seadil mungkin.

"Kita tidak boleh meninggalkan siapa pun di belakang. Dan tentu saja, jika Anda berada di negara berkembang, risiko untuk itu lebih besar dibanding di negara maju. Itulah yang akan menjadi tantangan terbesar kita,” jelasnya.

Menurut Timmermans, bisnis harus mau berbagi pengetahuan terkait teknologi hijau dengan negara-negara berkembang. "Ada tanggung jawab besar dari negara maju untuk berbagi teknologi dengan negara-negara berkembang, bukan hanya karena altruisme. Juga karena ini peluang bisnis yang bagus,” kata Timmermans.

Tapi negara juga menurutnya perlu menciptakan lingkungan yang ramah untuk bisnis. "Anda perlu menciptakan investasi yang stabil. Anda perlu memerangi korupsi. Anda perlu memastikan bahwa memang hal itu menarik untuk investor asing mau datang dan berbagi teknologi,” pungkasnya.

Sedikit waktu untuk transisi energi

Timmermans adalah seorang politikus dan diplomat Belanda. Ia juga menjabat sebagai wakil presiden eksekutif Uni Eropa untuk Kesepakatan Hijau – sebuah kebijakan inisiatif yang dibuat oleh Komisi Eropa untuk memerangi perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 55% pada tahun 2030, dan menjadikan UE netral karbon pada tahun 2050.

Upaya untuk menjauhkan diri dari batu bara dengan metode-metode yang dapat diaplikasikan di negara-negara penghasil batu bara seperti Indonesia juga jadi salah satu bagian insiatif tersebut, kata Timmermans.

"Tiga puluh wilayah pertambangan baru bara di UE masih berupaya untuk beralih dari batu bara. Ini adalah operasi yang sangat besar. Kami akan memastikan bahwa [peralihan] ini dilakukan dengan cara yang adil sehingga mereka memiliki masa depan ekonomi di wilayah itu, bisa dengan melatih kembali tenaga kerja agar siap mengambil lapangan pekerjaan baru, atau dengan membawa kegiatan ekonomi baru ke daerah tersebut,” jelas Timmermans.

"Dan saya ingin berbagi pengalaman itu dengan Indonesia,” tambahnya.

Menurut Timmermans, pemerintah dunia saat ini sedang berpacu dengan waktu untuk membuat kemajuan dalam transisi energi yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis iklim.

"Kita perlu mengurangi emisi kita secara substansial antara sekarang dan 2030, dan untuk melakukan itu, Anda perlu melakukan transisi energi secepat mungkin, dan itu sangat sulit,” ujarnya seraya menambahkan: "Satu hal yang kita miliki adalah terlalu sedikit waktu.”

gtp/hp (AP)