1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketika Orang Lain Maju, Kita Malah Mundur

4 Mei 2019

Sudah menyaksikan film "Kucumbu Tubuh Indahku" ? Atau membaca sinopsisnya? Apa pandangan Anda soal film ini dan kontroversinya? Simak pendapat Andibachtiar Yusuf.

https://p.dw.com/p/3HpBu
Indonesischer Film "Kucumbu Tubuh Indahku"

"Telah terjadi kemunduran kualitas demokrasi di era media sosial saat mudahnya terjadi penghakiman massa lewat media sosial yang diikuti begitu saja tuntutannya oleh pemimpin sebuah daerah untuk membatalkan kehadiran sebuah karya,” demikian ujar Sutradara Garin Nugroho di laman media sosialnya.

Ia tentu kesal dan itu wajar, negara yang dicintainya dan tengah berada di titik pengharapan demokrasi lewat kanal pemilihan presiden paling egaliter di dunia ironisnya justru memiliki masyarakat yang pada dasarnya sangat tidak demokratis.

"Kucumbu Tubuh Indahku" bagi saya adalah karya terbaik Garin Nugroho, sutradara yang sering saya sebut sebagai yang terbaik di Indonesia saat ini. Pada karya ini ia tak hanya menampilkan visual serta cara bertutur yang baik, lebih dari itu ia menunjukkan bagaimana seorang seniman senior berkarya.

Penulis: Andibachtiar Yusuf
Penulis: Andibachtiar Yusuf Foto: Andibachtiar Yusuf

Ketika banyak seniman lain terjebak pada hal-hal duniawi atau rasa takut pada akhirat, Garin malah mengupdate karyanya sembari memberi sentuhan-sentuhan kekinian yang membuat apa yang ia buat jadi tetap memiliki konteks pada kejadian dan tren di hari ini.

Kisahnya sendiri sederhana, perjalanan hidup seorang penari. Bagaimana ia menjalani segalanya bermula dan bagaimana ia melihat dunia saat ini.

Garin menyebutnya sebagai petualangan tubuh si Karakter Utama, responnya pada semua kejadian dan bagaimana hal itu mempengaruhi jiwa dan tubuh itu sendiri di kemudian hari. Tentu digambarkan dengan cara sang Maestro yang sangat khas. Latar belakang Jawa yang kuat, gambar yang apik serta cara bertutur yang saya rasa di hari ini hanya ia yang bisa fasih menuturkannya.

Lalu karya ini diramaikan oleh orang-orang yang saya yakin belum menontonnya. Orang-orang yang dengan modal sinopsis, review dan poster film ini kemudian ramai-ramai menghakimi moral film ini bagai takut, setelah menyaksikan film ini perilaku mereka jadi sama persis seperti karakter di film.

Orang-orang ini saya yakin bahkan menonton Avengers saja takkan mau, karena tentu mereka khawatir setelah menyaksikannya mereka akan meniru Thanos….coba memusnahkan separo peradaban jagad raya!

"Telah terjadi kemunduran” bagi saya adalah pilihan kata yang sangat menarik dalam konteks ini. Menunjukkan bahwa di suatu masa, karya seni memiliki ruang lebih lebar untuk bisa diterima oleh masyarakat.

Bahkan di era Orde Baru yang disebut sangat membatasi karya, kita bisa menyaksikan adegan aparat kepolisian menyiksa seorang tersangka ketika menginterogasi dirinya….sesuatu yang saya pastikan mustahil bisa kita temukan dalam jagad sinema kita hari ini.

Lebih suka menghakimi

Di masa-masa itu potret hubungan remaja bisa tervisualkan vulgar sampai ke materi poster promosinya. Zaman sekarang jangan harap bisa melihat ada poster film yang menampilkan perempuan sekadar memakai kutang. Di zaman sekarang bahkan judul film ‘Dua Garis Biru' yang disinyalir akan berkisah tentang peristiwa hamil di luar nikah juga ikut menimbulkan kontroversi dan tengah dipetisikan—seperti nasib "Kucumbu Tubuh Indahku"—oleh sekelompok orang yang sibuk menjaga moralnya yang rapuh itu.

Tak peduli Lembaga Sensor Film telah memberi rating sekaligus label batasan usia pada film-film itu, bangsa kita tetap senang menghakimi sesuatu yang jelas telah direstui oleh negara. Parahnya, teknologi faktanya justru digunakan sebagai tempat menghakimi orang lain atau pekerjaan orang lain di sini. Orang-orang dengan mudah menggerakkan orang lainnya untuk menyatukan suara mereka, kemudian menjadi kelompok penekan yang mendorong pemerintah (atau penguasa) untuk merasa khawatir pada tekanan itu dan tanpa melihat apalagi memeriksa sepakat untuk mendukung prilaku sepihak yang sering tanpa alasan itu.

Andai penegakan hukum benar bisa ditegakkan di negeri ini situasinya mungkin lain. Pihak pembuat film atau karya atau apapun kita menyebutnya akan memiliki tenaga untuk mengadukan keresahannya pada aparatur negara lewat jalur hukum untuk kemudian coba bertarung di pengadilan untuk memenangkan hak ekspresi mereka.

Dukungan pemerintah ada di mana?

Faktanya, situasi ini bisa terjadi dengan ongkos finansial dan tenaga yang sulit diperkirakan. Itupun andai pihak penguasa merasa bahwa peristiwa penghakiman massa ini adalah hal yang layak dipertentangkan. Secara umum bahkan Lembaga Sensor Film hanya punya kemampuan untuk memberi pernyataan pers atau sikap tanpa pernah bisa memaksa—tentu dengan kekuatan wewenang mereka—para pemerintah daerah untuk mengembalikan karya yang telah dipaksa turun oleh sekelompok masyarakat berpemikiran ala kaum Pagan itu.

Kita lalu akan sibuk berdebat pada tataran selera bangsa yang sulit untuk dimenangkan. Selera atau perspektif kebanyakan orang atau bangsa yang disebut sangat rendah, padahal dalam ilmu bisnis ada yang disebut sebagai edukasi pasar. Ilmu yang digunakan untuk membentuk selera orang-orang yang dituju sebagai sasaran penjualan. Atau jika menyimak kata Garin Nugroho sendiri tentang situasi ini "Seperti pendidikan, selera pun sebenarnya bisa dibentuk.”

Nah….siapakah yang punya kemampuan atau wewenang untuk membentuk selera itu? Apalah artinya kita tanpa dukungan penuh dari penguasa (baca ; pemerintah) bukan karena satu kasus ini terjadi tentu, karena sebentar lagi keributan pada film Dua Garis Biru akan muncul. Ke depan bisa jadi situasi ini akan terus berulang, berulang dan berulang entah sampai kapan.

@andibachtiar: Seniman dan Sutradara

 

Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.

*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Anda bisa sampaikan dalam kolom komentar di bawah ini.