1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kreativitas Membunuh Waktu (Kisah dari Penjara, Bagian II)

25 April 2018

Program lapas industri sudah dilakukan di negara maju seperti Australia, penjara dikelola secara profesional tak ubahnya seperti pabrik modern. Bagaimana di tanah air? Ikuti opini Feby Indirani.

https://p.dw.com/p/2w4g8
Feby Indirani

Setiap kali bercerita bahwa saya sedang menulis tentang karya narapidana (napi), rata-rata orang terkejut. Mereka biasanya belum pernah mendengar dan tidak membayangkan karya seperti apa yang bisa dihasilkan dari dalam penjara atau lembaga pemasyarakatan (lapas). Lalu saya pun dengan bersemangat menunjukkan foto-foto produk yang napi hasilkan.

Salah satu foto yang paling sering saya tunjukkan adalah replika sepeda motor yang ukurannya sebesar aslinya.  "Menurutmu ini terbuat dari apa?” tanya saya.

Kebanyakan orang akan menjawab kayu, atau rotan. Tak ada seorang pun yang menyangka bahwa replika itu terbuat dari lintingan kertas koran, berjumlah tujuh ribu linting --dari 100 kuintal kertas koran-- yang dilekatkan dengan lem kertas dan lem super.

Respon yang saya terima serupa, perpaduan rasa kagum dan tak percaya, persis seperti perasaan saya sendiri ketika pertama kali mengetahuinya. Makin kagum lagi ketika saya melihat langsung bagaimana linting koran itu dibuat satu demi satu sebelum nantinya dirangkai membentuk benda yang diinginkan. Saya pernah mencoba membuat satu lintingan koran, dan gagal memenuhi standar kualitas produksi.

Feby Indirani, @FebyIndirani
Penulis: Feby Indirani adalah penulis sejumlah buku fiksi dan nonfiksi. Ia menginisiasi gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It's Just Religion).Foto: Feby Indirani

"Memang awalnya susah Mbak, sampai sekian lama juga masih banyak lintingan saya yang gagal dan tidak bisa dipakai,”  ujar seorang napi. "Tapi ya saya buat terus aja, habis mau ngapain lagi.” Saya tercenung. Bagi para napi, waktu mungkin adalah satu-satunya hal berlimpah yang mereka miliki. 

Baca seri pertama penjara: Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Penghukuman Atau Perbaikan? (Kisah dari Penjara, Bagian I)

Dari mustahil jadi bisa

Keterampilan yang tadinya seolah mustahil pun akhirnya bisa dikuasai jika dilakukan terus menerus. Hal itu setidaknya dialami oleh Nila, seorang napi  berusia 30-an di Lapas Wanita Malang yang menekuni ketrampilan merajut, sesuatu yang tak pernah terbayangkan untuk dilakukannya, juga tidak disukainya. 

Butuh lebih dari delapan bulan bagi Nila untuk menyelesaikan karya rajutan pertamanya, syal hijau yang kemudian dibelinya sendiri sebagai kenang-kenangan. Namun setelah itu berbagai karya ia hasilkan dengan lancar, mulai topi, dompet, tas dan sebagainya. Ia pun dengan bangga bisa memberikan hadiah kepada anggota keluarganya, hasil rajutan tangannya sendiri. Menjalani tujuh tahun masa hukuman, itulah cara Nila memetik kegembiraan-kegembiraan kecil. 

Saya telah berbincang dengan ratusan napi di bengkel kerja lapas, dan kebanyakan jawaban mereka serupa. Mereka sangat membutuhkan kegiatan untuk mengatasi kebosanan. Membunuh waktu. Mengalihkan diri dari pikiran buruk dan semacamnya. Para napi ini setengah mati membutuhkan sesuatu untuk dikerjakan yang syukur-syukur sesuai dengan minat dan bakat mereka. Kemungkinan untuk mendapatkan honor tentu saja membuat mereka bersemangat, tapi biasanya itu adalah prioritas yang kesekian untuk mereka.

Mempertahankan kewarasan

Mengamati dan mendengarkan cerita mereka membuat saya berpikir, bekerja adalah cara terbaik untuk bertahan dan mempertahankan kewarasan. Para petugas adalah orang yang biasanya berjasa untuk mengajarkan berbagai keterampilan kepada para napi, selain para napi senior. Keterampilan tertentu biasanya diajarkan secara ‘turun-temurun' dari warga senior kepada warga yang datang kemudian. Akhirnya kita dapat menemukan produk tertentu menjadi ciri dari lapas tertentu.

Kerajinan lintingan koran paling banyak bisa kita temukan di Lapas Tangerang, meski ada pula di Lapas Salemba. Keset berbentuk telapak kaki besar adalah produk kerajinan khas Lapas Wanita Tangerang. Tidak ada yang tahu sejak kapan produk itu mulai ada di sana, tapi seorang petugas menduga kerajinan keset itu dimulai para perempuan tahanan politik di Penjara Bukit Duri.

Setiap lapas memiliki bengkel kerja, namun tidak setiap napi berkegiatan di sana. Ada tiga penyebabnya.  Pertama memang karena ada keterbatasan daya tampung dari bengkel kerja. Biasanya kapasitas ruang bengkel kerja adalah sepertiga dari kapasitas penjara normal. Padahal kita tahu, kelebihan penghuni selalu menjadi masalah penjara-penjara di Indonesia.

Lanjut ke halaman 2

Kedua, napi yang bisa beraktivitas di bengkel kerja biasanya mereka yang sudah terbukti berkelakuan baik. Blok sel atau tempat tinggal mereka pun khusus, terpisah dari napi lainnya. Ini memang disengaja untuk mempermudah pengawasan petugas. Para napi hanya boleh bekerja di bengkel kerja pada jadwal yang ditentukan yaitu rata-rata pukul 8 pagi hingga 4 sore. Jika ingin membawa pekerjaan mereka seperti rajutan atau kerajinan tangan lain, mereka butuh mengajukan ijin khusus kepada petugas karena artinya mereka mesti membawa beberapa peralatan ke dalam sel yang bisa saja disalahgunakan.

Ketiga, dan ini yang menyedihkan, banyak napi yang memang tidak berminat untuk melakukan kegiatan apapun sehingga tidak tertarik untuk mendaftarkan diri di bengkel kerja. Dan jumlah mereka ternyata lebih besar.

"Ya mereka ini sudah malas saja, sudah terbiasa nyaman nggak melakukan apa-apa. Jadi mereka malah mikir, ngapain capek-capek, uangnya juga tidak banyak amat,” tutur Abdul, pria 25 tahun yang mengerjakan produk garmen di Lapas Kelas I Cipinang, Jakarta. Ia mendapat vonis sepuluh tahun penjara. 

Ternyata di dalam maupun di luar penjara sama, ada lebih banyak orang yang sepertinya begitu bingung akan tujuan hidupnya sehingga lebih merasa aman dengan tidak melakukan apa-apa. Padahal bagi para napi yang mampu merampungkan karya, bagaimanapun  merupakan suatu kebanggaan. Mereka boleh jadi mengawali keterampilan itu setengah hati, tapi ketika sudah mewujud menjadi sebuah karya utuh, tak urung terbit kepuasan tersendiri.  

Baca juga:

Menanti Maria-Maria Baru di Dunia Peradilan

Visi Lapas Industri

Saya menemukan begitu banyak kreasi bermutu dari lapas yang jarang diketahui publik luas. Rentang karya pun beragam, mulai dari kuliner, kriya, perkebunan, seni visual, hingga seni pertunjukan seperti musik, tarian, teater dan masih banyak lagi. Namun keluhan para petugas dari berbagai lapas biasanya sama yaitu mengenai pemasaran produk. Para napi tekun berkarya, tapi distribusi produk yang mereka hasilkan biasanya masih terbatas yaitu di kalangan petugas, tamu kunjungan dan keluarga, atau sesekali jika ada bazaar di lingkungan setempat. 

Evy Amir Syamsudin, pendiri Yayasan Second Chance berupaya mengatasi persoalan pemasaran itu dengan menyelenggarakan Napi Craft yaitu festival dan pameran karya unggulan narapidana dari seluruh Indonesia.  Second Chance adalah lembaga nirlaba yang fokus memajukan kehidupan warga binaan. 

 "Produknya kita pilih dengan selektif, jadi memang yang betul-betul berkualitas. Sederhananya, saya tidak mau ini sekadar jadi produk ‘kasihan', " ujar Evy. Ia rutin menyelenggarakan Napi Craft setiap tahunnya sejak 2012 ketika suaminya, Amir Syamsudin masih menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM hingga setelahnya.

Selain untuk menjual produk-produk unggulan dan menampilkan kreativitas napi, Napi Craft juga merupakan sarana kampanye kepada publik untuk lebih peduli pada isu-isu terkait lembaga pemasyarakatan. Semakin publik luas teredukasi mengenai isu ini, semakin banyak juga dukungan untuk memajukan kehidupan para narapidana ini misalnya dengan cara membeli karya mereka.

"Pemasaran produk itu harusnya tidak perlu menjadi masalah, seandainya kita bisa menggerakkan seluruh instansi pemerintah untuk mendukung. Misalnya lapas banyak yang menghasilkan batik, sementara seluruh PNS wajib memakai batik setidaknya seminggu sekali. Kan itu sudah merupakan pasar tetap sendiri,” ujar Evy memberikan contoh. Belum lagi memanfaatkan kantor-kantor imigrasi sebagai outlet. Apalagi kantor imigrasi pun masih berada di bawah naungan Kemenkumham. Hal ini tampaknya belum terlaksana karena masih terkendala urusan birokrasi dan keterbatasan sistem. 

Hal yang membanggakan adalah, sejumlah produk dari lapas kita mampu menembus pasar ekspor. Furnitur yang diproduksi di Lapas Kelas I Surabaya di Porong tidak akan kita peroleh di pasar lokal. Mereka melayani pemesanan dari negara-negara Eropa dan Timur Tengah.

Lanjut ke halaman 3

Bengkel pembuatan furnitur ini cukup luas yaitu 5000 meter persegi. Aroma kayu mindi merebak begitu kuat, kadang membuat nafas sesak. Partikel serbuk kayu memerihkan mata. Ketika saya berada di sana, ratusan bangku berwarna putih terbuat dari kayu mindi sedang dikemas untuk dikirimkan ke Rotterdam, suatu tempat yang begitu jauh dan mungkin tak akan pernah dijejaki para perajinnya di Porong. 

Selain furnitur ada sejumlah produk lapas lainnya yang sudah melanglang buana, seperti bola kaki, garmen, dan bulu mata. Program kerja seperti ini bisa terwujud karena kerjasama antara lapas dengan pihak ketiga yang menggunakan jasa para napi.

Program pembinaan seperti inilah yang dipandang ideal oleh Evy. Evy yang memiliki latar belakang bisnis menemukan betapa banyak potensi dari lapas yang belum teroptimalkan, bahkan cenderung tersia-sia.

Menurut Evy, sebenarnya semua pihak bisa mendapatkan keuntungan. Pihak lapas memiliki program pembinaan yang efektif untuk napi. "Napi yang sudah mempergunakan waktu dan tenaga mereka secara produktif, tidak akan terpikirkan untuk bandel atau berbuat yang aneh-aneh. Otomatis lapas juga jadi lebih aman,” ujar Evy. 

Pihak swasta berpeluang mendapatkan tenaga kerja yang selalu tersedia, tidak bisa mengajukan cuti ataupun mogok kerja sebagaimana pekerja di luar penjara. Sedangkan para napi mendapatkan aktivitas rutin, keterampilan baru, dan honor. Napi yang bekerja di bengkel furnitur di Lapas Porong bahkan mendapatkan surat keterangan kerja yang akan diberikan saat mereka bebas. Surat rekomendasi itu bisa mereka gunakan sebagai bekal mencari pekerjaan di luar lapas.

Kementerian Hukum dan HAM kini tengah gencar mengembangkan gagasan membangun lapas industri yaitu mengubah citra lapas konsumtif – beban negara—menjadi lapas produktif. Februari 2017 lalu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly meluncurkan penetapan dan pembangunan sepuluh lapas industri di Jawa Barat dengan berbagai varian industri antara lain manufacturing, percetakan, olahan makanan, dan penggemukan sapi.  

Menkumham berharap dengan adanya industri di lapas dapat menarik perhatian pihak ketiga untuk bekerja sama dalam membantu pengadaan bahan baku sekaligus pemasaran terhadap hasil karya narapidana. Program lapas industri sudah dilakukan di negara maju seperti Australia, penjara dikelola secara  profesional tak ubahnya seperti pabrik modern, tentu dengan sejumlah penyesuaian.  

Berapa lamakah kita akan dapat mencapai visi lapas industri tersebut?

Sulit untuk diperkirakan. Dari fakta yang saya amati di lapangan, saya berkesimpulan mungkin masih akan cukup panjang perjalanan menuju ke sana, selama belum ada terobosan baru dalam mengatasi persoalan lembaga pemasyarakatan di Indonesia.

Saat ini belum ada standar yang berlaku untuk lapas di seluruh Indonesia, sehingga masing-masing lapas memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam program pembinaan mereka. Yang saya perhatikan program dan sistem yang berlaku di setiap lapas masih sangat bergantung pada kepala lapas dan petugas. Hal ini menjadikan program pembinaan kurang berkesinambungan dan menjadi kurang efektif, karena ketika pejabat yang bersangkutan dirotasi, pejabat setelahnya belum tentu akan melanjutkan kebijakan yang mereka tetapkan.

Jika membayangkan lapas sebagai basis produksi pun sebetulnya masih cukup jauh, karena ketersediaan produk tidak selalu stabil, bergantung pada berbagai faktor. Tenaga kerja adalah napi yang berada di sana hanya sesuai masa hukuman masing-masing dan pergantian orang yang mengerjakan bisa membuat mutu tidak merata. Napi pun tidak selalu berada dalam kondisi mental yang siap melakukan pekerjaan sehingga tingkat produktivitas tidak stabil. Persoalannya lainnya adalah ketersediaan bahan baku juga fasilitas penjara yang terbatas.

Apa yang terjadi di satu lapas juga belum tentu bisa diterapkan di lapas lainnya, karena setiap lapas memiliki luas lahan, potensi dan tantangan lingkungan yang berbeda-beda. Artinya dibutuhkan pemetaan yang menyeluruh mengenai potensi lapas di setiap daerah, dan itu pun bukan persoalan yang mudah. Belum lagi memetakan potensi napi di dalam lapas tersebut yang juga sangat beragam. Dengan isu kelebihan kapasitas dan penambahan 2000 napi baru setiap bulannya (data Januari 2018), lapas akan kesulitan untuk membenahi sistem dan mewujudkan program pembinaan napi yang lebih baik.

Mimpi mewujudkan lapas industri merupakan sesuatu yang patut dituju. Meskipun saat ini, aktivitas berkarya para napi—sebagus apapun itu-- kebanyakan masih sebatas upaya untuk membunuh waktu.

Penulis: Feby Indirani (ap/vlz) adalah penulis sejumlah buku fiksi dan nonfiksi. Ia menginisiasi gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It's Just Religion).Buku terbarunya adalah Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, 2017), 69 things to be Grateful about being Single (GPU, 2017) dan Made in Prison (KPG, 2017)

@FebyIndirani

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.