1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Lika-liku Tinggal Jerman, ala Mahasiswa Doktoral

Anang Widhi Nirwansyah
29 Mei 2021

Berbeda dengan studi doktoral di tanah air, di Jerman mahasiswa doktoral langsung fokus pada riset disertasi sejak hari pertama. Oleh Anang Widhi Nirwansyah.

https://p.dw.com/p/3u92b
Presentasi dan Joint program di bidang remote sensing di Tartu University, Estonia.
Presentasi dan Joint program di bidang remote sensing di Tartu University, Estonia. Penulis di depan (berlutut) posisi ketujuh dari kiriFoto: Privat

Hampir empat tahun semenjak kedatangan saya ke Eropa, ke sebuah negara yang terkenal dengan industri otomotif yakni Jerman. Sejak kecil tak pernah terbersit untuk melanjutkan studi hingga ke jenjang doktoral apalagi keluar negeri. Namun, teladan dan tempaan dari bapak ibu yang mengajarkan tentang pentingnya pendidikan itulah yang membawa saya ke petualangan studi dengan kesana. Terlebih, saat kuliah S1 Pendidikan Geografi di Universitas Negeri Semarang, pengalaman akademik dan riset saya terasah. Selanjutnya berbekal tekad dan doa, saya mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir di Fakultas Geografi, UGM setahun setelah selesai sarjana. Hingga saat ini, saya berstatus sebagai tenaga pengajar di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Singkat cerita, saya mendapatkan beasiswa LPDP untuk program doktoral di Jerman di Institute of Geography, Faculty of Mathematic and Natural Science, University of Cologne. Di tempat inipun saya juga merangkap menjadi Research Assistant untuk cartography, and geospatial data processing di beberapa proyek penelitian khususnya yang terkait kebencanaan.

Untuk riset S3, saya fokus pada eksplorasi kejadian banjir pasang (rob) di pantai utara Jawa dan dampaknya pada lahan produksi garam tradisional. Dalam hal ini saya tertarik pada pemanfaatan teknologi geospasial dan mengkombinasikan dengan informasi masyarakat untuk mengidentifikasi implikasi ekonomi pada landscape tambak garam.

Bagi saya ini merupakan pengalaman baru melanjutkan studi di luar negeri. Meski demikian, berbekal pengalaman melakukan riset kolaborasi dengan pusat penelitian di Jerman saat studi S2, setidaknya memberikan gambaran mengenai ekspektasi saat melakukan studi di Jerman, dan disupervisi oleh profesor Jerman yang terkenal susah.

Selain itu, kendala bahasa baik di kampus dan sehari-hari membayang-bayangi saya saat memutuskan mengambil tawaran profesor yang membimbing riset saya saat ini. Sebelumnya pun saya telah mencoba peruntungan dengan mendaftar ke beberapa kampus lain termasuk di Inggris, Belanda dan Jepang.

Riset sejak hari pertama

Berbeda dengan studi doktoral di tanah air, di Jerman, mahasiswa doktoral langsung fokus pada riset disertasi sejak hari pertama atau lebih dikenal dengan istilah doctoral by research. Tentunya dengan terlebih dahulu penajaman proposal riset bersama doctoral commitee yang berisi beberapa profesor dari satu atau lebih universitas.

Karena studi saya memerlukan data lapangan, setelah 6 bulan di Jerman saya sudah diberikan izin untuk pengambilan data lapangan di sentra produksi garam di Jawa Barat. Selanjutnya, saya beralih ke pengolahan data termasuk simulasi dan pemodelan. Di sela-sela itu mengikuti international conference untuk mempresentasikan progress penelitian.

Oh ya, sebagai informasi, studi di Jerman pada dasarnya ditanggung negara. Namun, kita cukup membayar semester ticket yang mencakup biaya transportasi (bus, kereta) dan biaya kemahasiswaan.

Studi bersama keluarga

Membawa keluarga saat studi menjadi tantangan tersendiri. Terlebih, saya baru berhasil mengajak istri dan anak berumur satu tahun setelah mendapatkan apartemen yang memenuhi persyaratan. Di Köln, memperoleh apartemen untuk keluarga yang sesuai dengan bujet luar biasa sulit hingga saya harus mencari tempat tinggal di kota kecil Bergheim, yang berjarak sekitar 25 km dari Köln. Kota ini berada ditengah antara Köln dan Aachen serta masih terjangkau dengan kereta cepat atau komuter.

Oh ya. Selama studi, transportasi publik saya digratiskan untuk cakupan satu bundesland atau negara bagian. Selain itu, di akhir pekan atau hari libur kartu semester ticket dari kampus juga bisa digunakan untuk satu anggota keluarga. Anak-anak pun tidak perlu membayar tiket saat jalan-jalan dengan bus atau kereta.

Kereta Regional Express (RE) menuju Aachen
Kereta Regional Express (RE) menuju AachenFoto: Privat

Pengalaman melahirkan di Jerman

Pada tahun 2019, istri saya sempat hamil anak kedua. Selanjutnya kami pun mengikuti seluruh proses pengawasan dan perawatan ibu hamil yang disediakan oleh dokter kandungan (Frauenartz) di dekat tempat tinggal kami. Beberapa kali kontrol kandungan dan cek darah pun dilakukan untuk memastikan kandungan sehat. Beberapa goodies dan kartu diskon pun dikirimkan ke tempat tinggal kami, sebagai hadiah bagi ibu serta bayi yang nanti akan lahir.

Hingga akhirnya, pada bulan Februari anak kedua kami lahir di salahsatu rumah sakit di Köln. Meski demikian, sebelum hari persalinan kami sempat gugup karena bahasa Jerman kami pas-pasan. Namun ternyata, dokter dan bidan yang membantu proses persalinan juga dapat berbahasa Inggris dengan baik.

Meski istri juga mengerti bahasa Jerman dan memiliki sertifikat B2, namun saat kondisi melahirkan semua grammar ataupun kosakata menguap entah kemana. Tak lama setelah masuk ke ruang persalinan dengan hanya didampingi dua orang bidan, si kecil lahir berjenis kelamin perempuan lahir dengan sehat.

Foto kamar bersalin dan perlengkapan medis persalinan
Foto kamar bersalin dan perlengkapan medis persalinanFoto: Privat

COVID-19, kendala studi, dan TK yang tutup

Dua bulan sejak kelahiran anak kedua, pandemi COVID juga telah memaksa pemerintah Jerman untuk melakukan lockdown besar-besaran. Setidaknya, menurut ingatan kami, pada bulan April 2020 Jerman telah menutup hampir seluruh pusat perbelanjaan, pertokoan, universitas, serta sekolah untuk mencegah penularan virus corona.

Semenjak itu pun, saya mendapatkan informasi update mingguan dari universitas tentang perkembangan kebijakan penanganan pandemi pemerintah, dan implikasinya kepada mahasiswa beserta pekerja di universitas tempat saya bekerja. Sejak bulan April, research-from-home pun menjadi keseharian saya selain juga bekerjasama dengan istri mengurus anak-anak. Tempat penitipan anak (Kindertagespflege) tempat si sulung bermain dan bersosialisasi sejak tiba di Jerman pun harus tutup.

Satu waktu juga kami pernah menjalani karantina karena salah satu guru di TK terinfeksi. Surat dari dinas kesehatan setempat (Gesundheitsamt) juga memberitahukan kita untuk tetap tinggal di apartemen selama 10 hari, dan akan memberikan denda sebesar 1000 Euro juga kedapatan bepergian. Namun, selebihnya kondisi terkendali dan penggunaan masker medis atau FFP2 sudah menjadi kewajiban di area dan transportasi publik. Pemerintah Jerman juga memberikan bantuan dana bagi setiap keluarga sebagai bagian dari program stimulus ekonomi masyarakat.

Tidak bisa pulang saat Ibu wafat

Di bulan akhir Maret 2021, sebuah kabar menyedihkan datang dari Indonesia. Saat itu saya mendapatkan kabar tiba-tiba jika ibu saya meninggal di Malang, Jawa Timur. Bersamaan dengan itu pemerintah Jerman memberlakukan lockdown karena third-wave yang terjadi pada pandemic ini. Maka dari itu, dengan berat hati saya melepaskan kepergian ibunda hanya dengan doa, karena tidak dapat langsung pulang karena tentu harus menjalani karantina beberapa hari di bandara Indonesia. Terlebih, dengan kondisi saat ini melakukan perjalanan internasional beresiko dan sulit untuk dilakukan. Hanya saja, keluarga khususnya adik saya memberikan dorongan untuk bisa tabah merelakan kepergian ibu. Istri dan anak-anak menguatkan saya untuk dapat melanjutkan amanah dari ibu, menyelesaikan studi di Jerman.

Rencana pasca studi

Saat ini saya tengah fokus menyelesaikan tahap terakhir disertasi saya. Disertasi yang berisi beberapa baba tau chapter artikel ilmiah ini, dua diantaranya telah dipublikasikan di jurnal internasional sebagai prasyarat kelulusan. Sedangkan, satu chapter lagi sedang dalam penulisan dan akan segera dikirimkan ke penerbit jurnal. Selanjutnya, saya dapat men-submit disertasi saya dan mengajukan jadwal untuk defense. Dan apabila lulus, tentu saya dapat kembali ke tanah air untuk melanjutkan riset dan tugas mengajar di Purwokerto. Selain itu, saya memiliki opsi mengajukan riset post-doctoral melalui pendanaan dari beberapa penyandang dana (DFG, DAAD, Volkswagen Foundation, Alexander von Humbolt dll).

Tips dan motivasi melanjutkan studi

Bagi teman-teman yang berencana melanjutkan studi di Jerman, hendaknya mempersiapkan semuanya. Persiapan mulai dari dokumen, proposal, bahasa, rencana beasiswa. Dengan banyak nya informasi yang bertebaran saat ini di internet. Tak akan sulit bagi teman-teman untuk memperoleh informasi dan mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Berbagai tawaran beasiswa pun dapat dipilih disesuaikan dengan syarat-syarat serta kemampuan yang kita miliki. Dengan tekad yang kuat dan doa ikhlas, pasti akan ada jalan.

Bagi sobat DW yang berkeinginan studi lanjut keluar negeri termasuk Jerman, dapat juga mendaftar beasiswa lain termasuk LPDP dari pemerintah Indonesia.

Bis zum nächsten Mal !

*Penulis adalah staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Doctoral Candidate sekaligus Research Assistant di Institute of Geography, University of Cologne, Jerman.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)