1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Lockdown di Jerman: Bagai "Kota Zombie"

7 Februari 2021

Mulai dari anak-anak teriak-teriak di rumah, putus hubungan dengan pasangan karena tak kuat hadapi stres, terkena pemotongan kerja, berbagai problem menimpa warga Indonesia di Jerman ini semasa pandemi.

https://p.dw.com/p/3ot5Q
Hidup di Konstanz saat Lockdown
Keluarga Ridwan dan Octorina di JermanFoto: privat

“Namanya anak-anak biasanya sibuk beraktivitas di sekolah, bermain bebas di luar rumah, kini karena lockdown harus diam di rumah, energi tidak tersalurkan, lari-larian, jerit-jeritan di rumah, orang tua jadi stres,“ keluh Octorina Pelita, perempuan asal Sukabumi yang kini bermukin di Kota Konstanz, Jerman bersama keluarga kecilnya.

“Stresnya luar biasa,“ ujar suaminya, Mohamad Ridwan menimpali, “Sekarang kita tidak bisa berbuat banyak.“ Keduanya khawatir ada tetangga yang mengeluh apalagi ada waktu di mana diharapkan suasana tenang, misalnya hari Minggu. “Sampai takut dilaporkan ke polisi,“ kata Octorina sambil berderai tawa dipeluk suaminya, mengingat cukup berat bagi mereka menenangkan anak-anaknya yang cukup aktif.

Mulai pertengahan Desember 2020, Jerman kembali menerapkan lockdown ketat tahap kedua demi meredam penyebaran COVID-19. Karantina wilayah berlaku hingga pertengahan Februari 2021.

Ridwan menjelaskan, sebagai warga negara asing, mereka membuktikan bisa mematuhi dengan seksama peraturan yang berlaku di Jerman.

Hal senada diungkapkan Daniel, yang kini bermukim di Kota Köln Jerman. "Ya karena sebagai orang asing, kita tidak mau dicap tak tahu aturan, jadi bisa dibilang saya sangat displin karena malu kalau sampai orang lihat saya melanggar aturan lalu dicap orang asing tak tahu aturan. Jadi selama lockdown ya saya benar-benar di rumah saja, hanya keluar belanja. Pakai masker yang benar dan jaga jarak. Dsiplin pokoknya. Selain takut kena virus ya itu tadi, biar orang tahu kami oprang asing juga taat hukum, lebih taat bahkan.”

Kedisplinan itu pula yang diterapkan oleh Sharen Song, mahasiswi asal Indonesia di Frankfurt, demi menjaga kesehatannya dan orang di sekitar. “Tapi kesalnya, orang-orang di luar ada saja yang tidak disiplin dan dan kadang kalau antre di toko atau supermarket tak pakai jarak. Sekarang ini harus pakai masker medis (Ffp2) tapi mereka tak peduli tetap pakai masker kain, dan stasiun kereta masih penuh meski lockdown. Sebenarnya jika masyarakat bisa tahan tak bertemu orang-orang selama beberapa minggu seperti yang diminta pemerintah mungkin bisa menolong menurunkan angka COVID-19, ya,” uangkapnya dengan jengkel.

Sampai harus terapi psikologi

Sharen terpaksa menjalani terapi psikologi saat pandemi berlangsung. Kuliah yang terasa olehnya makin berat karena perpustakaan tutup dan hubungannya yang terganggu dengan orang terdekat,semakin memperparah kondisinya selama pandemi corona.

"Jangankan orang-orang lain, kerabat orang terdekat saya pun kurang disiplin. Bertemu beberapa orang saat libur Natal dan Tahun Baru, meskipun beda-beda waktu bertemunya. Tapi ada di antaranya yang flu. Akhirnya ia jatuh sakit, untung tidak positif COVID-19,“ papar Sharen.

“Saya juga kehilangan pekerjaan saat lockdown, sementara tagihan terus mengalir. Semua masalah tiba-tiba menumpuk menjadi satu,” curhat-nya lebih lanjut. “Bayar asuransi kesehatan 200-an euro  sebulan dan masih harus bayar kuliah. Meski bisa minta bantuan pemerintah tapi tiap bulan harus mengajukan permohonan baru dan cuma dibantu jika uang di bank kurang dari 500 euro. Padahal uang 500 euro buat bayar kos pun sudah habis,” tandasnya.

Sharen Song, bertahan di tengah pandemi
Sharen Song, bertahan hidup di Jerman di tengah lockdwonFoto: Sharen Song

Kehidupan berjalan lambat, serasa hidup di "Kota Zombie"

Dua bulan lockdown, Konstanz terasa bagai ‘Kota Zombie’ ujar Octorina Pelita, periset di Universitas Konstanz. “Sampai saat ini yang masih tetap buka itu toko makanan, toko roti, pokoknya hampir semua toko-toko yang berhubungan dengan makanan masih dibuka, termasuk supermarket, yang menjual kebutuhan pokok, sisanya sekolah, kantor-kantor itu ada dua bulan terakhir tutup.  Jik ada keperluan yang benar-benar mendesak, (kita) harus  buat janji dulu baru diizinkan datang. Tak bisa seperti dulu, seenaknya. Kini semuanya melambat termasuk penelitian saya,“ papar Octorina.

“Waktu tahun 2020  saat lockdown total itu benar-benar terhenti, tidak ada kegiatan sama sekali. Sama sekali kita dilarang untuk masuk ke univesitas. Sejak musim panas lalu dibuka tapi terbatas hanya 25% orang yang boleh bekerja di laboratorium. Itu benar-benar membatasi pekerjaan saya, sekali sehari itu saya kadang cuma dapat tiga jam kerja. Dari tujuh hari seminggu sekarang ya cuma dapat tiga hari, tiga hari dalam satu minggu,“ keluhnya lebih lanjut.

Mencari solusi, menjaga kewarasan

Meski demikian Mohamad Ridwan, suaminya kerap mengingatkan untuk menjaga kewarasan mental di tengah pandemi. Menyiasati energi anak-anak mereka yang masih kecil dan kejenuhan istrinya, Ridwan membuat pembagian tugas di rumah dan sekali-sekali mengajak keluarga kecilnya berjalan-jalan dengan menggunakan sepeda dan menjaga jarak dengan orang lain.

Untuk mengetahui bagaimana situasi pendemi terakhir keduanya juga selalu mengamati pemberitaan yang bisa diakses lewat fasilitas yang disediakan kampus tempat Octorina melakukukan risetnya dan informasi dari pemerintah kota. “Ada aplikasi MeinKonstanz,  di sana juga ada informasi ter-update dari kota yang disampaikan sehingga kami juga mendapatkan informasi terbaru berkenaan dengan informasi COVID ini,“ kata Ridwan.

Baik keluarga Ridwan, Sharen maupun Daniel berharap pandemi corona segera berlalu. Daniel yang hanya mengandalkan 67% gaji setelah pemotongan pegawai di perusahaan tempatnya bekerja beberapa bulan terakhir ini mengaku hanya bisa berusaha agar tetap bisa menjaga kesehatannya, baik fisik maupun mental. Ia berpisah dengan kekasihnya di pertengahan tahun lalu. “Karena sama-sama diam di rumah ya mau tidak mau meletup masalah-masalah, dari masalah kecil hingga ribut besar. Sekarang kami berpisah sementara,“ ujarnya sendu. “Kini tiap hari saya mengisi hari dengan tetap olahraga, sendirian. Berkomunikasi lewat intrenet dengan keluarga dan kawan di kampunghalaman. Saya tahu lockdown ini membuat pikiran saya serasa gila. Meraba-raba apa yang terjadi di masa depan. Tapi bukan tidak mungkin suatu saat ketika pendemi usai, saya rindu masa-masa sepi ini, siapa tahu?” kata Daniel sambil tersenyum.

Kanselir Jerman, Angela Merkel dan perdana menteri 16 negara bagian sepakat memperpanjang lockdown hingga 14 Februari. Langkah ini diikuti aturan baru yang lebih ketat termasuk wajib pakai masker filter di ruang publik. Hari kasih sayang tahun ini alias hari Valentine akan dilewati di rumah saja. "Dengan diam di rumah, itu tandanya kasih sayang pada semua orang di sekitar kita, tak terbatas pada kekasih saja, Kita jaga kesehatan kita sendiri dan orang lain, itu makna hari kasih sayang yang sesungguhnya menurut saya, " pungkas Daniel.