1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Malaysia Usir Buruh Bangladesh Usai Kritik Pemerintah 

24 Agustus 2020

Malaysia mendeportasi buruh Bangladesh usai mengritik perlakuan pemerintah terhadap migran ilegal di sebuah film dokumenter. Pengusiran itu adalah tindak balasan lanjutan oleh Kuala Lumpur terkait pemberitaan al-Jazeera.

https://p.dw.com/p/3hOJn
Rayhan Kabir diapit kedua orangtuanya seusai dideportasi dari Malaysia ke Bangladesh
Rayhan Kabir diapit kedua orangtuanya seusai dideportasi dari Malaysia ke BangladeshFoto: Mujibul Haque Polash

Mohammad Rayhan Kabir dideportasi ke Bangladesh pada Jumat (21/8) malam, kata Khairul Dzaimee Daud, Direktur Jendral Imigrasi Malaysia kepada Reuters. Dia tidak merinci kenapa buruh asal Bangladesh itu diusir dari Malaysia. 

Diapit oleh pegawai imigrasi, dia terakhir kali terlihat melambaikan tangan dan mengacungkan jari jempol ke arah wartawan yang berkumpul di Bandar Udara Kuala Lumpur, lapor harian Bernama.  

Kepolisian menangkap pemuda 25 tahun tersebut, mencabut izin kerja dan menempatkannya dalam daftar hitam keimigrasian. Dengan status tersebut Rayhan tidak lagi bisa kembali ke Malaysia secara permanen.  

Dia diwawancara stasiun televisi Qatar, al-Jazeera International untuk sebuah film dokumenter yang disiarkan pada 3 Juli silam. Di dalamnya, Reyhan mengritik kebijakan pemerintah dalam meredam potensi wabah di kalangan buruh migran. 

Al-Jazeera sendiri mengatakan penangkapan Rayhan “karena memilih berbicara tentang pengalaman mereka yang tidak punya suara dan rentan,” adalah hal yang mengkhawatirkan. 

Perang wabah di kamp migran 

Selama masa awal pandemi, Malaysia melakukan penggerebekan terhadap kantung-kantrung imigran ilegal dan menangkapi ratusan orang termasuk anak-anak dan pengungsi Rohingya.  

Mereka ditahan dan dikumpulkan di kamp-kamp pusat karantina, lapor Utusan Khusus PBB untuk Hak Migran, Mei silam. “Gelombang penggerebekan dan kampanye kebencian sangat merugikan upaya memerangi pandemi di dalam negeri,” kata Felipe Gonzales Morales kala itu kepada Reuters. 

Otoritas di Kuala Lumpur berdalih, penangkapan diperlukan untuk meredam penyebaran virus. Namun Morales menepis bahwa ancaman penjara justru akan memaksa migran ilegal untuk bersembunyi. Kelompok HAM juga mengritik, kondisi di kamp-kamp karantina tidak manusiawi. 

Kebebasan pers terancam? 

Dalam kebijakannya, pemerintah Malaysia menggunakan Undang-undang lama tentang perfilman dan pembuatan konten visual yang disahkan pada 1981. 

Penggunaan UU tersebut dikritik karena juga membidik pembuat konten video di media sosial. Menyusul aksi protes netizen, Kementerian Komunikasi akhirnya memastikan, pasal yang mewajibkan pengunggah konten untuk meminta izin pemerintah sebelum publikasi itu, hanya berlaku untuk stasiun televisi. 

Sebab itu kelompok Hak Asasi Manusia menuduh pemerintah Malaysia berusaha membungkam kebebasan pers dalam perseteruannya dengan al-Jazeera. Polisi menginterogasi wartawan yang terlibat, menggeledah kantor al-Jazeera di Kuala Lumpur dan menggugat stasiun televisi tersebut dengan tuduhan penghasutan, pencemaran nama baik dan pelanggaran UU Komunikasi. 

Al-Jazeera bukan satu-satunya media yang bersitegang dengan pemerintah Malaysia. Harian lokal, Malaysiakini, digugat pemerintah ke pengadilan. Penyebabnya adalah komentar antipengadilan yang ditulis seorang pengguna di laman digital kantor berita independen tersebut.  

Serangan terhadap kebebasan pers terutama marak di era Perdana Menteri Muhyiddin Yassin, keluh aktivis HAM. Selama enam bulan pemerintahannya, Malaysia sudah berulangkali terlibat dalam perseteruan dengan awak pers.  

Padahal dalam Indeks Kebebasan Pers 2020 yang dikeluarkan organisasi Reporter Tanpa Batas (RSF), posisi Malaysia tahun ini naik 22 peringkat ke posisi 101 dari 180 negara.  

rzn/vlz (rtr, ap)