1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Cara Tepat Berdebat di Media Sosial ala Gita Savitri

Deutschland  | Indonesische Youtuberin Gita Savitri
Gita Savitri
9 Februari 2023

Berdasarkan pengalaman influencer Gita Savitri berdebat di internet sering kemudian berubah menjadi ujaran kebencian. Bagaimana ia menyikapinya? Simak opini Gita Savitri di DW Indonesia.

https://p.dw.com/p/4LKAf
Gambar ilustrasi bermain media sosial
Gambar simbol media sosialFoto: AFP/Getty Images

Sebagai perwujudan seorang milenial yang baik, saya menghabiskan banyak waktu di media sosial. Saya menghabiskan begitu banyak waktu untuk scrolling ponsel saya, bahkan ketika sedang menulis opini ini pun entah berapa kali prosesnya harus terinterupsi karena saya kemudian iseng main Reddit atau Instagram. Bukan karena ada sesuatu di sana yang layak untuk dilihat, tapi ada suatu sinyal di otak yang selalu mendorong saya biar tidak FOMO sama dunia maya.

Kecanduan saya dengan media sosial separah itu, sampai-sampai ketika sedang menonton film pun saya sesekali pasti buka ponsel dan main medsos. Tapi saat ini saya tidak ingin berbicara tentang kebiasaan saya yang tidak sehat itu. Setidaknya tidak sekarang. Saya ingin berbicara tentang suatu hal yang menarik perhatian saya ketika sedang berselancar di media sosial.

Gita Savitri, content creator
Penulis: Gita SavitriFoto: privat

Jarang punya pendapat sama

Satu hal yang saya pelajari tentang sifat manusia adalah kita jarang bisa menyetujui hal yang sama. Dan media sosial sepertinya menguak sisi manusia, bahwa kita tidak hanya sulit untuk setuju akan satu hal, kita pun gemar memperdebatkan ketidaksetujuan tersebut dengan orang lain. Ini salah satu alasan kenapa saya memutuskan untuk menghapus akun Twitter saya tahun lalu. Alih-alih mendapatkan hiburan, yang sering saya lihat malah orang-orang yang berdebat siang-malam di balik akun mereka masing-masing.

Perdebatan yang paling sering saya lihat di dunia maya adalah tentang isu politik. Tidak hanya di Amerika Serikat, di Inggris, atau Kanada, isu politik juga bisa membuat warganet di Indonesia menggebu-gebu. Bagaimana tidak, politik adalah isu yang esensial dan dapat berdampak langsung terhadap masyarakat yang tinggal di negara tersebut. Selain itu saya juga pernah melihat perdebatan antar Ibu-Ibu soal video bekal anak buatan influencer. Para ibu ini berdebat bahwa si influencer terlalu memikirkan aspek estetika dari bekal anaknya, tapi mengesampingkan nilai gizi makanan itu sendiri. Sebagai perempuan yang tidak punya anak, perdebatan ini masih bisa saya tolerir. Pada akhirnya, gizi jauh lebih penting untuk tumbuh kembang anak ketimbang engagement konten.

Namun saya juga sesekali melihat perdebatan yang sebetulnya tidak penting, seperti soal bagaimana cara paling ideal untuk makan bubur. Isu makan bubur sangat memecah-belah netizen, sampai-sampai terbentuk dua kubu di internet yaitu #TimBuburDiaduk dan #TimBuburGakDiaduk.

Ironisnya, sebagai #TimBuburDiaduk (loh?) saya pun sering terjebak dalam perdebatan dengan warganet. Walaupun saya sudah mencoba untuk main medsos dengan chill, terkadang ada beberapa opini saya yang membuat netizen jadi panas dan siap untuk berubah menjadi keyboard warrior. Lalu sebagai manusia biasa, saya sering merasa gemas ingin mengoreksi kesalahpahaman netizen terhadap poin-poin yang saya ungkapkan. Ya, sejak saya berinternet, saya kemudian jadi sadar akan sifat manusia yang susah untuk agree to disagree jika ada perbedaan pandangan.

Nah, sebagai orang dengan social media presence yang cukup besar dan memiliki pengalaman menghadapi netizen dengan berbagai macam jenis dan karakter, saya ingin memberikan tips dan trik bagaimana caranya berdebat dengan orang-orang di internet: Jangan. Bertahun-tahun mejadi kreator konten dan influencer, saya berkesimpulan bahwa berdebat dengan orang di dunia maya itu tidak berguna. Kenapa?

Media sosial bukan tempat yang tepat untuk berdiskusi?

Sekadar basa-basi tanya kabar? Tidak masalah. Ingin membahas hal-hal serius atau bahkan sensitif? Lebih baik langsung bertemu tatap muka sambil minum kopi susu. Berdasarkan observasi sok tahu saya, ketika berdebat di media sosial orang-orang biasanya tidak mau mendengar perspektif lain atau bahkan mengubah pikiran mereka. Mereka hanya ingin mengeluarkan pendapatnya masing-masing.

Mungkin Anda pernah mendengar istilah Confirmation Bias, yaitu kecenderungan bagi seseorang untuk mencari bukti-bukti yang mendukung pendapatnya dan mengabaikan bukti lain yang menyatakan sebaliknya. Nah, manusia biasanya punya kecenderungan ini. Wajar saja karena masing-masing dari kita memiliki kepercayaan dan pemahaman sendiri yang terbentuk dari latar belakang dan pengalaman personal sehingga terbentuk lah bias-bias yang mempengaruhi cara kita berpikir dan melihat "fakta”. Hal ini sangat normal sebetulnya. Namun jika dibawa ke konteks online, berargumen di media sosial menjadi sia-sia karena sulit untuk masing-masing lawan bicara saling mengerti satu sama lain. Perdebatan tersebut jadi tidak efektif dan bahkan bisa membentuk kesalahpahaman. Bukannya saling bertukar informasi dan pengetahuan baru, kita malah saling mempertahankan opini sendiri-sendiri. Yang juga menarik perhatian saya, saat kita mengoreksi seseorang, biasanya mereka menjadi makin defensif terhadap keyakinannya.

Selain itu kita tahu sama tahu bahwa berkomunikasi lewat media sosial banyak meluruhkan aspek esensial interaksi antar manusia. Contohnya, studi yang dilakukan oleh peneliti dari UC Berkeley dan University of Chicago menunjukkan pentingnya aspek suara ketika seseorang menyampaikan isi pikirannya. Menurut mereka suara manusia mengandung isyarat paralinguistik yang menunjukkan proses berpikir dan perasaan yang ia miliki. Isyarat-isyarat ini tidak ada dalam media komunikasi berbasis teks. Tidak heran jika kita lebih mudah untuk saling bersitegang dengan orang lain di media sosial ketika mereka mengeluarkan pendapat yang tidak sesuai dengan kita. Berkomunikasi lewat teks menghilangkan aspek-aspek penting yang memanusiakan lawan bicara.

Melonggarnya batasan dan hambatan sosial

Berdasarkan pengalaman pribadi, perselisihan dan argumentasi di internet sering kemudian berubah menjadi ujaran kebencian. Jika Anda berada di posisi saya, Anda akan kaget melihat bagaimana media sosial dapat memunculkan sisi terburuk dalam diri manusia. Orang bisa semudah itu merendahkan, berkata kasar, menghina, dan melecehkan orang lain hanya karena dia tidak suka dengan apa yang orang lain katakan. Media sosial menciptakan apa yang disebut Online Disinhibition Effect, yaitu melonggarnya batasan dan hambatan sosial yang biasanya hadir dalam interaksi tatap muka saat berkomunikasi secara online. Juga karena kurangnya konsekuensi, beberapa orang berpikir bahwa mereka dapat melakukan dan mengatakan apapun yang mereka inginkan. Jadi, untuk internet troll seperti ini langkah terbaik adalah memblokir akun mereka. Terlibat dengan mereka tidak menguntungkan Anda sama sekali.

Kesimpulan yang bisa kita tarik, media sosial seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan banyak sekali manfaat dalam kehidupan kita. Di sisi lain, media sosial dapat memunculkan perilaku-perilaku kurang penting seperti berdebat dengan warganet yang hanya akan menghabiskan waktu berharga dan tenaga kita. Mengutip postingan bijak di Pinterest, "Pick your battle. You don't have to show up to every argument you're invited to.

Gita Savitri, Content Creator yang tinggal di Jerman

*Tulisan kolom ini menjadi tanggung jawab penulis.