1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mari Membaca (Buku)! 

Uly Siregar Blogger
Uly Siregar
10 Agustus 2019

Orang Indonesia malas membaca. Jangan langsung 'misuh-misuh' dan 'baper' dituduh malas membaca, ujar penulis Uly Siregar. Simak penjelasannya saja dulu dengan cara membaca opininya ini.

https://p.dw.com/p/3MBtS
Deutschland Bonn Lesender Junge vor Bücherwand
Foto: picture-alliance/U. Baumgarten

Mungkin Anda bukan termasuk yang malas membaca, tapi beberapa studi memang mendukung pernyataan bahwa minat baca dan tingkat literasi orang Indonesia masih sangat rendah, berulang kali selalu menempati urutan bawah.

Penelitian Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) tahun 2015 menempatkan Indonesia pada ranking 62 dari 70 negara yang diteliti.

Hasil yang sama buruknya juga ditunjukkan oleh survei bertajuk "World Most Literate Nations” oleh Central Connecticut State University yang menempatkan Indonesia pada peringkat literasi ranking 60 dari 61 negara.

Benarkah orang Indonesia malas membaca?

Atau adakah faktor-faktor lain yang menyebabkan orang Indonesia terpuruk dalam peringkat literasi? Dalam soal penerbitan buku pun Indonesia termasuk rendah dibandingkan negara lain, tidak sampai 18 ribu per tahun.

@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
Penulis: Uly SiregarFoto: Privat

Bandingkan dengan Jepang yang mencapai 40 ribu per tahun, India 60 ribu, dan Cina sekitar 140 ribu. Rendahnya produksi buku berkaitan dengan faktor daya beli dan minat baca masyarakat. Untuk meningkatkan daya beli, harga buku seharusnya bisa ditekan jika pemerintah mau bekerja sama dengan penerbit buku memberikan keringanan pajak kertas, misalnya.

Selain itu, jumlah naskah yang diterbitkan bisa dipacu dengan memudahkan akses bagi penulis untuk menerbitkan bukunya dengan cara mudah dan murah, seperti dalam format buku digital. 

Mengapa minat baca rendah?

Minat baca rendah terjadi karena banyak faktor. Salah satunya yang sangat memprihatinkan karena sulit akses untuk mendapatkan buku-buku yang sesuai dengan minat dan umur pembaca. Ini terutama terjadi di daerah-daerah terpencil Indonesia. Jangankan buku bacaan yang menarik dan bermutu untuk hiburan dan edukatif, buku teks sekolah pun kadang sulit didapat. Bila ini yang terjadi, tentu tak bisa menyalahkan mereka yang kesulitan mengakses buku sebagai golongan malas membaca.

Selain soal akses buku, minat membaca juga rendah karena buku yang tersedia tidak menarik alias jelek mutunya. Nirwan Arsuka, aktivis literasi dan insiator Pustaka Bergerak, seperti dikutip situs berita Detik, mengungkapkan buku-buku (terutama "buku proyekan”)  terbitan Kementerian/Dinas Pendidikan dan Kebudayaan materinya tidak menarik, banyak ceramah, dan merusak imajinasi anak.

Akibatnya anak-anak Indonesia justru lebih suka dengan buku-buku terjemahan dari luar negeri. Jangan heran kalau anak-anak Indonesia lebih paham soal satwa di kutub utara atau tentang dinosaurus yang sudah punah daripada tentang hewan lokal yang hidup di Indonesia.

Untuk menangani soal minat baca rendah yang dikarenakan oleh akses yang sulit, pemerintah pernah mencoba menangani dengan program gratis kirim buku ke perpustakaan-perpustakaan di pelosok Indonesia via PT Pos Indonesia. Program ini bertujuan mempermudah aktivis literasi membantu ketersediaan buku bacaan di perpustakaan atau taman bacaan. Lewat program yang berlangsung setiap tanggal 17 ini, ratusan ton buku lalu lalang dari dan menuju setiap sudut Indonesia. Sebuah upaya yang bagus. Sayangnya tak bertahan lama. Sejak akhir tahun 2018 program ini terpaksa dihentikan sementara. Alasannya soal dana. Sejak diluncurkan program ini hingga Oktober 2018 PT Pos sudah mengeluarkan dana Rp 13,051 miliar, melebihi dana CSR (Corporate Social Responsibility) yang ditargetkan. 

Gambar seorang anak asyik membaca
Gambar ilustrasi: seorang anak tampak asyik membaca bukuFoto: picture alliance/dpa/Phanie

Ada yang memang malas membaca

Tak seperti mereka yang tinggal di pedalaman, sebagian masyarakat kita beruntung bisa gampang mengakses buku. Pameran buku dengan diskon besar-besaran "Big Bad Wolf” yang bertempat di Tangerang, misalnya, selalu menyedot minat pembeli buku.

Saking senangnya belanja buku, antrean pun mengular di acara tahunan yang menyediakan jutaan buku yang mayoritas merupakan buku impor. Bila membeli di toko buku, buku-buku impor tersebut biasanya dijual hingga harga ratusan ribu rupiah. Karena harga yang miring dan koleksi yang banyak, mereka yang tak bisa datang ke pameran bahkan dengan suka rela membayar orang lewat jasa titipan. 

Kalau urusan belanja buku, bolehlah orang-orang ini berbangga. Tapi soal membaca? Eits, nanti dulu, itu soal lain. Coba tanya diri sendiri, selama tahun ini berjalan, sudah berapa banyak buku yang Anda baca? Kurang atau lebih dari 10 buku? Saya kenal banyak orang yang dalam satu tahun bahkan tak membaca satu buku pun. Entah berapa angka pastinya di Indonesia, tapi menurut penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center, 26 persen warga Amerika Serikat mengaku tidak membaca buku dalam setahun terakhir. 

Saya tentu tak ingin menghalangi hobi membeli buku sebanyak-banyaknya tanpa harus langsung dibaca. Punya banyak buku yang belum dibaca tentu lebih baik daripada tak punya buku sama sekali lantas mati gaya ketika ingin membaca buku. Ada istilah populer Jepang soal kebiasaan membeli buku dan membiarkannya menumpuk tanpa dibaca: Tsundoku.

Meskipun kedengarannya mubazir, tsundoku tak harus dihindari. Setidaknya pelaku tsundoku masih memiliki niat ingin membaca, meskipun belum juga kesampaian. Dengan hidup dikelilingi buku seseorang selalu diingatkan bahwa ia perlu membaca. Satu lagi, dengan membeli buku berarti mendukung penerbit dan penulis buku. Jadi tetap bagus, kan?

Membaca buku butuh "dipaksa”

Agar memiliki kebiasaan membaca, perlu terus-terusan melatihnya. Lingkungan kita tinggal ikut mempengaruhi kebiasaan membaca. Sebagai seorang ibu, saya berusaha tak malas membaca buku.

Pasalnya, saya ingin anak-anak saya mencintai buku. Keinginan sederhana ini saya yakini tak akan tercapai bila anak-anak tak memiliki sosok panutan yang gemar membaca. Karena anak-anak lebih gampang mengikuti apa yang orangtua lakukan, daripada hanya disuruh banyak membaca sementara sang ibu tak pernah memegang buku.

Indonesia adalah negara pengguna internet terbesar ke-5 di dunia.

Berdasarkan laporan tahunan Digital 2019 tentang perilaku online yang dihimpun Hootsuite dan We Are Social seperti dikutip The Guardian, orang Indonesia yang memiliki jaringan internet menghabiskan sepertiga harinya di dunia maya, yakni 8 jam 35 menit. Angka ini jauh di atas rata-rata dunia 6,5 jam per hari, atau Jepang yang berada di posisi terakhir 3 jam 45 menit. Meskipun ada juga asumsi bahwa di negara-negara berkembang akses internet durasinya lama karena lambatnya jaringan internet.

Yang pasti, menurut Digital 2019, mayoritas pengguna internet yang mengakses internet secara mobile menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Akibatnya, semakin banyak orang yang hanya mengandalkan informasi lewat membaca berita-berita yang berseliweran di media sosial.

Parahnya lagi, banyak orang membaca berita pun sering kali hanya sebatas judul dan teaser berita tanpa mengklik tautan untuk membaca isi berita seutuhnya.

DW Stories Frankfurter Buchmesse 2017
Seorang perempuan membaca bukuFoto: DW/K. Schenk

Soal malas membaca artikel yang sudah disediakan tautannya, aktivis bahasa Indonesia, Ivan Lanin, bahkan sempat mengungkapkan kekesalannya di Twitter saat membahas topik penulisan nama keluarga orang Jepang. Pasalnya, banyak yang melemparkan pertanyaan yang jawabannya sudah jelas ada dalam artikel yang telah ia sediakan tautannya tapi kebanyakan hanya lewat tanpa dibaca karena terlalu malas membaca. Bayangkan, orang-orang seperti ini membaca artikel pendek online pun malas, apalagi membaca buku berhalaman-halaman! 

Gawai memang sering meruntuhkan minat membaca buku. Ia memiliki pesona yang gampang mengalahkan daya tarik sebuah buku. Dengan gawai seseorang bisa menelpon, bertukar teks, membaca berita, memotret sekaligus memasang hasil potret, melakukan analisis singkat soal isu terkini, atau justru hanya berkeluh kesah di media sosial.

Gawai bisa digunakan untuk bermain game, menonton film dan video klip menarik, menggambar, berjualan, dan sebagainya. Hampir setiap kali berselancar di dunia maya, orang lebih memilih melakukan hal-hal tersebut di atas daripada membaca buku digital yang memuat beratus halaman dipenuhi teks-teks yang rapat.

Tapi tak ada yang bisa menggantikan membaca buku. Buku adalah sumber ilmu. Membaca buku yang membahas beragam topik, dari mulai fiksi hingga sains meningkatkan pemahaman tentang suatu topik dengan lebih mendalam, jauh lebih mumpuni daripada sekadar sebuah artikel pendek yang dimuat di situs online.

Ada banyak manfaat membaca buku, dan tak ada satupun hal buruk yang disebutkan dari kebiasaan membaca buku. Dari mengasah otak, mengurangi stres, meningkatkan kemampuan menulis, menambah wawasan kultural, memunculkan ide-ide baru, menumbuhkan kepercayaan diri dalam melakukan interaksi dengan orang lain, bahkan termasuk memperpanjang usia!

Lantas, mengapa masih malas membaca?

Untuk mereka yang sulit mengakses buku, tidak membaca buku jelas bisa dimaklumi. Tapi bagi kita yang gampang mengakses buku, tak hanya membeli tapi bisa juga dengan mengunjungi perpustakaan? Kemalasan sudah selayaknya diperangi. Cobalah bersahabat baik dengan buku.

Bila Anda bisa menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial, pasti bisa juga membaca beberapa bab dari sebuah buku setiap hari. Tentukan target yang tak terlalu berat: membaca satu buku setiap bulan, misalnya. Siapa tahu Anda pada akhirnya bisa mencintai buku hingga sampai tahapan yang merasa bahwa perpustakaan adalah semacam surga yang hadir di bumi. Seperti kata penulis terkenal Jorge Luis Borges, I have always imagined that paradise will be a kind of library. 


@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah ini.