1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mencari Arti Menjadi Seorang Jerman

Aloysius Efraim Leonard
24 April 2020

Seorang Jerman berkata dia tidak merasa nasionalis sebagai warga Jerman, sehingga saya merasa saya harus langsung mencari tahu kenapa. Oleh Aloysius Efraim Leonard

https://p.dw.com/p/3bJCz
Sisa Tembok berlin yang masih berdiri utuh
Foto: Aloysius Efraim Leonard

Ketika mendengar kata ‘Jerman,' sering kali yang pertama muncul di benak kita adalah sekumpulan orang kulit putih dengan hobi minum bir dan berbicara dengan nada kasar seolah sedang bertengkar. Tapi, siapa yang menyangka bahwa ternyata stereotipe – streotipe tersebut tidak sepenuhnya benar. Berbeda dari prasangka, Jerman merupakan sebuah negara yang terdiri dari beragam budaya. Bukan hanya budaya asli mereka yang berasal dari nenek moyang secara geografis, tetapi juga budaya dari orang–orang pendatang atau imigran yang ikut mewarnai Jerman menjadi sebuah negara yang sangat menarik.

Multikulturalisme yang dimiliki Jerman, ternyata memiliki kisah yang unik. Seperti yang diketahui, Jerman merupakan salah satu negara Eropa yang membuka pintu yang cukup lebar bagi imigran, baik sebagai pengungsi atau refugee, maupun bagi mereka yang ingin bekerja atau belajar di negara ini. Bahkan, sering disebutkan bahwa kondisi tersebut mengakibatkan populasi orang non-kulit putih di Jerman hampir tinggal 50% dari seluruh penduduknya. Sebagian besar imigran berasal dari Turki dan negara–negara Timur Tengah serta Eropa lainnya, dan Asia. Datangnya arus besar imigran ini, juga ternyata mengubah persepsi orang Jerman sendiri mengenai nasionalismenya. 

Aloysius Efraim Leonard
Aloysius Efraim LeonardFoto: privat

Dalam sebuah diskusi yang saya ikuti saat berkuliah di Jerman, seorang mahasiswi lokal mengeluarkan sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan saya. Ia berkata kurang lebih, "Saya tidak tahu apakah saya merasa nasionalis, terutama terhadap Jerman. Saya hanya merasa saya nasionalis ketika pertandingan sepak bola atau saat saya di luar negeri. Saya terkadang merasa saya lebih seperti orang Eropa dibandingkan seperti orang Jerman.” Apa yang dikatakan mahasiswi di kelas saya tersebut juga diiyakan oleh beberapa pelajar Jerman lainnya. Pernyataan tersebut tentu saja cukup mencengangkan bagi saya, terutama karena selama di Indonesia, kita selalu diajarkan untuk bersikap nasionalis hingga membela negara dari penjajah atau ancaman terhadap Indonesia. Sehingga, selama beberapa saat, pola pikir tersebut membuat saya menyamaratakan bahwa nasionalisme merupakan suatu hal yang normal, yang dimiliki oleh setiap orang di dunia. Ternyata, hal itu berbeda di Jerman.

Mencari latar belakang persepsi tentang nasionalisme

Saya akhirnya memutuskan untuk mencoba mencari tahu latar belakang pandangan dan persepsi orang Jerman mengenai nasionalisme. Ternyata, pandangan orang Jerman terhadap nasionalisme seringkali berubah atau adaptif sesuai perkembangan zaman. Perubahan ini tampak jelas utamanya pasca-Perang Dunia II. Nasionalisme sering diasosiasikan dengan para Nazi. Selain itu, pemisahan Jerman melalui Tembok Berlin bukan hanya memisahkan orang Jerman secara fisik atas barat dan timur, melainkan juga secara mental—seakan terdapat tembok juga yang memisahkan identitas dan loyalitas mereka ke Jerman Barat atau Jerman Timur, sesuai dengan tempat mereka tinggal. 

Kemudian Jerman disatukan, Tembok Berlin diruntuhkan. Para pemimpin Jerman hendak menyatukan dua kelompok orang yang selama ini terpisah, tetapi mereka tidak bisa menggalakkan nasionalisme yang terlalu berlebihan. Akibatnya, terdapat perbedaan persepsi, karena orang Barat dianggap liberal dan lebih bebas, sementara orang Timur dianggap lebih konservatif. Nasionalisme Jerman pun dicoba untuk didasarkan pada kesatuan Jerman secara politik, bukan secara kebanggaan terhadap ras, seperti yang digunakan oleh para Nazi pada Perang Dunia II.

Döner Kebab
Döner KebabFoto: Aloysius Efraim Leonard

Persepsi nasionalisme Jerman ini juga akhirnya mendukung kehadiran para imigran ke Jerman. Kebanyakan orang Turki, misalnya, awalnya hadir di Jerman Barat sebagai Gastarbeiter atau pekerja tamu, untuk membantu meningkatkan perekonomian Jerman pasca perang. Mereka pada akhirnya menetap dan berkeluarga, sehingga mengubah demografi awal negara ini. Pemerintah Jerman pun menyadari hal ini dan akhirnya memberlakukan prinsip kewarganegaraan jus soli, atau kewarganegaraan berdasarkan tanah kelahiran, bukan jus sanguinis, berdasarkan silsilah darah. Hal ini menyebabkan mereka yang memiliki orang tua kebangsaan Turki tetapi lahir di Jerman dapat dianggap sebagai warga negara Jerman. Orang Jerman akhirnya bukan hanya mereka yang memiliki kulit putih dan berambut pirang, melainkan juga mereka yang berambut hitam dan berkulit lebih gelap.

Sampai hari ini, Jerman juga masih membuka pintunya bagi para imigran, seakan ingin menunjukkan bahwa ia sekarang bukanlah yang dahulu, yang takut terhadap mereka yang bukan merupakan ras Arya. Namun sekarang, multikulturalisme yang dimiliki Jerman kembali terancam, karena persepsi nasionalisme Jerman mulai berubah lagi. Partai–partai sayap kanan dan bahkan beberapa partai sayap kiri mulai menggaungkan keinginan mereka untuk memutihkan kembali Jerman dengan mengurangi jumlah imigran yang datang dengan berbagai alasan yang mereka punya. Apa yang akan terjadi pada kebhinekaan negara ini di masa depan, tidak ada yang tahu.

Akhirnya, pencarian saya terhadap persepsi nasionalisme orang Jerman memberikan saya pandangan yang baru. Nasionalisme bukan hanya mengenai apa negara kita, dan siapa yang lahir dengan ras atau berasal dari kelompok yang sama dengan kita. Bahkan, mereka yang merupakan bagian asli dari ras Jerman sendiri tidak merasa terikat atau menganggap dirinya nasionalis. Semua ternyata karena, nasionalisme adalah juga tentang mereka yang berbeda dengan kita, tetapi memiliki rasa bangga yang sama terhadap kesatuan secara politik yang dimiliki, seperti yang dilihat dari multikulturalisme yang dimiliki oleh Jerman. Dan tentu saja, hal ini bagi saya benar–benar menjadi bahan refleksi terhadap kondisi Indonesia yang kebhinekaannya terkadang sering berada di ujung tanduk. 

* Aloysius Efraim Leonard adalah salah satu pemenang Lomba Blog DW Indonesia 2019. Sebagai mahasiswa hubungan internasional di salah satu universitas di Bandung, tahun 2019 ia melakukan pertukaran mahasiswa selama satu semester di Dortmund, Jerman. Selama di sana, ia mempelajari banyak hal, mulai dari hubungan internasional dari sudut pandang orang Jerman, budaya, dan juga (masih berjuang) Bahasa Jerman.

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)