1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Militer Myanmar Umumkan Gencatan Senjata Sementara

1 April 2021

Militer Myanmar mengumumkan untuk menerapkan gencatan senjata bersyarat selama sebulan karena terus meningkatnya perlawanan kelompok bersenjata etnis minoritas. Sementara utusan PBB memperingatkan ancaman perang saudara.

https://p.dw.com/p/3rScS
Rakyat Myanmar di kota Yangon berunjuk rasa menentang kudeta militer pada Rabu (31/03)
Rakyat Myanmar di kota Yangon berunjuk rasa menentang kudeta militer pada Rabu (31/03)Foto: Thuya Zaw/Zumapress/picture alliance

Junta Myanmar pada hari Rabu (31/03) mengumumkan untuk menerapkan gencatan senjata sepihak selama satu bulan dengan syarat. Tapi militer Myanmar membuat pengecualian bagi tindakan yang menggangu keamanan dan operasi administrasi pemerintah, ini maksudnya mengarah pada aksi massa yang dilakukan setiap hari secara nasional untuk menentang kudeta militer sejak Februari lalu. Pengumuman ini muncul setelah junta Myanmar sibuk menghadapi kelompok gerilya etnis minoritas di berbagai daerah.

Lebih dari belasan kelompok etnis minoritas selama beberapa dekade telah berusaha menuntut otnonomi daerah lebih besar dari pemerintah pusat, terkadang melalui pasukan bersenjatanya. Bahkan sebelum kudeta, hubungan antara kedua pihak telah memanas dan upaya gencatan senjata dianggap rapuh.

Kelompok etnis minoritas belum memberikan reaksi langsung terhadap pengumuman gencatan senjata ini. Namun sebelumnya, beberapa kelompok besar, termasuk etnis Kachin di utara, etnis Karen di timur, dan etnis Rakhine di barat, secara terbuka mengecam kudeta yang dilakukan militer Myanmar dan mengatakan mereka akan membela pengunjuk rasa di wilayah yang mereka kuasai.

Cina enggan beri sanksi militer Myanmar

Sementara itu, Amerika Serikat (AS) mengatakan Cina harus menggunakan pengaruhnya untuk meminta pertanggungjawaban kepemimpinan militer Myanmar atas kerusuhan yang sejauh ini telah merenggut lebih dari 500 nyawa.

Pada hari Rabu (31/03), AS mengatakan akan terus meminta Cina untuk turut bertanggung jawab atas kudeta tersebut.

"Apa yang telah dilakukan junta di Burma bukanlah untuk kepentingan Amerika Serikat. Ini bukan untuk kepentingan mitra dan sekutu kami, dan itu bukan untuk kepentingan Beijing," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.

Tidak seperti negara-negara Barat yang mengutuk keras aksi militer tersebut, Cina menanggapi kudeta dengan hati-hati dan menyebut pentingnya stabilitas dan "transisi demokrasi" pemerintahan militer. Cina pun menolak menjatuhkan sanksi.

"Cina berharap Myanmar akan memulihkan perdamaian, stabilitas, dan ketertiban konstitusional sedini mungkin dan terus memajukan transisi demokrasi dengan baik," kata Duta Besar Cina Zhang Jun dalam pertemuan dengan dewan keamanan PBB, menurut sebuah pernyataan dikutip dari AFP.

Ancaman perang saudara

Utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener memperingatkan bahwa Myanmar menghadapi kemungkinan terjadinya perang saudara "di sebuah skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.''

Ia mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mempertimbangkan "tindakan yang berpotensi signifikan" untuk membalikkan kudeta militer sejak 1 Februari dan memulihkan demokrasi.

Burgener tidak merinci tindakan signifikan apa yang perlu dilakukan, tetapi dia menyampaikan gambaran yang mengerikan tentang tindakan keras militer dan mengatakan kepada dewan bahwa Myanmar "di ambang negara yang gagal."

"Jika kita hanya menunggu ketika mereka siap untuk berbicara, situasi di lapangan hanya akan memburuk. Pertumpahan darah akan segera terjadi," kata Burgener dalam pertemuan dengan Dewan Keamanan PBB, Rabu (31/03).

Ia pun mendesak dewan "untuk mempertimbangkan semua alat yang tersedia untuk mengambil tindakan kolektif '' dan melakukan apa yang orang Myanmar pantas dapatkan dan "mencegah malapetaka multidimensi di jantung Asia.''

Sebelumnya, pada 1 Februari militer Myanmar melakukan kudeta dan menggulingkan pemerintah sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Sejak saat itu, demonstran turun ke jalan menentang aksi kudeta tersebut.

Sedikitnya, 536 pengunjuk rasa tewas dalam aksi protes yang berakhir ricuh dengan pihak keamanan, menurut Asosiasi Bantuan Myanmar untuk Tahanan Politik.

rap/pkp (AP, Reuters, AFP)