1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mungkinkah Mengangkat ‘Londo’ Menjadi Pahlawan?

2 Januari 2018

Berhakkah orang-orang yang bukan tercatat WNI tapi berjuang untuk Indonesia diangkat sebagai pahlawan? Sebuah renungan tentang esensi kepahlawanan yang tidak melulu harus lekat dengan perlawanan bersenjata.

https://p.dw.com/p/2pzzF
Indonesische Unabhängigkeitserklärung Jahrestag
Foto: public domain

Selamat untuk Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat, Laksamana Malahayati dari Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan Lafran Pane dari Yogyakarta, yang pada 2017 ini nama dan jasanya diabadikan sebagai pahlawan nasional;  sebuah penghargaan tertinggi di Indonesia. Mengajukan dan mengangkat pahlawan nasional adalah proses yang melelahkan secara akademis, material, dan politik bagi mereka yang terlibat.

Lalu, sejauh manakah potensi kedinamisan prosesi pengangkatan seseorang untuk menjadi pahlawan nasional?

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah@RahadianRundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Sebelum membahas hal tersebut, perlu dipahami bahwa pahlawan nasional adalah sebuah proyek negara yang dapat menjelaskan karakter dari rezim pemerintah yang tengah berkuasa, dan politik menjadi bahan pertimbangannya, bahkan mungkin yang paling utama.

Jika rezim tengah gencar dengan kebijakan politik tertentu, maka nama yang diangkat biasanya sosok  yang mencerminkan kebijakan tersebut. Misalnya, pemilihan Abdul Madjid dan Lafran Pane, dua orang ulama, dapat dibaca sebagai upaya menarik lebih dalam kepercayaan umat Islam terhadap pemerintah yang kerap diterpa isu kiri-komunis belakangan ini.

Sedangkan nama Malahayati dan Riayat Syah yang merupakan tokoh maritim-militer terkemuka dalam konflik dengan bangsa Eropa tersebut tentu mewakili visi maritim yang didengung-dengungkan Jokowi, sesuatu yang menurut saya positif, terutama karena akhirnya nama perempuan diangkat kembali.

Sukarno mengangkat Alimin dan Tan Malaka pada 1963 dan 1964, seiring dengan pendirian politiknya yang terkenal makin kekirian. Begitupun di masa Suharto, terutama di tahun 1990-an, yang cenderung mengangkat tokoh dengan jasa perlawanan bersenjata melawan Belanda yang kental sebagai representasi citra militeristik Orde Baru.

Baca juga:

Memisahkan Kemerdekaan dari Kekerasan

Menakar Pahlawan Baru

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang mengatur tentang pengangkatan pahlawan nasional agaknya memberikan celah untuk mengangkat mereka yang bukan warga negara Indonesia (WNI) atau "non-Indonesia” (secara harfiah, non-pribumi), selama memenuhi kriteria yang tertulis di undang-undang.

Sebenarnya sudah ada Ernest Douwes Dekker yang diangkat pada 1961, tetapi secara teknis, ia WNI. Maksud saya adalah, orang-orang non-pribumi yang hidup ketika konsep Indonesia belum muncul, namun sepak terjang kehidupannya memenuhi kriteria.

Persoalan kriteria WNI ini menarik, terutama jika dikaitkan dengan nama-nama yang hidup sebelum masa pergerakan nasional di awal abad ke-19. Sejatinya, bentrokan fisik Sultan Agung, Iskandar Muda, dan Hasanuddin dengan bangsa Eropa adalah konflik dengan konteks regional, ditambah minusnya kesadaran akan "Indonesia”.

Namun, bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Eropa itulah yang dianggap selaras dengan esensi perjuangan bangsa Indonesia sehingga nama-nama mereka layak diangkat. Bukankah dengan begitu, terbuka pula kesempatan bagi sosok-sosok Belanda, dan orang asing penentang lainnya, diajukan menjadi pahlawan nasional?

Beberapa tokoh dari golongan tersebut saya rasa layak untuk diajukan. Sebut saja nama Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, penulis yang menguak tabir buruk kekuasaan Belanda di Nusantara melalui novelnya, Max Havelaar.

Karyanya berhasil mengubah opini publik Belanda, dan Eropa, terhadap sistem kolonialisme Belanda, memicu serangkaian reformasi politik, sosial, dan ekonomi yang lantas menciptakan ruang dan kesempatan bagi lahirnya persepsi kebangsaan dan negara Indonesia beberapa dekade setelahnya. Ditambah, pada Mei 2017 lalu, Museum Multatuli baru saja diresmikan di Kota Rangkasbitung, Banten.

Kelebihan seorang Multatuli adalah gagasan pemikirannya, sesuatu yang cenderung dinomorduakan dalam urusan menentukan kepahlawanan seseorangdi Indonesia. Hal itu pula yang menyebabkan betapa populernya nama-nama yang diangkat berdasarkan jasa militer mereka, baik dalam posisinya sebagai pemberontak partisan, tentara berpangkat, atau raja-raja bermental militeristik, daripada nama-nama pemikir dan mereka yang berkonfrontasi secara intelektual.

Hal ini bisa jadi mengkhawatirkan, karena pemujaan berlebihan terhadap aspek-aspek konfrontasi fisik dalam sejarah dapat mempengaruhi mental masyarakat Indonesia di masa sekarang, misalnya, menjadi acuan untuk melegitimasikan kekerasan.

Atau jika pakem tersebut masih cukup relevan, mungkinkah Pieter Erberveld suatu saat bisa diajukan? Menurut catatan sejarah, ia dikatakan terang-terangan ingin mendompleng kekuasaan VOC di Batavia. Pieter adalah seorang Indo-Jerman, dan ia masuk Islam, yang mendekatkannya dengan seorang ningrat Banten beserta pengikutnya yang ikut berkonspirasi dengannya.

Sayang, plot pembangkangan yang rencananya dilaksanakan pada malam tahun baru 31 Desember 1721 itu gagal karena munculnya seorang pengkhianat. Pieter lalu dieksekusi dengan kejam. VOC sampai membuat monumen yang mengutuk pembangkangan Pieter, saking geramnya.

Tidak terbatas soal kepahlawanan konfrontatif semata, kalangan ilmuwan Eropa, yang mengabdikan dirinya untuk kemajuan sains, rasanya juga layak diganjar tanda kehormatan karena mempelopori dan merawat sains di Indonesia, sebut saja seperti Rumphius, Eijkman, Junghuhn, Bosscha, dan lain-lain.

Nama-nama tersebut sebenarnya sudah terkenal di kalangan institusi-institusi Indonesia yang menyandang warisan ilmu pengetahuan mereka masing-masing, tetapi rasanya pemerintah perlu merancang sebuah formula pemberian tanda kehormatan yang lebih tinggi, mungkin bukan pahlawan nasional, tetapi setara dan secara ilmu pengetahuan mengena bagi publik Indonesia.

Belum lama, pemerintah memberikan ruang sosial yang lebih kepada kaum penghayat kepercayaan, ditandai dengan diizinkannya pencantuman kepercayaan mereka di kolom KTP. Dari pengakuan ini, mungkin saja di masa depan tokoh-tokoh penghayat kepercayaan diajukan sebagai pahlawan nasional pula, Samin Surosentiko misalnya.

Baca juga:

Merdeka Puluhan Tahun, Urusan Tinja Pun Belum Selesai

Bekas Teroris Rayakan Kemerdekaan RI

Kedinamisan Sebuah Kepahlawanan

Menawarkan nama-nama ‘londo', alias orang-orang koloni Belanda berkulit putih, kemungkinan besar akan menimbulkan kontroversi. Namun, bagaimana respon masyarakat dan pemerintah terhadapnya akan menjelaskan banyak hal tentang mentalitas orang-orang Indonesia dalam menghadapi tren historiografi Indonesia yang kian dinamis. Sejarah Indonesia sejatinya bukanlah kisah-kisah bentrokan antara pribumi melawan Eropa, melainkan bentrokan kaum pembebas melawan kaum penindas. Kaum pembebas tidak selamanya pribumi, begitu pula dengan kaum penindas tidak selamanya Eropa. Hal itu sebaiknya dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menilai kepahlawanan seseorang.

Masalahnya, siapakah yang cukup berani untuk mengajukan nama-nama ‘londo' tersebut? Memang terlihat sulit, tapi bukan mustahil. Menurut peraturan undang-undang, calon pahlawan nasional harus diajukan dari tingkat daerah untuk kemudian diseleksi menuju tingkat pusat, dan tentu saja kelengkapan sejarah tokoh tersebut sudah harus ditulis dengan matang pula; sistem yang menjadikan prosesi pahlawan nasional sebuah ajang bergengsi baik secara politik, sosial, dan budaya, bagi pemerintah daerah. Tentu saja, kehadiran penggagas nama calon pahlawan dan pemimpin daerah yang progresif berperan penting di dalamnya.

Pemberian kehormatan tertinggi kepada sosok-sosok ‘londo' saya rasa akan berdampak pula dalam menghangatkan hubungan diplomatik Indonesia-Belanda, yang agaknya masih saling memandang sinis satu sama lain akibat masa lalu kelam keduanya sebagai yang menjajah dan dijajah. Harapan lainnya adalah untuk memberikan sebuah perspektif baru dalam memberikan arti sebuah kepahlawanan. Modernitas dan dunia yang makin terhubung seharusnya dapat menginspirasi publik Indonesia untuk meninggalkan pemikiran-pemikiran sempit dalam menafsirkan masa lalu, terutama dari cara menilai rekam jejak sosok-sosok sejarah dan arti kepahlawanan nasional mereka.

Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

@RahadianRundjan

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.