1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ada Apa Dengan Syahrini?

27 Maret 2018

Ulah Syahrini di Holocaust Memorial di Berlin, Jerman: naif, norak atau insaf? Simak opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/2uzQ4
Screenshot Twitter Video Holocaust Gedenkstätte Berlin
Foto: twitter.com/riyanwahyudi

Berbicara tentang selebritas Indonesia yang menghubung-hubungkan diri dengan Nazi, ada dua jenis selebritas yang menjadi spesimennya. Yang pertama, figur-figur naif—dan tak jarang, norak—yang tidak tahu bagaimana menempatkan diri belaka. Yang kedua, para simpatisan yang sepenuhnya insaf dengan apa yang mereka lakukan. Insaf dengan kekejaman partai tersebut menghabisi jutaan manusia secara sistematis. Insaf dengan sejarahnya menginvasi negara-negara lain dan memantik Perang Dunia Kedua. Insaf bahwa hal tersebutlah yang didamba-dambakannya.

Syahrini, yang tengah menyita perhatian khalayak, saya jamin, bukan jenis yang kedua. Ia adalah orang yang polos. Sekurang-kurangnya, dalam soal membawakan dirinya dengan pantas di lanskap-lanskap yang memuat kenangan buruk.

Penulis:  Geger Riyanto
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Syahrini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka yang tergolong dalam spesimen kedua. Anda mengenal orang-orang ini sebagai penghibur ulung—sangat ulung dan paling diperhatikan di bidangnya, bahkan. Piyu dan Ahmad Dhani adalah dua di antaranya. Dhani mengenakan baju Heinrich Himmler, arsitek genosida Nazi, ketika mengampanyekan Prabowo dalam sebuah video. Piyu sempat keceplosan mengangankan Indonesia dipimpin oleh orang seperti Hitler.

Figur-figur ini dengan segera menuai gugatan lantaran perilakunya. Namun, bila gugatan tak pernah menghunjam mereka, siapa yang bisa menerka pendirian mereka saat ini? Siapa yang bisa menerka apa yang terjadi di sisi-sisi yang tak mereka tampilkan kepada publik?

Dan, pertanyaannya, mengapa kecenderungan ini muncul?

Saya tahu, Holocaust terpapar ke perhatian kita dengan proporsi yang boleh jadi terasa tidak adil. Ada sejumlah genosida di masa silam. Banyak dari antaranya raib dari ingatan bersama kita hanya karena tak menjadi film kolosal.

Orang Armenia, yang berjumlah tak lebih dari dua juta, dibantai lebih dari separuhnya oleh Kekaisaran Utsmaniyah. Khmer Merah menghabisi antara 1,5 juta hingga 3 juta orang Kamboja yang mereka imajinasikan membahayakan rezimnya—kendati pada kenyataannya korban-korbannya adalah minoritas tanpa privilese politik apa-apa. Belum lagi, pemberangusan yang terjadi di Indonesia sendiri pada masa silam—yang menyasar secara liar siapa saja yang tertuduh PKI pada saat itu.

Kendati demikian, pembantaian tetaplah pembantaian. Apa pun pembenaran yang dimiliki orang-orang, ada jutaan manusia dibunuh secara sengaja, sistematis, dan terencana dalam Holocaust. Apa yang dapat dirindukan dari pemandangan miris tubuh-tubuh bergelimpangan tanpa nyawa di sebuah ladang yang memang dibangun untuk menghabisi mereka?

Namun, kalau boleh berspekulasi, obsesi figur-figur selebritas ini terbit dari kerinduan tak masuk akal akan ketertiban, efektivitas, dan negara yang perkasa. Obsesi yang, lucunya, sama dengan yang diidap oleh masyarakat yang mengantarkan pemimpin fasis ke kursi kekuasaan. Dan kekerasan, pemberangusan, pun pembantaian di sini bukan tindakan-tindakan yang bertentangan bentuk rezim yang mereka angankan.

Sebaliknya, kekerasan, selain akan terpatri panas-panas dalam ingatan, justru mendemonstrasikan keberanian. Rezim berarti berani menerabas batas-batas apa pun sepanjang kedaulatannya tegak. Jangankan batas-batas konvensi internasional, perundingan dagang, atau birokrasi yang ruwet, batas-batas kemanusiaan saja tidak diindahkannya.

Ilustrasi dari hal ini, lucunya, dapat kita ambil bukan dari masa silam ataupun tempat yang jauh. Apakah orang-orang tidak insaf dengan citra-citra kejam yang selalu membuntuti sosok Prabowo sehingga banyak yang mendambakannya memimpin Indonesia? Saya kira, tidak. Mereka insaf. Hanya saja, mereka menangkapnya sebagai isyarat ia dapat melakukan apa pun yang diperlukan untuk membawa Indonesia menuju kejayaan. Orang-orang pun, saya kira, bukannya alpa dengan kelaliman-kelaliman Suharto maupun kekuasaan militer—penyerobotan lahan, penindasan buruh dan petani, pemberlakuan kebijakan dengan popor senapan. Namun, kekejaman tersebut adalah hal yang rentan ditangkap sebagai demonstrasi kedigdayaan rezim.

Baca juga:

Mencurigai Fasisme Gaya Baru di Indonesia (bag.1)

Mencurigai Fasisme Gaya Baru di Indonesia (bag.2)

Mencurigai Kebangkitan Fasisme Gaya Baru di Indonesia (Bag.3)

Kerinduan janggal

Keluguan ini, saya kira, yang menjelaskan kerinduan janggal orang-orang akan Nazi. Demikian pula dengan kerinduan akan Orde Baru. Demikian pula dengan kerinduan yang menggelar karpet merah untuk pemimpin-pemimpin populis di seantero dunia saat ini. Kemanusiaan, seakan, adalah hal yang harus dipertukarkan dengan efisiensi. Dan ketika satu negara ingin menjadi adidaya, mereka harus melepaskannya dalam sebuah kontrak Faustian yang tak suci.

Tentu saja, adalah tidak benar dunia kita bergulir dengan cara sesederhana itu. Namun, menjadi lugu seperti ini adalah hal yang lebih menyenangkan ketimbang memahami realitas politik yang ruwet. Dan bila keluguan ini terus dan semakin luas diidap, bukan tidak mungkin apa yang diperlukan oleh negara ke depan bukanlah kebijakan yang menyejahterakan. Apa yang mereka butuhkan, kalau ini terjadi, adalah korban-korban pembangunan untuk memperlihatkan keseriusan proyek pembangunannya.

Bagaimana dengan pembangunan itu sendiri? Itu urusan lain yang tak perlu terlalu dipedulikan. Toh, di mata orang-orang, pembangunan ada ketika ada korbannya. Ketika ada yang memekik dalam nestapa karenanya. Ketika ada, menyitir istilah Peter Berger, korban yang bergelimpangan di piramidanya.

Penulis:

Geger Riyanto (ap/vlz) esais dan peneliti. Tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.