1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tindak Pedofilia Mewabah di Pesantren Pakistan

14 April 2020

Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur marak terjadi di lingkungan madrasah di Pakistan. Kuatnya pengaruh mullah acap membuat keluarga korban takut dan memilih diam.

https://p.dw.com/p/3as6K
Foto ilustrasi: Santri sebuah pesantren di Pakistan
Foto: Reuters/C. Firouz

Muhimman menuliskan namanya secara perlahan, huruf demi huruf, penuh kehati-hatian, dan tersenyum lebar ketika selesai. Dia adalah murid sekolah berusia 11 tahun yang bermimpi menjadi dokter suatu saat nanti. 

Tapi lingkungan sekolah sedang tidak ramah bagi sang bocah. Awal tahun ini seorang ustaz di madrasah membawa Muhimman ke ruang cuci dan berusaha memerkosanya di sana. 

Bibinya, Shazia, mengenal Moeed Shah sejak kecil. Sang ustaz dikenal gemar menganiaya anak didik, atau bahkan meminta santri perempuan untuk menyingkap baju mereka. 

“Dia melakukan hal-hal itu kepada banyak bocah laki-laki dan dua atau tiga anak perempuan,” kata sang bibi sembari mengenang kisah seorang bocah perempuan yang mengalami patah tulang punggung usai dianiaya Moeed Shah. 

Kini sebuah investigasi oleh kantor berita Associated Press mengungkap belasan aduan serupa kepada kepolisian seputar pelecehan seksual, pemerkosaan dan penganiayaan fisik di madrasah-madrasah di seluruh Pakistan. 

AP juga mendokumentasikan kasus-kasus serupa melalui wawancara dengan kepolisian, korban penganiayaan dan orangtuanya.  

Marak pelecehan seksual anak di bawah umur 

Saat ini ada lebih dari 22.000 madrasah yang terdaftar di Pakistan. Lebih dari dua juta murid belajar dan ditampung di sana, kebanyakan berasal dari keluarga miskin.  

Namun ada pula sekolah-sekolah agama yang tidak terdaftar. Biasanya pesantren semacam ini didirikan oleh seorang ustaz lokal. Dengan menawarkan pendidikan, makanan dan tempat tinggal secara cuma-cuma, tidak sedikit warga miskin yang tergiur mengirimkan anaknya ke sana. 

Pakistan tidak memiliki lembaga pusat yang mengawasi pendidikan di pesantren atau madrasah,  juga tidak punya sebuah otoritas yang berwenang menyelidki dugaan penganiayaan oleh pemuka agama. 

Padahal di awal masa kekuasaannya Perdana Menteri Imran Khan sempat berjanji akan memodernisasi kurikulum sekolah agama dan mengawasi kegiatan belajar mengajar dengan lebih ketat. 

Tapi kebijakan tersebut dirancang untuk meredam penyebaran ideologi ekstremis, bukan untuk mencegah tindak kekerasan seksual. 

Kepolisian Pakistan mengakui kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur oleh guru atau pimpinan pondok pesantren kian marak, dan angka pengaduan yang diterima polisi jauh lebih sedikit ketimbang yang tidak dilaporkan. 

Namun dari belasan aduan pelecehan seksual di madrasah, tidak satu pun berujung dakwaan untuk para pelaku. 

empat anak lelaki tertidur pulas di atas karpet
Keluarga anak korban pelecehan seksual di Pakistan acap didesak warga untuk memaafkan pelaku lantaran berstatus pemuka agama. Para mullah sebaliknya gemar melayangkan tuduhan penistaan agama dalam kasus dugaan pemerkosaan yang melibatkan salah seorang di antara mereka.Foto: Reuters/C. Firouz

Ulama dan pemuka agama memiliki kekuasaan besar di Pakistan. Mereka cenderung menutup rapat barisan jika salah seorang di antara ulama didakwa melakukan penganiayaan atau pelecehan seksual. Selama ini para pelaku selalu lolos dari jerat hukum dengan menuduh korban melakukan penistaan agama. 

Keluarga korban juga sering dibujuk untuk “memaafkan" pelaku, ketimbang menempuh jalur hukum, kata Sadiq Baloch, Wakil Kepala Polisi di sebuah distrik di barat laut Pakistan, berdekatan dengan perbatasan Afghanistan. 

Lantaran khawatir mendapat stigma negatif sebagai korban pemerkosaan, pihak keluarga seringkali mencabut aduan, katanya. Ketika keluarga memaafkan pelaku, penyidikan juga serta-merta berakhir. 

“Beberapa mullah ini munafik. Mereka merawat janggut panjang dan mengenakan jubah agar terlihat alim, lalu melakukan tindakan kejam seperti ini secara diam-diam, sembari mengritik mereka yang mencukur janggut atau berpandangan terbuka dan liberal,“ kata Baloch menambahkan.  

“Di dalam masyarakat kami, ada banyak orang-orang seperti ini. Mereka mengaku beriman, tapi ikut terlibat dalam aktivitas bejat.“ 

“Saya ingin agar mullah ini digantung“ 

Kepolisian mengaku tidak memiliki data jumlah anak-anak yang mengalami kekerasan dan pelecehan seksual di madrasah. Sejumlah perwira mengatakan para ustaz atau ulama biasanya lebih menyukai bocah laki-laki di bawah umur. 

Hal ini dikarenakan langgam konservatif masyarakat Pakistan yang melarang interaksi antara laki-laki dan perempuan. Dalam banyak kasus, para pelaku menikmati tingkat kepercayaan yang tinggi dari korban.

Salah seorangnya adalah Yaous, seorang bocah berusia delapan tahun yang tinggal di Distrik Kohistan, Provinsi Khyber Pakhtunkhwa. 

Ayahnya adalah buruh miskin tak berpendidikan yang ingin menjamin kehidupan yang lebih baik untuk sang anak. Sebabnya dia mengirimkan Yaous ke sebuah pesantren di Mansehra, yang berjarak ratusan kilometer dari kampungnya sendiri. 

Tanpa telepon genggam lantaran terlalu miskin, sang ayah harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa berbicara dengan anaknya. 

Yaous berpostur pendek untuk anak seusianya. Tubuhnya yang kurus bergetar ketika mengisahkan pengalamannya kepada wartawan AP.  

Saat itu pesantren memasuki musim liburan di bulan Desember tahun lalu. Kebanyakan santri sudah pulang mudik, hanya segelintir yang masih bercokol. Buat orang tua Yaous, ongkos perjalanan pulang terlalu mahal untuk ditanggung. Sebabnya sang bocah harus tinggal di pesantren selama masa libur. 

Pada hari laknat itu Yaous berdiam diri di masjid bersama pimpinan ponpes, Qari Shamsuddin. Sang mullah lalu menarik tangannya, menyeret Yaous ke sebuah kamar dan mengurungnya di sana. 

“Suhunya sangat dingin. Saya tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba membuka baju hangat saya,” kisah bocah itu dengan nada lirih.  

Qari lalu mengambil sebuah tongkat sepanjang 30 sentimeter dan mulai memukuli Yaous.  

“Rasa sakitnya membuat saya menjerit dan menangis. Tapi dia tidak berhenti,” kisahnya. Di kamar itu dia dikurung selama dua hari dan diperkosa berulang kali. Ketika akhirnya Yaous jatuh sakit, Qari khawatir sang bocah meregang nyawa dan membawanya ke rumah sakit.

Di sana, Dr. Faisal Manan Salarzai berkisah betapa Yaous menjerit histeris setiap kali dia mendekat. Bocah bertubuh mungil itu sedemikian ringkih, Salarzai memanggilnya “bayi.“ 

“Dia memiliki banyak luka memar di sekujur tubuhnya, di kepala, di dada, di kaki dan luka serupa di bagian tubuh yang lain,“ kata dia. 

Karena merasa curiga, Salarzai lalu membawa Yaous ke ruang isolasi untuk diperiksa dengan lebih seksama. Hasilnya mengungkap penganiayaan seksual yang brutal dan berulang-ulang. 

Namun paman Yaous menolak mempercayai Salarzai. “Kalau kabar bahwa dia diperkosa beredar di desa kami, dia akan sulit bertahan hidup di sini,“ kata sang paman.  

”Pamannya tidak ingin membahas atau bahkan berpikir bahwa keponakannya diperkosa,“ kata Salazai. Lantaran bukti yang terlalu kuat, dia lalu mengadukan kasus Yaous ke kepolisian. 

Qari Shamsuddin akhirnya ditangkap dan berita kasusnya menyebar ke seluruh negeri. Namun begitu ustaz-ustaz lain di Madrasah Taleem-ul-Quran menampik pengakuan Yaous. Mereka tetap meyakini Qari tidak bersalah. Menurut mereka, dia hanya korban dari elemen anti-Islam di dalam masyarakat.  

Para ustaz itu juga menuduh kasus Qari adalah bagian dari konspirasi untuk mendeskreditkan ulama-ulama Pakistan dan memperlemah supremasi Islam. Dalih serupa sering diungkapkan kaum ultra konservatif Pakistan pada banyak dakwaan hukum lain. 

Ayah Yaous, Abdul Qayyum, mengaku malu lantaran tidak berbicara dengan anaknya selama tiga bulan sebelum peristiwa laknat itu terjadi. “Saya ingin agar mullah ini digantung. Tidak ada balasan lain yang lebih setimpal,” ujarnya. 

Terhambat penegakan hukum  

Tekanan untuk mendiamkan kasus pelecehan seksual oleh pemuka agama seperti pada kasus Yaous juga dialami Muhimman, bocah 11 tahun yang diperkosa ustaz Moeed Shah di pesantrennya.  

“Warga desa mengatakan Moeed adalah pemimpin spiritual dan imam di desa. Mereka menolak mengusirnya,” kisah Shazai, bibi Muhimman.

Setelah kasus pemerkosaan terungkap, penduduk menyambangi rumah Muhimman untuk meminta keluarga memaafkan sang ustaz, meski yang bersangkutan sudah melarikan diri dari desa.  

“Mereka semua datang ke rumah kami dan mereka tahu betapa kami orang miskin dan dia seorang imam. Mereka meminta kami memberi maaf, tapi kami menolak,“ kisah Shazai. 

Pihak kepolisian mengatakan Moeed masih buron. Namun para tetangga di sekitar rumah Muhimman menuduh aparat keamanan tidak bersungguh-sungguh melacak sang ustaz. Mereka terlihat marah, namun juga pasrah jika Moeed lolos dari jerat hukum. 

“Binatang semacam itu tidak pantas diampuni,“ pungkas Shazia. 

Associated Press (rzn/as) 

Tradisi Mengubur Al Qur'an di Pakistan