1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Bencana

Naturalisasi "Harusnya" Jadi Kunci Antisipasi Banjir Jakarta

2 Januari 2020

Pengamat tata kota berpendapat naturalisasi sungai serta penambahan ruang terbuka hijau sebetulnya langkah tepat antisipasi banjir. Sementara BNPB mencatat sebanyak 16 orang tewas akibat banjir malam tahun baru 2020.

https://p.dw.com/p/3Vb0J
Indonesien Hochwasser in Jakarta | Rettungskräfte
Foto: Reuters/W. Kurniawan

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga berpendapat, pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak siap mengantispasi bencana banjir yang melanda ibu kota. Ada beberapa catatan penting menurut dia yang menjadi penyebab banjir melanda.

Nirwono menyebut adanya perbedaan konsep penanganan normalisasi atau naturalisasi sungai di Jakarta, serta proses pembebasan lahan di bantaran sungai dari pemukiman liar yang urung dilakukan, merupakan penyebab mengapa banjir di Jakarta makin kerap terjadi.  

Indonesia Jakarta - Urbane Planung
Pengamat Tata Kota Nirwono JogaFoto: Private

"Revitalisasi situ, danau, embung dan waduk dengan cara dikeruk dan diperdalam juga berjalan lambat," papar Nirwono saat dihubungi DW Indonesia, Selasa (02/01) siang.

Hal ini juga diperparah dengan tingginya intensitas hujan di Jakarta, serta adanya banjir kiriman dari hulu. Pengamat tata kota itu  menyoroti minimnya luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dimiliki DKI Jakarta. Saat ini tercatat luasannya hanya sebesar 9,98% dari total seluruh luasan wilayah ibu kota.

"Penambahan RTH baru pun tidak signifikan yang membuat daerah resapan air tidak bertambah banyak pula. Banjir terbukti melanda Jakarta di awal tahun baru ini," ujar Nirwono.

Naturalisasi "harusnya" jadi solusi antisipasi banjir di Jakarta

Konsep naturalisasi menurutnya menjadi "pembeda" di tengah konsep normalisasi sungai yang digaungkan oleh pemerintah saat ini. Konsep ini merupakan upaya untuk mengembalikan bentuk sungai ke kondisi alaminya sekaligus sebagai langkah antisipasi menghadapi ancaman banjir.

Dalam konsep normalisasi yang telah dilaksanakan sebelumnya, badan sungai dikeruk dan diperlebar, sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta 2030. Dalam RDTRK itu direncanakan 13 sungai yang melintasi Jakarta akan diperlebar dari 15-20 meter menjadi 35-50 meter dengan dimensi bantaran sungai selebar 7,5 - 15 meter. Sungai juga akan dikeruk, dari kedalaman awal 2-3 meter menjadi kedalaman 5-7 meter.

Nirwono berpendapat, untuk mendukung konsep antisipasi banjir ini, Pemprov DKI bisa "merelokasi besar-besaran permukiman di tepi bantaran kali dan tepi situ, danau, embung, waduk ke rusunawa tedekat."

Melihat tingginya curah hujan dalam beberapa waktu belakangan ini, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti itu mengatakan, Pemprov DKI Jakarta harusnya melakukan rehabilitasi saluran air secara bertahap. Langkah ini hendaknya dilakukan bersamaan dengan program revitalisasi trotoar yang sedang digalakkan dirjen Bina Marga. Tujuannya agar volume air yang berlimpah dapat tertampung.

"Curah hujan tinggi dapat tertampung dengan baik dan sekaligus mengantisipasi banjir kalau drainase di DKI juga berfungsi," pungkas Nirwono.

Baca juga:Jabodetabek Banjir, Presiden Jokowi Minta Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat Bersinergi 

Pengendalian volume air dari hulu

Menanggapi fenomena banjir besar yang menerjang Jakarta dan menewaskan puluhan orang itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan bahwa antisipasi banjir di Jakarta harus dilakukan dengan pengendalian volume air dari hulu. Menurutnya selama tidak ada pengendalian dari hulu, antisipasi yang dilakukan tidak akan bisa optimal.

"Saat ini yang menjadi tantangan kami antisipasi air yang datang dari hulu kawasan pengunungan," ujar Anies di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (01/01) malam dikutip dari Tempo.co.

Anies mengklaim pengendalian volume air dari hulu harus dilakukan karena upaya normalisasi sungai oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah dilakukan. Salah satunya adalah normalisasi Kali Ciliwung di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur, tetapi faktanya banjir juga masih terjadi.

"Ini bukti otentik, ini sudah normalisasi tapi masih ada luapan dari sungai," ujarnya.

"Jika di hulu dibangun waduk embung maka jika ada volume air besar maka air akan bertahap menuju ke bagian pesisir," lanjut Anies.

Puluhan ribu warga mengungsi

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga hari ini (02/01), banjir yang disebabkan derasnya hujan yang mengguyur wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya pada malam tahun baru 1 Januari 2020 telah menelan korban jiwa sebanyak 16 orang.

Dari angka tersebut diketahui 8 orang berasal dari Jakarta, 1 orang dari Kota Bekasi, 3 orang dari Kota Depok, 1 orang dari Kota Bogor, 1 orang dari Kab. bogor, 1 orang dari Kota Tangerang, dan 1 orang dari Kota Tangerang Selatan.

Penyebab tewasnya korban beragam, antara lain karena ada yang terserang hipotermia, tersengat aliran listrik, tenggelam, terseret arus, hingga tertimbun tanah longsor.

Baca jugaJakarta Masih Akan Diguyur Hujan Lebat, BNPB Upayakan Modifikasi Cuaca

Sementara tercatat lebih dari 62 ribu warga Jakarta mengungsi dari tempat tinggal mereka akibat terendam banjir. Mereka tersebar di 302 titik yang ada di Jakarta. BNPB pun terus melakukan pendataan secara berkala.

"Untuk pengungsi dari Jakarta tadi sudah naik menjadi 62.443 ribu jiwa," jelas Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Agus Wibowo kepada awak media saat ditemui di Graha BNPB, Jakarta, Kamis (02/01).

BdT Kinder werden in der Region Tangerang bei Jakarta in einem aufblasbaren Kinderbecken vor der Flut geretet
Seorang bayi harus dievakuasi bersama keluarganya akibat banjir yang melanda di kawasan Tangerang, Rabu (01/01). Foto: Reuters/M. Iqbal

Banjir masih ada di sejumlah titik 

Hingga berita ini diturunkan, beberapa titik di wilayah Jabodetabek masih dilanda banjir. Kepada DW Indonesia, Jesslyn, warga Bojong Indah, Jakarta Barat, mengaku saat ini kawasan tempat tinggalnya masih terendam banjir dengan ketinggian mencapai 70 cm. Aliran listrik dan air juga sudah diputus.

"Sepaha (tingginya) di jalan depan rumah. Awet nih banjirnya. Ga naik ga turun," tuturnya.

Selain itu, banjir juga dialami oleh Lita, warga Bekasi Jaya, Bekasi. Ia mengaku rumahnya terendam banjir dengan ketinggian mencapai 1 - 1,5 meter. Ini merupakan banjir terparah yang ia alami selama ia tinggal di sana.

"Separah-parahnya biasanya pagi surut. Antara (banjir) kiriman sama hujan deras banget kan semalam," ujarnya.

Sementara Fatir, warga Kayuringin Jaya, Bekasi, mengeluhkan lambatnya evakuasi dari petugas setempat. Ketinggian banjir yang menerjang kawasan rumahnya sejak malam tahun baru 1 Januari 2020, telah mencapai seleher orang dewasa. Walaupun banjir kerap kali menerjang kawasan rumahnya, namun Fatir menilai ini merupakan banjir terparah yang pernah terjadi.

"Buat evakuasi perahu karet cuma dikasih satu, itu juga bukan per RW. Tadi pagi ada info ibu-ibu lagi hamil mau melahirkan, minta dievakuasi. Perahunya ngga tahu dimana," jelas Fatir.

Banjir juga menimbulkan kerugian materil, seperti yang dialami Hilmi, warga Rawa Lumbu, Bekasi. Ini merupakan kali pertama rumahnya dilanda banjir. Ketinggian air mencapai 1 meter. Kepada DW Indonesia ia menyampaikan, air masuk ke dalam rumahnya dengan cepat secara tiba-tiba pada Rabu (01/01) dini hari.

Ia pun tidak sempat mengevakuasi barang-barang yang ada, begitu pula dengan kendaraan yang ia miliki. "Air masuk ke mobil, saya bingung sekarang ngga bisa nyala. Gimana cara bawa ke bengkelnya?" papar Hilmi.

rap/as (dari berbagai sumber)