1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikInggris

Peran Monarki Inggris selama Pemerintahan Ratu Elizabeth II

Sertan Sanderson
Sertan Sanderson
21 September 2022

Setelah kematian Ratu Elizabeth II, apakah gerakan republikanisme yang menolak monarki di Inggris akan menguat? Bagaimanapun, monarki berperan penting sebagai faktor pemersatu. Opini editor DW Sertan Sanderson.

https://p.dw.com/p/4H6ge
Seorang warga di London memegang potret Ratu Elizabeth II pada hari pemakamannya
Seorang warga di London memegang potret Ratu Elizabeth II pada hari pemakamannyaFoto: Louisa Gouliamaki/AFP

Setelah kematian Ratu Elizabeth II, ada seruan baru untuk republikanisme dan perubahan yang bergaung dari Australia sampai ke Skotlandia. Pemikiran semacam ini adalah latihan yang sehat untuk demokrasi di seluruh dunia. Namun, monarki konstitusional adalah satu-satunya jalan ke depan bagi Inggris — dan mungkin juga bagi negara-negara lain.

Jelaslah bahwa kita telah kehilangan jenis pemimpin yang hampir tidak bisa dijumpai akhir-akhir ini: seorang perempuan yang selama puluhan tahun menandai peristiwa-peristiwa politik sebagai kepala negara; seorang perempuan yang mendefinisikan kembali kekuatan soft diplomacy.

Ratu Elizabeth II melakukan perjalanan ke lebih dari 100 negara semasa hidupnya dan dengan setiap tangan yang dia jabat, sang ratu memberikan senyum ramahnya ke semua wilayah persemakmuran dan sekitarnya dalam upaya untuk mulai membahas — dan memperbaiki — masa lalu.

Penentang monarki dan pendukung republikanisme di Edinburgh, Skotlandia
Penentang monarki dan pendukung republikanisme di Edinburgh, SkotlandiaFoto: Jane Barlow/PA Wire/dpa/picture alliance

Memimpin dengan penuh dedikasi

Dia membuka jalan bagi modernisme dan monarki untuk bertemu, memimpin dengan penuh dedikasi, pengabdian, dan martabat, selalu berusaha untuk menjadi kekuatan pembangunan bangsa, ketika seluruh dunia pascakolonial mengalami perubahan dan gejolak.

Dengan masing-masing koloni pertama mendeklarasikan kemerdekaan, peran Inggris hampir menyusut dari sebuah imperium menjadi sedikit lebih dari seorang wasit. Meskipun demikian, sang ratu tentu memiliki peran penting mengawasi proses transformasi sosial ini di dalam dan luar negeri selama 70 tahun.

Ketika "imperium, di mana matahari tidak pernah terbenam" memasuki tahun-tahun senja imperialisme, ia membuka lebih banyak aspek kehidupannya sendiri kepada publik, karena "eksotisisme" imperial harus diganti citra keluarganya sendiri untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada monarki.

Dia kemudian setuju untuk membayar pajak atas pendapatan pribadinya. Ketika rumah tercintanya, Kastil Windsor, menjadi abu pada tahun 1992, dia memutuskan untuk mencari cara baru guna mendanai perbaikan dari kantongnya sendiri.

Akan berlebihan untuk mengatakan bahwa dia adalah "salah satu dari kita" — tetapi setidaknya dia berhasil menunjukkan bahwa dia tidak lebih suci dari warga biasa.

Menjaga persatuan dan perdamaian

Sang ratu menonjol karena pendekatannya yang terukur dan seimbang di dalam negeri, yang sangat kontras dengan kekosongan kepemimpinan politik yang andal di Inggris; negara yang telah menyaksikan kabinet jatuh bangun dari empat perdana menteri dalam satu dekade terakhir saja.

Selama 10 tahun itu ditandai oleh perpecahan dan perselisihan sosial di bawah masing-masing pemimpin itu — mulai dari referendum kemerdekaan Skotlandia, referendum Brexit, hingga respons COVID-19, tampaknya di Inggris tidak ada lagi konsensus atau kohesi sosial.

Namun, di luar semua itu sang ratu tetap menjadi konstanta yang langka yang berfungsi sebagai perekat yang menyatukan Inggris.

Pada saat yang sama, tidak diragukan lagi bahwa ada masalah di dalam dan dengan keluarga kerajaan, dengan beberapa anggota klannya yang kurang anggun dan tersandung dari satu kesalahan ke kesalahan berikutnya. Tentu saja, ada disfungsi dalam keluarga kerajaan. Bagaimanapun, itu adalah sebuah keluarga.

Mereka yang menggunakan kematian ratu sebagai platform untuk menyerukan revolusi tampaknya lupa betapa banyak transformasi telah terjadi semasa hidup Ratu Elizabeth II, dan bagaimana dia mengendalikan perubahan itu sebagai kepala negara, pemimpin persemakmuran, pembela kerajaan, dan ibu dari klan keluarga.

Berkat komitmennya yang teguh, penguasa masa depan harus menjalankan tugasnya sebagai pelayan rakyat. Bagi saya, janji untuk mengabdi ini adalah tindakan terakhirnya untuk demokrasi, tetapi bagi Raja Charles III ini mungkin menjadi beban yang lebih berat daripada mahkota di atas kepalanya.

(hp/ha)