1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Kisah Perempuan Nusantara di Mata Pelancong Austria

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
16 Agustus 2023

Hindia Belanda pertengahan abad ke-19 telah menjadi tempat yang tidak lagi asing, gelap, bahkan menakutkan bagi orang-orang Eropa, setidaknya jika dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Opini Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/49KjR
Pengelana dunia, Ida Pfeiffer
Ida Pfeiffer, perempuan petualang yang kisah-kisah perjalanannya telah dipublikasikan luasFoto: akg-images/picture alliance

Terutama di Jawa, yang raja-rajanya telah tunduk terhadap Belanda dan tanahnya dipasarkan besar-besaran untuk investasi Eropa (tanam paksa). Kian banyak orang Eropa datang untuk mengumpulkan kekayaan, meneliti alamnya, atau sekedar melancong. Mayoritas adalah laki-laki, kalaupun ada perempuan biasanya mereka datang untuk menemani pasangannya. Karenanya, seorang Ida Pfeiffer yang bepergian sendirian saat itu adalah fenomena yang unik.

Ida lahir di Wina, Austria, pada 14 Oktober 1797. Sebelum berangkat ke Hindia, ia sudah dikenal luas sebagai perempuan petualang yang kisah-kisah perjalanannya telah dipublikasikan luas. Selama 1842-1845, Ida mengunjungi tempat-tempat di timur Laut Mediterania seperti Istanbul, Yerusalem, Mesir, Siprus, dan Roma sebelum kembali ke Austria. Tak lama, ia sudah berangkat lagi menuju Skandinavia dan Islandia. Pada 1846-1848, Ida mengunjungi Amerika Selatan, mampir di Tahiti (Pasifik), lalu menempuh perjalanan pulang melalui Cina, India, Persia, Asia Tengah, dan Rusia.

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Perjalanan keliling dunia pertamanya tersebut dilanjutkan dengan perjalanan kedua, yang salah satu rutenya adalah mengunjungi Hindia Belanda, di samping tempat-tempat lain seperti Afrika Selatan, Amerika Utara, dan Amerika Tengah. Catatan ekstensifnya memberikan banyak informasi tangan pertama yang menarik, terutama tentang situasi sezaman perempuan-perempuan nusantara dan kaitannya dengan kolonialisme Belanda saat itu, terlebih ketika dilihat dari perspektifnya sebagai seorang paruh baya berusia 45 tahun yang sudah cukup banyak makan asam garam menjalani kehidupan sebagai perempuan pekerja di Eropa.

Observasi dan perbandingan

Ida tiba di Hindia pada 1851 dan tidak mendarat di Batavia, sebagaimana orang-orang Eropa lain. Ia lebih memilih menelusuri pedalaman Kalimantan (Borneo) dan mengunjungi Pontianak, Sambas, Sintang, dan Republik Lanfang. Ia lalu pergi ke Batavia, mengunjungi Bandung, Buitenzorg (Bogor), dan Tangerang sebelum melanjutkan perjalanan ke Sumatera (tanah orang-orang Minangkabau dan Batak). Sekembalinya ke Jawa, ia mengunjungi Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta dan kemudian berlayar ke perairan timur (Sulawesi, Kepulauan Maluku). Setelahnya, Ida meninggalkan Hindia untuk pergi ke Amerika Serikat.

Ida menuliskan pengalaman selama berada di Hindia dalam bukunya yang dalam Bahasa Inggris berjudul A Lady's Second Journey Round the World, yang pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Jerman di Austria pada 1856, lantas kemudian diterjemahkan ke Bahasa Inggris, Prancis, Belanda, bahkan Melayu. Perjalanan Ida di Hindia kerap membuat orang-orang Belanda terkejut tak percaya. Misalnya, seorang komandan militer di Seram bahkan berkata bahwa ia jauh lebih terkejut mendengar Ida akan datang ke tempatnya daripada mendengar kabar kalau langit akan runtuh menimpanya.

Di Hindia, Ida tidak hanya ingin mengunjungi kota-kota besar atau tempat-tempat yang sudah dikontrol oleh Belanda. Ia bersikeras untuk mengunjungi dan bermalam di wilayah-wilayah pedalaman yang bahkan bagi Belanda saat itu dianggap masih berbahaya karena orang-orangnya belum sepenuhnya ditundukkan dan masih melaksanakan tradisi yang terhitung buas, seperti kanibalisme di tanah Batak atau memburu kepala di kalangan suku Dayak dan Alifuru (Seram). Akibatnya, rencana-rencana perjalanan Ida sering mendapat tentangan dari aparat kolonial setempat yang tidak ingin ia terlibat masalah.

Perjumpaan Ida dengan penduduk lokal, terutama kelompok perempuannya, kerap diceritakan dengan perspektif berbeda dengan pelancong lain sezamannya yang kebanyakan laki-laki. Hal ini yang unik dalam catatan perjalanan Ida. Misalnya, ia menolak anggapan bahwa perempuan Kalimantan, baik itu Dayak atau Melayu, hidupnya berkesusahan seperti yang sering dilaporkan pelancong-pelancong lain. Memang terlihat gaya hidup orang-orang Kalimantan saat itu, seperti soal makanan dan kepemilikan harta benda yang minim, tidaklah tinggi sehingga kesederhanaan mereka menjadi terlihat sebagai bentuk kemiskinan di mata orang-orang asing.

Sebaliknya, Ida melihat bahwa perempuan Kalimantan hidup lebih berkecukupan dibandingkan perempuan Jerman dan Eropa saat itu yang di desa-desa harus bekerja seharian mengurus ternak, atau yang bekerja di pabrik-pabrik tekstil di kota-kota besar dengan bayaran kecil. Setidaknya, tanpa uang perempuan Kalimantan dapat hidup; hal yang sulit terjadi di Eropa yang telah terindustrialisasi saat itu. Dengan begitu, Ida menyindir laki-laki Eropa yang kerap seenaknya menilai gaya hidup perempuan di tanah jajahan namun tak peka terhadap kondisi perempuan di tanah airnya sendiri.

Ida juga melihat terkadang perempuannusantara bekerja lebih keras daripada laki-lakinya. Di Panti (Minang), dalam sebuah proyek pembangunan jalan, ia melihat perempuan yang bekerja jumlahnya lebih banyak daripada laki-lakinya. Sedangkan di perkebunan, jumlah pekerja laki-laki dan perempuannya setara. Justru laki-lakinya yang disebutnya sering bermalas-malasan. Ida menyentil Schiller, penyair Jerman, yang disebutnya melabeli perempuan sebagai ‘tukang gosip berkepala kosong'; berandai apabila Schiller melihat apa yang dilihatnya di Sumatera, maka pernyataan itu haruslah ditempelkan juga kepada laki-laki.

Pengalamannya mengamati perempuan Minang membuat Ida cukup takjub karena budaya pemberian peran yang lebih besar kepada perempuan adalah hal langka, apalagi dalam masyarakat Islam. Ia membandingkannya dengan negeri-negeri di Islam di Timur Tengah yang mustahil mengizinkannya. Sebaliknya, ia juga melihat di lingkungan keraton Surakarta, perempuan masih terkekang. Orang tua senang apabila anaknya bisa menjadi harem keraton, atau jika tidak ingin hal itu terjadi, mereka akan segera dinikahkan muda. Keduanya pilihan sulit bagi perempuan yang seringnya harus menurut dengan terpaksa.

Di Sulawesi Selatan, Ida menjumpai praktek yang lebih progresif. Kerajaan seperti Tanete, Barru, dan Lagosi justru dipimpin oleh ratu-ratu daripada raja-raja. Sebagai contoh, ia menyebut bahwa orang-orang Lagosi lebih suka dipimpin perempuan karena perempuan lebih tidak suka berperang dan dapat lebih jujur daripada laki-laki ketika memimpin masyarakatnya. Namun ia menyayangkan, titel ratu tersebut kerap tidak sebanding dengan kesan megahnya. Ida melihat ratu-ratu tersebut hanya tinggal di istana seadanya, bahkan sebagian terlihat seperti gubuk yang terkesan kotor dan tanpa wibawa.

Ida Pfeiffer, perempuan, dan kolonialisme

Ida Pfeiffer adalah sebuah anomali di dunia yang saat itu menganggap bahwa hanya laki-lakilah yang mampu bepergian jauh ke ujung-ujung dunia yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. Ida membuktikan bahwa tempat perempuan tidak hanya di rumah saja, mereka juga mampu menghadapi bahaya dengan nyali, sebagaimana saat dirinya bisa meredakan kemarahan orang-orang kanibal di tanah Batak yang mencegat dan mengancam untuk memakan dirinya dengan cara bersikap humoris untuk membangun pengertian. Jika laki-laki dihadapkan dalam situasi tersebut, mungkin sekali sudah akan terjadi pertengkaran.

Beberapa perbandingan yang Ida sampaikan mengenai perempuan di nusantara, berikut opini kritisnya, menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ke-19, di berbagai belahan dunia status perempuan sama-sama masih termarjinalkan akibat terlalu besarnya peran politik, ekonomi, dan sosial laki-lakinya. Hal ini juga yang menyebabkan mengapa ciri maskulin dari kolonialisme terlihat begitu dominan. Karena itulah sejarah Ida di Hindia khususnya pertemuannya dengan perempuan nusantara, layak untuk diteliti lebih jauh terlebih ketika atmosfir studi perempuan dan feminisme di Indonesia kini kian populer.

 

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.