1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sejarah Dominasi dan Otonomi Seksual Perempuan Nusantara

Zaky Yamani
Zaky Yamani
2 Februari 2019

Perempuan di Nusantara yang pernah memiliki posisi yang tinggi—dengan dominasi dan otonomi seksualnya—direndahkan posisinya, seiring dengan semakin kuatnya dominasi budaya luar. Opini Zaky Yamani.

https://p.dw.com/p/3Acb1
Indien jügendliche Protituierte gerettet in Bombay
Foto: imago/UIG

Indonesia, saya pikir, punya masalah yang serius dengan kejahatan seksual. Dalam catatan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2017 saja ada 2.979 kasus kejahatan seksual yang dilaporkan. Jumlah yang sebenarnya bisa jadi lebih tinggi lagi, karena biasanya korban tidak berani melapor. Dengan jumlah kasus yang tercatat di Komnas Perempuan saja, kita bisa menghitung rata-rata setiap hari terjadi 8 kasus kejahatan seksual di Indonesia.

Persoalan ini membuat saya bertanya, apakah sejak dulu lelaki di negeri ini melihat perempuan sebagai objek seksual dan sasaran unjuk kekuasaan?

Di dalam buku-buku kajian sejarah tercatat, perempuan Nusantara pernah memiliki kedudukan yang egaliter bersama kaum lelaki—jika tidak bisa dikatakan pihak dominan—dalam urusan seks. Situasi itu terjadi setidaknya antara abad 13 sampai abad 15 Masehi, seperti terungkap, misalnya, di buku "Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha” karya George Cœdés (pertama terbit pada 1964, edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada 2010 dan 2015), juga di buku "Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680” karya Anthony Reid (pertama terbit pada 1988, edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada 1992, 2011, dan 2014).

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Dalam hal kesetaraan hubungan antara perempuan dan laki-laki, Cœdés mengutip catatan seorang penjelajah bernama Odorico dari Pordenone, yang melakukan kunjungan ke wilayah Lamori (Aceh) pada 1321 Masehi, yang menuliskan, "kaum perempuannya berhubungan bebas dengan kaum lelaki”. Dia juga menulis pengamatannya atas penduduk Sumoltra (diduga mengacu pada penduduk suatu daerah di Sumatera, atau mungkin penduduk Kerajaan Samudra-Pasai di Aceh), "yang penduduknya biasanya bertato, termasuk perempuan.”

Analisis mendalam tentang situasi hubungan antara perempuan dan laki-laki, serta kebiasaan seksual di Nusantara pada masa itu, dilakukan Anthony Reid. Dia melihat, di masa itu ada sistem nilai yang mendudukkan kaum perempuan sebagai pihak yang memiliki otonomi dan peran ekonomi yang relatif tinggi. Kaum perempuan Nusantara memiliki fungsi yang tidak hanya domestik tapi juga memiliki fungsi sosial yang mencakup kerja menyemai dan menuai padi, menenun, dan berniaga di pasar.

Makin banyak memiliki anak gadis, makin kaya?

Di atas semua itu, kaum perempuan Nusantara dianggap oleh masyarakatnya memiliki kekuatan magis karena peran reproduktifnya. Faktor itulah, menurut Reid, yang membuat perempuan Asia Tenggara tidak pernah dipertanyakan nilainya, malah sebaliknya masyarakat Asia Tenggara menganut prinsip "semakin banyak seseorang memiliki anak gadis, semakin kayalah dia” seperti yang dicatat seorang penjelajah Portugis pada 1544.

Kepemilikan harta dalam keluarga dibagi antara suami dan istri secara rata. Termasuk dalam hal warisan, di mana semua anak—laki-laki dan perempuan—mempunyai hak yang sama. Dalam hak seksual, perempuan bisa secara otomatis melepaskan diri dari ikatan perkawinan tanpa persetujuan siapa pun, jika suaminya pergi antara sepuluh hari sampai satu tahun.

Nilai-nilai seperti itu bertolak belakang dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat Eropa, Timur Tengah, India, dan Cina. Padahal kita ketahui di masa itu pengaruh Hindu dan Buddha sedang sangat kuat. Fakta itu, menurut saya, menunjukkan adanya pengabaian secara sengaja yang dilakukan masyarakat Nusantara terhadap standar nilai dan aturan agama yang mereka anut dalam hal relasi antara perempuan dan laki-laki.

Otonomi kaum perempuan Asia Tenggara, seperti dicatat Reid, sangat kentara dalam hubungan seksual. Dalam karya-karya sastra saat itu, adalah kewajaran jika perempuan digambarkan leluasa melihat lelaki sebagai objek seksual, tidak selalu sebaliknya.

Laki-laki maupun perempuan saat itu setara dalam hubungan seksual

Apa yang ditulis dalam karya-karya sastra, tampaknya juga jadi gambaran kenyataan di masa itu, di mana hubungan seksual adalah sesuatu yang dianggap sangat wajar sebagai kebutuhan perempuan dan laki-laki, bahkan jika dilakukan sebelum pernikahan. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan, saat itu sama-sama memiliki otonomi untuk menentukan kapan dan bersama siapa mereka mau berhubungan seksual.

Keperawanan kaum perempuan Nusantara di masa itu sama sekali bukan persoalan bagi kaum lelakinya. Bahkan lelaki Asia Tenggara masa itu cenderung tidak mau menikahi perempuan yang masih perawan. Dalam berbagai catatan, yang tersebar dari wilayah Siam (Thailand), Jawa, sampai Filipina, ada ritual-ritual yang dilakukan para gadis untuk "memecah keperawanan” mereka. Menurut Reid, praktik seperti itu mungkin terjadi karena darah yang keluar dari persetubuhan pertama dianggap berbahaya oleh kaum lelaki, atau mungkin juga semata karena kaum lelaki hanya ingin menikahi perempuan yang berpengalaman secara seksual.

Gambaran paling ekstrem dari dominasi seksual kaum perempuan saat itu adalah tradisi kaum lelaki yang memasukkan bola-bola kecil ke bawah kulit penisnya. Proses memasukkan bola-bola kecil itu luar biasa menyakitkan, dan tujuannya hanya satu: meningkatkan kenikmatan erotis pada kaum perempuan.

Tradisi memasukkan bola-bola kecil ke dalam kulit penis itu benar-benar merata di seluruh kawasan Asia Tenggara saat itu, dan dilakukan oleh lelaki dari kalangan bawah sampai para raja sekali pun. Lelaki kebanyakan, biasanya menggunakan bola-bola yang terbuat dari timah, sedangkan para raja biasanya menggunakan bola-bola yang terbuat dari emas.

Di dalam catatan Pigafetta, orang Eropa yang mencatat praktik bola-bola pada penis di tahun 1524—seperti dikutip Reid—diketahui, perempuan Asia Tenggara bahkan tidak mau melakukan hubungan seksual jika pasangannya tidak memasang bola-bola kecil di penisnya. Dan jika seorang lelaki menginginkan hubungan seksual, maka sang perempuan yang akan berinisiatif memasukkan penis ke vaginanya, dan memastikan penis itu tidak keluar sebelum perempuan itu mendapatkan kepuasan.

Dengan dominasi hubungan seksual berada di tangan perempuan, sulit untuk membayangkan di masa itu banyak kasus perkosaan oleh laki-laki terhadap perempuan. Karena dari pemaparan di atas, terlihat justru kaum lelaki yang mau mengorbankan dirinya demi kenikmatan erotis perempuan, bukan sebaliknya.

Otonomi kaum perempuan Asia Tenggara dalam urusan seksual, ternyata juga berkaitan dengan sangat rendahnya tingkat pelacuran di kawasan itu. Daripada melacur, kaum lelaki yang belum mau menikah lebih suka menjalin hubungan dengan perempuan lajang, karena kaum perempuan lanjang di Nusantara saat itu dikenal sangat longgar dalam hubungan seksual, namun sangat ketat dalam menjaga kesetiaan setelah mereka menikah.

Jika kemudian urusan seksual dianggap bisa menimbulkan nilai ekonomi, maka praktik yang dilakukan adalah melalui pergundikan dan/atau "kawin kontrak”. Dalam pergundikan dan "kawin kontrak”, ketika masa kontraknya selesai, lelaki dan perempuan itu akan berpisah sebagai sahabat. Kalau sampai terlahir anak, nasib anak itu akan jadi urusan mereka berdua: apakah dipelihara, digugurkan, atau dibunuh ketika lahir.

Urusan keperawanan, pergundikan, dan anak yang lahir dari hubungan di luar nikah, di tengah masyarakat Nusantara, bertolak belakang dengan nilai yang diyakini orang Timur Tengah, Eropa, India, dan Cina. Misalnya, dalam berbagai catatan sejarah, banyak ditemukan pedagang asal Timur Tengah dan Eropa yang memiliki budak perempuan, dan melakukan hubungan seksual dengan mereka. Jika terjadi kehamilan, biasanya anak yang terlahir akan jadi hak lelaki—di mana hanya lelaki yang memutuskan nasib anak yang lahir itu—sedangkan sang perempuan bisa dijual kembali sebagai budak jika si lelaki merasa bosan atau tidak membutuhkannya lagi.

Kembali ke masalah pelacuran, menurut Reid, masyarakat Asia Tenggara secara umum baru mengenal pelacuran di akhir abad 16, ketika perniagaan dengan pedagang-pedagang internasional meningkat tajam, dan agama-agama baru mulai masuk ke Nusantara. Saat itu, semua yang dijadikan pelacur adalah budak-budak perempuan milik raja dan kalangan bangsawan, juga perempuan-perempuan yang didakwa karena kejahatan.

Pelacuran muncul setidaknya karena dua alasan. Pertama, demi keuntungan ekonomi para raja, bangsawan, dan pedagang. Kedua, adanya tekanan dari kaum agamawan Islam dan Kristen untuk menghapus perilaku seks di luar nikah—yang sebenarnya adalah salah satu wujud dari otonomi seksual perempuan Asia Tenggara yang sudah ada sejak lama.

Hilangnya dominasi dan otonomi seksual perempuan

Dua alasan itu mengarah pada satu fakta lain: pedagang/pelaut internasional, raja, bangsawan maupun agamawan adalah identitas kaum lelaki, sehingga bisa dilihat di masa itu pola hubungan seksual di Nusantara mulai mengarah pada dominasi seksual laki-laki, dan hilangnya dominasi dan otonomi seksual perempuan.

Pelacuran kira-kira lahir dari situasi ini: meningkatnya perniagaan internasional masa itu, melahirkan kota-kota kosmopolitan yang jadi persinggahan para pedagang dan pelaut. Para pedagang—bersama para raja dan bangsawan—kemudian melihat potensi ekonomi yang besar untuk memperdagangkan budak perempuan sebagai pemuas kebutuhan seks bagi para pedagang dan pelaut internasional, yang berujung pada bisnis pelacuran. Namun, di saat yang sama, juga terjadi peningkatan "kesalehan” baik di kaum pribumi maupun di antara para pedagang internasional, sebagai hasil dari penyebaran Islam dan Kristen, yang mewujud dalam penegakan hukum agama secara keras.

Dalam tekanan kepentingan perniagaan dan agama itulah posisi sosial dan seksual perempuan Nusantara direndahkan melalui domestifikasi, dan hal itu seiring dengan munculnya wujud paling tragis dari pemusnahan dominasi dan otonomi seksual perempuan Nusantara: bisnis pelacuran.

Salah satu contoh kerasnya penegakkan hukum agama, tercantum di buku "Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII” karya Claude Guillot (Kepustakaan Popuper Gramedia, 2008). Dijelaskan, ada satu kasus di mana seorang pedagang Eropa yang tinggal bersama seorang perempuan pribumi dan memiliki anak dari hubungan itu, dipaksa meninggalkan perempuan tersebut. Tanpa persetujuan si lelaki, sang perempuan dikirim ke biara untuk dididik jadi seorang Kristen, lalu dikawinkan dengan lelaki lain yang didefinisikan sebagai "lelaki Inggris Katolik”. Sementara anak dari hubungan perempuan itu dengan lelaki sebelumnya dilaporkan mati karena cacar.

Contoh lainnya tertulis di buku Reid, di mana seorang bangsawan Melayu di Patani harus mencekik anak perempuannya sendiri, dan bangsawan lainnya harus menikam anak lelakinya sendiri, karena si anak perempuan yang telah bersuami itu menerima tanda cinta dari anak lelaki bangsawan lain.

Ketika hubungan lelaki dan perempuan serta hubungan seksual diatur sangat ketat dengan alasan agama, pelacuran jadi satu-satunya "jalan aman” untuk memenuhi hasrat seksual para pedagang dan pelaut. Karena mereka bisa melakukannya dengan sembunyi-sembunyi di sebuah tempat/kawasan khusus, dan secara langsung jadi bagian dari perputaran roda ekonomi di kawasan itu.

Sedangkan bagi orang Islam, kawin kontrak dan hubungan seksual luar nikah memang ditentang dengan keras sejak awal. Ketika agama ini menyebar, terlebih ketika sudah dianut para raja dan bangsawan di Nusantara, kaum perempuan mulai diposisikan tergantung secara ekonomi dan hukum pada suaminya, dan hal itu secara bertahap mengakhiri dominasi seksual perempuan Asia Tenggara terhadap kaum lelakinya. Hubungan seksual luar nikah pun dihukum dengan sangat berat—dengan pemberlakuan hukuman mati di beberapa kerajaan—yang pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk menghapus otonomi seksual perempuan.

Sebagai akibat dari hukum yang keras itu, menurut Reid, di Nusantara mulai banyak terjadi perkawinan anak-anak—yang tentunya dilakukan dengan paksaan kepada anak-anak itu—karena para orang tua khawatir anak-anak mereka akan terjerumus ke perilaku seks luar nikah dan bisa dihukum mati. Seperti telah disebutkan sebelumnya, perempuan Asia Tenggara sangat ketat dalam menjaga kesetiaan mereka terhadap suami, dan sejak masa pra-Islam pun hubungan seksual dengan perempuan bersuami selalu diancam hukuman mati. Karena itu, ketika perempuan dan laki-laki mulai banyak dikawinkan sejak usia anak-anak, hubungan seksual luar nikah dalam pola suka sama suka nyaris tidak mungkin dilakukan.

Di titik ini, agama-agama yang masuk ke Nusantara—baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu—saling berbagi kemenangan dalam menghancurkan posisi sosial, dominasi seksual, dan otonomi seksual perempuan Asia Tenggara. Namun di saat yang sama—persis seperti alasan para pedagang dan pelaut—pelacuran kemudian jadi jalan paling aman bagi lelaki Nusantara yang ingin melakukan hubungan seks tanpa menikah.

Dari situasi itulah, perempuan di Nusantara yang pernah memiliki posisi yang tinggi—dengan dominasi dan otonomi seksualnya—direndahkan posisinya, seiring dengan semakin kuatnya dominasi budaya yang datang dari luar Nusantara. Kita juga bisa melihat paradoks: meningkatnya kondisi ekonomi dan meningkatnya kesalehan penduduk di Nusantara, ternyata berkorelasi dengan munculnya bisnis pelacuran—yang bisa dilihat sebagai bentuk perkosaan secara sistematis oleh kaum laki-laki kepada kaum perempuan.

Zaky Yamani

Novelis dan jurnalis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.