1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perjuangan Membesarkan Anak Autis di Rantau

2 April 2021

Saat buah hati menyandang autis, ada satu hal yang penting didambakan orang tua, bagaimana anak itu bisa tumbuh mandiri nantinya. Apalagi jika mereka tinggal di rantau.

https://p.dw.com/p/3rWT7
Mira Harini dan putranya.
Mira Harini dan putranya yang menyandang autisFoto: privat

Terhenyak Mira Harini, warga Indonesia yang tinggal di Hannover, Jerman, ketika mendengar dokter menyatakan putranya, Daffa,- yang kala itu masih berusia dua tahun-, autis. Peristiwa itu terjadi sekitar satu dekade silam. Mira dan pasangan memeriksakan anaknya ke dokter karena bingung, putra mereka tidak kunjung bisa bicara lebih dari sepuluh kata.

Setelah dijelaskan dokter bahwa Daffa autis, Mira dan suaminya harus menunggu selama setengah tahun untuk mendapatkan layanan terapi autis bagi putra sulung mereka di kota mereka di Jerman. Tidak mau menunggu selama itu, Mira membawa anaknya ke Indonesia dulu untuk mendapatkan terapi yang lebih cepat. "Waktu itu anak baru satu dan namanya ibu, ingin cepat ditangani saat ini juga, jadi saya ke Indonesia kalau di Indonesia, bawa ke Tumbuh Kembang dan di sana terapi intensif selama dua bulan, lima hari dalam sepekan Daffa terapi, misalnya terapi sensori integrasi.”

Setelah dua bulan ia membawa kembali anaknya pulang ke Jerman untuk melanjutkan terapi. Sebagaimana di Indonesia, Daffa juga diberikan terapi sensori integrasi di Jerman.

"Jadi untuk merangsang sensor-sensor yang terlambat dalam perkembangannya, maka dirangsang dengan cara menyentuh barang-barang dengan berbagai permukaan, misalnya pasir, batu-batu itu, biji-bijian, permukaan yang halus, permukaan yang kasar, itu semua dirangsang. Dengan bola yang untuk orang hamil, itu yang bola besar, dia disuruh memeluk bola, disuruh main trampolin dengan instruksi-instruksi terapi fisik ya, terapi ergo, kemudian terapi bermain juga,” demikian Mira menceritakan proses-proses awal ketika Daffa beranjak balita di Jerman.

Mira mendapatkan bantuan dari pemerintah Kota Hannover untuk terapi anaknya. "Ada orang dari pemerintah kota datang ke rumah, kemudian ada terapi bicara, banyak diajak main, bermain dengan banyak bicara,” tuturnya. Terapi-terapi tersebut disesuaikan dengan perkembangan usianya. "Jadi ada parameternya, kalau misalnya umur berapa, kata-katanya harus berapa, keterampilan apa yang harus dikuasai," tutur ibu tiga anak ini.

Belajar interaksi dan sekolah

Diketahui dari berbagai riset, penyandang autisme menunjukkan lebih rendahnya aktivitas di area otak yang bertanggung jawab terhadap pengolahan perasaan dan bahasa atau pengingatan kembali wajah. Namun, aktivitas yang lebih kuat terlihat pada area pengolahan objek dan identifikasi detail sebuah sistem.

Anak autis kerap disebut 'profesor cilik'. Mereka dapat melafalkan fakta-fakta mengenai subjek favorit secara cepat lengkap dengan semangat yang menggebu-gebu. Dalam sebuah laporan  DW, yang pernah diterbitkan DW,  Dr. Fred Volkmar, direktur Pusat Studi Anak-anak di Universitas Yale melihat beragam minat khusus yang ditunjukkan para pasiennya. Minat khusus itu yang kadang mengganggu kemampuan mereka untuk belajar hal lain dan bersosialisasi, kata Volkmar.

Ketika Daffa mulai beranjak sekolah, terapinya  ditambah dengan yang berkaitan pendidikan, misalnya memegang pensil atau duduk agak lama. Tidak ketinggalan ia juga disertakan ikut terapi dalam satu grup, yang membantu anak-anak di grup tersebut untuk saling berinteraksi, misalnya  apa yang harus dilakukan jika teman minta tolong, bagaimana merespons orang yang memanggil, atau bagaimana harus bersikap ketika orang melakukan sesuatu terhadap mereka. Daffa bersekolah di sekolah umum. Pemerintah kota menyediakan guru bayangan untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah. 

Mira menceritakan Daffa dan teman-teman di grup terapi autis mereka juga dilatih untuk tidak marah, untuk tidak  mudah tersinggung, dan mampu menjelaskan kondisi mereka sendiri ke orang lain: "Jadi kalau misalnya ada yang bilang: Kok kamu aneh? Maka mereka dengan bangga akan bilang, mohon maaf memang saya punya autis. Jadi beginilah saya."

Mira merasa bersyukur selama mendampingi putranya yang autis di Jerman, ia tidak perlu mengeluarkan uang tambahan. "Alhamdulillah, dari umur dua tahun sampai sekarang kami tidak mengeluarkan uang untuk terapi-terapi itu."

Pengalaman punya anak autis di tanah air

Sementara itu di Indonesia, seorang ibu muda lainnya, Stania menceritakan gejala awal yang dialami oleh putranya tak jauh berbeda dengan yang dialami Daffa pada awalnya. "Dulu dibilang sebagai asperger, pada saat diagnosa dokter pediatrik syaraf bulan Desember 2020. Ciri-ciri paling kuat adalah dia terlambat bicara sejak usia setahun, di mana seharusnya anak seusia dia sudah bisa mengucapkan lebih dari 100 kosa kata. Sebelum divonis  Autism Syndrome Disease (ASD) ringan, anak saya tidak menoleh saat dipanggil, minim kontak mata dan susah fokus. Setahun sebelumnya dia didiagnosa GDD (Global Developmental Delay).

Di Jakarta, putra Stania juga menjalani terapi sensori integrasi dan terapi wicara. "Biaya yang rutin saya keluarkan sekitar Rp 2,5 juta per bulan untuk  terapi, sedangkan konsultasi dokter 500-750 ribu rupiah per bulan. Belum lagi ada biaya multivitamin dan obat konsentrasi."  Perlahan-lahan setelah menjalani berbagai terapi, kemampuan interaksi putranya mengalami peningkatan.

Jika Daffa kini beranjak dewasa, putra Stania masih balita. "Harus sabar, perjalanannya masih panjang bagi putra Stania. Namun akan kelihatan kemajuannya," ujar ibu Daffa, Mira Harini. "Yang terpenting bagaimana supaya anak itu bisa tumbuh mandiri," tambahnya.

Tumbuh mandiri

Kemandirian dan kepercayaan diri anak itu hal yang harus diajarkan pada anak tersebut, ujar Zahra Khairun Nissa, seorang terapi anak-anak autis. "Namun, mengajarkan kemandirian dan meningkatkan kepercayaan diri anak bukan merupakan hal yang mudah, terutama pada anak-anak berkebutuhan khusus dengan gangguan autis. Terutama di Indonesia sendiri masih banyak yang belum mengenal lebih lanjut tentang autisme itu sendiri. Biasanya untuk melatih anak bisa mandiri dan percaya diri dengan lingkungan kita biasa mengajarkan untuk sosialisasi dan mengajak anak untuk berinteraksi dengan orang lain," paparnya lebih lanjut. "Seperti harus mulai untuk antre sendiri saat membeli sesuatu (tetap dengan pendampingan dengan jarak), mulai diajak untuk menggunakan transportasi umum."

Berkat terapi yang dijalaninya, kini Daffa sudah bisa mandiri. Ia belajar untuk siap hidup mandiri di kehidupan yang nyata. Bahkan membantu ibunya yang berjualan makanan online. "Jadi bisa mandi sendiri, masak sendiri, diajarkan mandiri, buat sushi sendiri, bahkan buat adik-adiknya juga Daffa bisa bantu. Alhamdulillah sudah bisa dimintakan tolong menjaga adiknya di taman bermain," pungkas Mira bangga.