1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Radikalisme Menjalar di Kampus-kampus

28 Mei 2018

Universitas Indonesia (UI) berjanji akan menindak tegas mahasiswa yang terbukti masuk dalam organisasi radikal. Langkah ini jadi bagian respon terhadap laporan adanya penyusupan radikalisme di kampus.

https://p.dw.com/p/2yRHz
Universität Indonesia
Foto: picture-alliance/AP Photo/I. Fedriansyah

Direktur Komunikasi Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Purwanto menegaskan semua elemen bangsa harus terlibat secara penuh terhadap aksi-aksi terorisme, termasuk pihak universitas: "Pemerintah tidak mampu bekerja sendiri. Berbagai elemen harus saling berupaya, terutama kalangan perguruan tinggi," tegasnya dikutip dari Republika. 

Menanggapi maraknya laporan penyusupan radikalisme di kampus-kampus, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Informasi Publik UI Rifelly Dewi Astuti, menyebutkan Univesitas Indonesia telah berupaya mencegah masuknya radikalisme ke dalam kampus, demikian dikutip dari Tempo. UI telah melakukan pencegahan sejak masa penerimaan mahasiswa baru. UI dan melakukan pengawasan ketat dalam memberi izin kegiatan mahasiswa. Jika terbukti mahasiswa itu masuk organisasi radikal, maka akan ditindak tegas, "Sanksinya bervariasi, mulai dari teguran keras, skors, sampai dikeluarkan sebagai sivitas UI," ujarnya, seperti dikutip dari Tempo.

Penjelasan itu bertolak belakang dengan pernyataan rektor UI sebelumnya. Dilansir dari CNNIndonesia, dua pekan lalu Rektor Universitas Indonesia Muhammad Anis masih meyakini mahasiswanya sudah cukup dewasa dan memiliki kemampuan logis dalam menentukan mana ajaran yang baik dan buruk."Kita percaya, mahasiswa sudah dewasa. Tak perlu diawasi. Tak perlu," 

Ada banyak faktor

Menurut analisa analis keamanan di Irak, Alto Labetubun,  ada beberapa komponen yang menciptakan terjadinya radikalisme di kampus. kepada Deutsche Welle (DW) ia memaparkan: "Pertama adalah faktor alumni. Para dosen/pengajar yang berafiliasi dengan gerakan dan/atau organisasi berbasis ideologi tertentu kemudian bertemu di kampus dan menciptakan ‘safe havens' uituk menjaga dan menyebarkan ideologi mereka. Yang kedua adalah faktor organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan ideologi tertentu. Mereka memanfaatkan atau mengeksploitasi ‘kebebasan di perguruan tinggi' sebagai kesempatan untuk berkembang dan mengembangkan jaringannya."

Sementara yang ketiga, menurutnya adalah faktor penetrasi partai politik berbasis ideologi agamis ke dalam kegiatan kampus: "PKS misalnya punya kegiatan-kegiatan yang menyasar mahasiswa untuk bergabung sebagai kader mereka." Dijelaskan Labetubun, kombinasi ketiga unsur dimaksud memupuk hadirnya radikalisme di kampus: "Mahasiswa yang punya pemahaman radikal, akan bersentuhan dengan dosen yang pernah menjadi mahasiswa dan punya ideologi radikal dan kemudian di'empower' oleh partai politik yang mengkampanyekan ide radikal, maka itu menciptakan ‘safe havens' radikalisme di kampus."

Miskonsepsi tentang orang menjadi radikal

Dikutip dari CNNIndonesia, sebelumnya Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) mensinyalir universitas-universitas negeri di Jawa dan Sulawesi terpapar radikalisme yang berbasis agama. Direktur Pencegahan BNPT Hamli menyebutkan universitas-univesitas itu di antaranya: Universitas Indonesia (UI) Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Brawijaya.

Menurut analis keamanan di Irak, Alto Labetubun kepada DW, ada miskonsepsi tentang kenapa latar belakang orang menjadi radikal. Ada yang beranggapan bahwa hanya orang-orang berpendidikan rendah dan kurang mapan secara ekonomi saja yang berpeluang terpapar radikalisme. Tetapi, pengalaman di lapangan, misalnya - Irak - menunjukkan bahwa orang-orang dengan pendidikan tinggi seperti dokter, insinyur pun rentan terhadap radikalisme, bahkan terorisme: "Secara psikologis, hal ini disebabkan karena ada 'void' dalam pencarian identitas diri dan ketiadaan 'moral compass'.Orang-orang yang secara akademik pintar ini merasa bahwa kepintaran mereka itu tidak memberi hasil yang optimal dan mereka tidak berkontribusi pada sebuah perubahan dalam sistem dimana mereka sekarang berada dan dalam konteks Indonesia, sistem tersebut adalah NKRI."

Sejak pascareformasi

BNPT baru menyadari bahwa paham radikalisme menyusup ke dalam kampus ketika ada perubahan pola pelaku terorisme tahun 2016. Dalang bom Sarinah pada tahun 2016, Bahrun Naim, adalah lulusan program diploma 3 jurusan ilmu komputer Universitas 11 Maret, Solo, Jawa Tengah, demikian dikutip dari tempo.

Namun menurut  riset dan tim media Jaringan Nasional Gusdurian Indonesia, Kalis Mardiasih, bibit radikalisme di kampus itu sudah ada sejak pasca reformasi karena banyak organisasi Islam transnasional yang masuk ke kampus-kampus: "Pengajian banyak dilakukan di masjid-masjid kampus  di mana kampus seharusnya memiliki otoritas namun malah tidak mengawasi hal itu."

Dilansir dari Tempo, laporan BNPT tersebut mirip dengan survei yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara yang dipublikasikan pada April lalu. Menurut laporan itu, dari 20 perguruan tinggi yang disurvei di 15 provinsi sepanjang tahun 2017, 39 persen mahasiswanya anti demokrasi dan tidak setuju Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

ap/vlz (tempo/cnnindonesia)