1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Revolusi Industri 4.0 dan Mantra Gaib Elektabilitas

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
18 Februari 2019

Politisi adalah para penggandrung ilmu gaib. Apakah saya mengatakannya secara harfiah? Tentu saja, kata kritikus Geger Riyanto. Mengapa demikian? Simak opininya.

https://p.dw.com/p/3DZy0
Symbolbild Industrie 4.0
Foto: picture-alliance/dpa/O. Spata

Kurang gandrung apa lagi kalau kenyataannya kita akan segera memiliki hukum positif yang mengatur santet?

Para pejabat DPR kita yang terpelajar itu menyetujui pasal tentang santet dimasukkan ke Rancangan KUHP pada 2016 silam, dan sesegera RKUHP disahkan, kita akan menjadi saksi dagelan orang saling melapor karena merasa ditenung?

Namun, kegandrungan politisi dengan ilmu gaib bukan cuma berarti mereka percaya, terobsesi, mudah ditakut-takuti dengan kekuatan supranatural. Mereka juga menggandrungi secara menggebu-gebu semua istilah yang seketika diucapkan dapat secara gaib membius pendengarnya. Seolah-olah, ketika istilah ini diucapkan, perubahan dramatis akan terjadi. Negara akan sekonyong-konyong menjadi lebih maju karenanya.

Penulis: Geger Riyanto
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Sebut saja revolusi industri 4.0.

Hari-hari ini, instansi-instansi hiruk pikuk dengan istilah revolusi industri 4.0. Satu kaki kita, katanya, sudah menapak ke era di mana evolusi robot tak bisa dihalau lagi. Fungsinya akan berkembang jauh lebih kompleks dari sebelumnya.

Pekerjaan-pekerjaan manusia bakal digantikan olehnya. Pilihan kita, karenanya, hanyalah menyiapkan diri baik-baik atau digantikan robot. Memastikan diri tetap relevan atau tersingkir.

Dan karena telah menyiapkan kerangka dasar yang bernama Making Indonesia 4.0, pejabat-pejabat Indonesia yakin, momentum ada di tangan Indonesia. Revolusi industri 4.0 justru akan kian memajukan Indonesia.

Namun, saya menyarankan Anda membaca dokumen kebanggaan para pejabat tersebut. Pertama-tama, dokumen tersebut tidak ada bedanya dengan strategi industrialisasi nasional kapan pun, di mana pun tanpa perlu embel-embel 4.0, 5.0 atau 13.0. Pemberdayaan UMKM? Membangun infrastruktur digital? Pengembangan inovasi nasional? Menarik investasi asing?

Rezim Indonesia terakhir yang tak mengusahakan semua hal barusan, rasanya, ialah Demokrasi Terpimpin Sukarno.

Hanya saja, memang, dengan imbuhan "4.0”—yang dilafalkan dalam pidato-pidato forum CEO, tentu saja, dengan keminggris mentereng—para pendengar akan terkesima dibanding mendengar "strategi industrialisasi nasional.” Istilah kedua menjemukan. Istilah pertama? Edgy, menawan dan kontan membersitkan citra-citra futuristis film Hollywood.

Kepandiran semacam ini bukan fenomena baru

Bukan tanpa alasan politik dan teknologi merupakan dua sejoli yang acap tak terpisahkan. Ketika pesawat N250, yang dibangun di Indonesia dengan melalap uang yang tak terkira jumlahnya, lepas landas, bukan Suharto saja yang berlinangan air mata. Taufik Kiemas, waktu itu merupakan salah seorang oposisi yang paling vokal, turut terharu. Ali Sadikin serta tokoh-tokoh Petisi 50, oposisi yang dendamnya sampai ke ubun-ubun dengan Orde Baru, merasa pembangunan Indonesia berada di arah yang benar.

Kemampuan Indonesia membangun teknologi yang ruwet dan canggih, di kepala banyak orang, menjadi isyarat Indonesia tengah melangkah ke masa depan dengan kepala tegap, tak peduli teknologi tersebut masih merupakan janji-janji atau diadakan dengan akrobat politik yang spektakuler.

Ada satu lelucon yang patut Anda dengar di sini, saya rasa. Mobil, mobil apa yang datangnya cuma setiap lima tahun sekali? Mobil para anggota dewan yang ingin dipilih lagi? Mobil para caleg? Salah. Jawabannya, mobil esemka.

Kalau Anda tidak langsung menangkap arti candaan ini, penjelasannya, mobil esemka merupakan hasil kreasi siswa di SMKN 2 Surakarta. Nama mobil ini melambung ketika Jokowi berniat menggunakannya sebagai kendaraan dinas dan mendorong produksi massalnya. Dan jika Anda ingat, bukan hanya mobil ini yang namanya terkerek pada hari-hari itu. Nama Jokowi juga membumbung sebagai politisi yang peduli dengan hasil karya anak bangsa.

Dan kiprah mobil esemka, biasanya, surut selepas pemilihan dan baru akan kembali terdengar ketika pemilihan umum selanjutnya mendekat. Jokowi, pada hari-hari semacam itu, pastinya, membutuhkan semua citra baik yang bisa diraihnya. Dan kurang baik apa citra sebagai sosok yang akan membangkitkan denyut industri strategis Tanah Air yang dapat dipantik mobil esemka?

Teknologi, hasil dari kerja akal yang berbelit-belit dan rumit, di mulut para politisi menjadi mantra-mantra gaib. Dampaknya ialah memudahkan elektabilitas bukan memudahkan kehidupan. Anda, karenanya, tak perlu ikut terlalu heboh dengan hiruk pikuk Revolusi Industri 4.0 yang mereka cetuskan.

Skeptisme selalu adalah pilihan paling bijak ketika berhadapan dengan mereka.

Penulis:

@gegerriy

Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.