1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sarkozy Bantah Donasi Ilegal bagi Kampanyenya

13 Juli 2010

Dalam sebuah wawancara televisi, menyangkut tuduhan donasi ilegal, Sarkozy tidak banyak memberikan jawaban langsung, dan lebih banyak memapar pandangan-pandangannya.

https://p.dw.com/p/OIGy
Presiden Prancis Nicolas SarkozyFoto: AP

Wawancara berlangsung di bawah langit terbuka, dengan matahari cerah di teras yang menghadap taman Istana Elysee. Ini bukanlah wawancara investigatif. Ini wawancara eksklusif saluran televisi umum Prancis France 2. Pewawancaranya, David Pujadas, juga dianggap condong pada garis Sarkozy. Dari sekitar satu jam wawancara, tak sampai lima menit digunakan untuk membahas skandal donasi ilegal orang terkaya Prancis Lilianne Betancourt terhadap kampanye kepresidenan Sarkozy beberapa waktu lalu, serta dugaan penggelapan pajaknya yang melibatkan Menteri Perburuhan Eric Wuerth.

Presiden Sarkozy menyatakan, menterinya yang sedang dirundung masalah itu merupakan korban dari suatu konspirasi politik yang busuk, "Eric Wuerth adalah seorang yang sangat jujur. Ia seorang yang sangat kompeten, dan saya percayai sepenuhnya. Namun selama tiga pekan ini ia menjadi korban dari fitnah dan dusta."

Sarkozy menegaskan, tidak ada alasan untuk memberhentikan Eric Wuerth sebagai menteri perburuhan. Betapapun, katanya, ia menyarankan pada sang menteri untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bendahara partainya, UMP, agar bisa mengarahkan perhatian sepenuhnya pada program reformasi sistem pensiun yang merupakan salah satu program utama pemerintahannya.

Program Reformasi Pensiun itu akan memperpanjang usia kerja dari 60 tahun menjadi 62 tahun. Kabinet Prancis menyepakatinya hari Selasa ini (13/07). Namun kaum kiri dan sebagian besar serikat buruh Prancis keras menentang. Dalam pandangan Sarkozy, kasus donasi ilegal itu merupakan upaya penuh kepentingan dari lawan-lawan politiknya.

"Kalau Anda melancarkan reformasi, maka Anda menyerang kaum yang diuntungkan oleh keadaan lama, kaum berkepentingan. Maka reaksi yang muncul, seringkali adalah fitnah," dikatakan Sarkozy.

Deutschland Liliane Bettencourt L'oreal
Liliane Bettencourt, perempuan terkaya Prancis, ketika mengunjungi satu pameran di Jerman (Juni 2004)Foto: picture-alliance/ dpa/dpaweb

Skandal terbaru yang menerjang Sarkozy diungkap pertama kali oleh sebuah media online Prancis, Mediapart. Laporan itu memapar kesaksian Claire Thibault, bekas kepala keuangan pewaris raksasa industri parfum Prancis Lilianne Betencourt yang berusia 88 tahun, bahwa pada tahun 2007, majikannya memberikan sumbangan dana kampanye sebesar 150 ribu Euro melalui Eric Wuerth yang waktu itu menjabat sebagai manajer keuangan kampanye kepresidenan Sarkozy . Padahal dalam perundangan Prancis, sumbangan kampanye dibatasi paling banyak 5000 Euro untuk individual, dan 9000 euro untuk partai politik. Sementara sumbangan dana dalam bentuk uang tunai dibatasi paling banyak 150 euro.

Disebutkan pula, Sarkozy sendiri, tatkala masih menjabat sebagai walikota Neuilly-sur-Seine, sebuah kota kecil tak jauh dari Paris, sering menerima pula dana tunai dari Bettencourt, perempuan terkaya Prancis itu. Dalam wawancara hari Senin malam (12/07), Sarkozy membantah tegas. "Saya digambarkan, selama 20 tahun sering datang makan malam di kediaman Ibu Bettencourt, untuk kemudian pulangnya mengantungi amplop berisi uang. Tuduhan yang memalukan."

Selebihnya, dalam wawancara itu Sarkozy tidak banyak memberikan jawaban langsung, dan lebih banyak memapar pandangan-pandangannya. Tak heran kalau para politikus kiri, juga pengamat media mengecamnya sebagai monolog presiden, bukan wawancara. Ketua fraksi sosialis di parlemen, Jean.Marc Ayrault nyinyir menyebut, wawancara televisi itu diarahkan untuk mengaburkan skandal Sarkozy, dan bukan mempertanyakannya.

Sementara pemimpin redaksi Mediapart yang membongkar skandal donasi kampanye Sarkozy mempertanyakan televisi umum Prancis France 2 yang seakan sekadar menjadi televisi kepresidenan dalam wawancara itu.

"Wawancara itu tak lebih dari sekadar sandiwara, yang mestinya mengguncangkan seluruh kaum demokrat. Ini presiden yang sudah mengendalikan kepolisian dan kejaksaan, dan menggunakan media publik untuk melayani kepentingan pribadi dia. Dan sekarang, bagaimana pula ia bisa merancang sebuah wawancara berdasarkan pesanan dia?"

Ducherow/Ging Ginanjar

Editor: Hendra Psuhuk