1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Segel GKI Yasmin dan Kebijakan yang Rawan Segregasi

18 Juni 2021

Pakar hukum tata negara menilai solusi GKI Yasmi saat ini berbahaya karena rawan menimbulkan kebijakan "segregasi" atau pemisahan satu golongan dari golongan lainnya berdasarkan kriteria tertentu.

https://p.dw.com/p/3v64i
Ilustrasi toleransi beragama
Ilustrasi toleransi beragamaFoto: picture-alliance/AP

Rumput ilalang tumbuh tinggi. Semak belukar memenuhi bangunan dengan tiga jendela yang tanpa kaca. Beberapa dindingnya reyot dan dipenuhi lumut. Kerangka bangunan dari bambu itu terekspos cuaca. Di sana, tertempel spanduk segel yang menjuntai layu.

Kondisi itu digambarkan oleh pengurus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, Bona Sigalingging, ketika DW Indonesia menghubunginya. Pembangunan GKI Yasmin menemui jalan buntu. Sejak belasan tahun lalu, gereja ini disegel Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Alasannya: penolakan dari kelompok tertentu mengenai keberadaan gereja. Sejak saat itu, sekitar 500 jemaat gereja tidak bisa beribadat.

"Sejak gereja disegel kami ibadah dua minggu sekali di depan istana atau di rumah," ujar Bona Sigalingging. "Kami akan menanti sampai kapan pun. Kami menolak direlokasi sampai gereja kami dibuka segelnya dan kami bisa beribadat lagi."

Putusan MA versus SK Wali Kota Bogor

Gereja yang disegel itu berada di Jalan KH Abdullah Bin Nuh Kav. 31 Taman Yasmin, Kelurahan Curug Mekar, Bogor, dengan luas 1.400 meter persegi. Menurut Bona, lokasi ini sudah merupakan hasil beberapa kali relokasi. Lokasi tanah sebelumnya yang merupakan tanah fasilitas sosial (fasos) untuk gereja, ternyata sudah dibangun masjid.

"Tanah ini pun sudah bukan lagi tanah fasos melainkan tanah privat yang dibeli. Lalu mengapa setelah gereja GKI memiliki IMB sah di tanah hasil relokasi, justru diperlakukan diskriminatif seperti ini, kami malah justru diharuskan untuk kembali direlokasi?" kata Bona.

Sebelumnya, masalah sengketa tersebut sudah diselesaikan melalui jalur hukum. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) memenangkan pihak GKI Yasmin. Bahkan, Mahkamah Agung (MA) juga menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Pemkot Bogor dan menyatakan bahwa IMB milik GKI Yasmin sah, melalui keputusan Nomor 127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010.

Namun alih-alih mematuhi putusan MA, Wali Kota Bogor saat itu, Diani Budiarto, justru mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin pada 11 Maret 2011. Alasan Diani tidak mau mematuhi putusan MA yakni karena adanya dugaan pemalsuan tanda tangan terkait permohonan IMB.

Merespons hal tersebut, Ombudsman RI mengeluarkan rekomendasi dengan nomor 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 pada 8 Juli 2011, yang juga menyatakan sahnya IMB GKI Yasmin.

Kini, Pemkot Bogor kembali memberikan tawaran hibah dan lahan untuk pembangunan rumah ibadah baru untuk jemaat GKI Yasmin pada Minggu (13/06), sebagai solusi penyegelan GKI Yasmin yang telah berlangsung belasan tahun. Lokasi tanah hibah yang baru untuk membangun GKI Yasmin terletak di Jl. KH Abdullah Bin Nuh RT 4 RW 12 Kelurahan Cilendek Barat, hanya sekitar 1 km dari lokasi sebelumnya.

Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan lokasi baru tersebut diputuskan berdasarkan kesepakatan dengan tim 7, yang terdiri dari Pemkot Bogor dan beberapa pengurus GKI Sinode di wilayah barat yang menjadi induk GKI Yasmin.

"Membangun gereja di lokasi yang lama belum memungkinkan karena faktor sosial dan teknis di sana seperti lokasinya tidak luas, semakin padat, akses trafik dan lain sebagainya serta ada faktor sosial di situ," jelas Bima dalam sebuah rilis.

Kebijakan yang rawan segregasi

Kasus GKI Yasmin sendiri telah membuat Bogor dicap sebagai kota paling intoleran dari 94 kota di Indonesia dalam riset Indeks Kota Toleran 2015 keluaran Setara Institute, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia.

Pakar Hukum Tata Negara Indonesia, Bivitri Susanti, mengatakan pada prinsipnya putusan pengadilan wajib ditaati semua pihak, terutama pemerintah. Karena jika tidak, justru pemerintah memberikan contoh yang sangat buruk bagi warga pada umumnya, yang nantinya seolah mendapatkan justifikasi untuk tidak melaksanakan putusan pengadilan. 

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti
Pakar hukum tata negara Bivitri SusantiFoto: privat

"Upaya yang dilakukan Bima Arya bukan solusi dalam kerangka pikir hak konstitusional, tapi jalan keluar yang paradigmanya 'harmoni' sekadar untuk bisa hidup berdampingan," ujar Bivitri kepada DW Indonesia.

Solusi model ini, ujar dia, sangat berbahaya karena bisa menimbulkan kebijakan "segregasi" yakni pemisahan kehidupan satu golongan dari golongan lainnya berdasarkan kriteria tertentu. Segregasi paling mengemuka pada abad 20 terjadi di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat yakni pemisahan berbagai fasilitas bagi warga kulit hitam dan kulit putih.

"Kalau model ini terus yang ditawarkan sebagai solusi, lama-lama akan ada politik keagamaan seperti di AS soal kulit hitam dan putih, separate but equal, padahal kalau sudah dipisahkan, sudah ada ketidaksetaraan. Jangan-jangan lama-kelamaan nanti ada satu kampung muslim semua, lalu satu kampung kristen semua. Ini bahaya buat Indonesia dan inkonstitusional," kata Bivitri.

Jadi, ia menilai Pemkot Bogor harus melaksanakan Putusan MA, bukan memberi jalan keluar yang kelihatannya 'win-win solution'. Sementara dalam konteks dialog antara mayoritas-minoritas, sebenarnya biasanya tidak ada kesetaraan, jadi 'win-win' sebenarnya tidak berarti semua menang, tegas Bivitri.

Senada dengan Bivitri, Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, juga mendesak pemerintah untuk melaksanakan hukum konstitusi dan Bhinneka Tunggal Ika. Ia menegaskan bahwa yang harus tetap menjadi perhatian adalah persoalan ketidakpatuhan hukum dari seorang pejabat negara, bukannya malah soal "bersatu atau tidak bersatunya gereja," kata Bonar kepada DW Indonesia.

"Contoh buruk penyelesaian kasus intoleransi"

Bonar juga mendesak pemerintah untuk segera membuka segel yang sampai sekarang dipasang di GKI Yasmin dan mendesak Presiden Joko Widodo meninjau kepala daerah yang gagal mematuhi hukum. "Relokasi ini akan menjadi contoh buruk penyelesaian kasus intoleransi serta kepatuhan hukum dan konstitusi di Indonesia sebab cenderung meminggirkan siapa pun kelompok yang dianggap berbeda dan minoritas," kata Bonar dari Setara Institute.

Pengurus GKI Yasmin, Bona Sigalingging, menegaskan pihaknya akan tetap menolak tawaran pemerintah untuk merelokasi GKI Yasmin karena khawatir ini akan menjadi preseden buruk untuk penyelesaian kasus intoleransi di Indonesia dalam kaitan mendirikan rumah ibadah. 

"Sudah ada putusan MA saja begini, bagaimana dengan di daerah lainnya jika ingin mendirikan rumah ibadah saat mereka menemui masalah yang sama, maka kasus Yasmin akan dijadikan contoh penyelesaian dan ini akan sangat buruk. 'Kan kasihan misal masjid juga mau didirikan di pemukiman yang bukan mayoritas juga sulit," kata dia.

Bona menyesalkan keputusan Bima Arya yang justru takut dengan sejumlah kelompok intoleran. "Penolakan kelompok intoleran jangan sampai membuat sentimen negatif yang membuat umat agama lain tidak bisa beribadah. Sentimen seperti ini yang harus dicegah jangan sampai menyebar ke wilayah lain di Indonesia," sesal Bona.

Indonesia memang tengah dilanda masalah intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama. Menurut data Setara Institute, sepanjang tahun 2020 terjadi 180 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dengan 422 tindak kekerasan yang tersebar di 29 provinsi di Indonesia, menurun tipis jika dibandingkan tahun 2019 sebanyak 200 pelanggaran dan 327 tindak pelanggaran. Pelanggaran terbanyak terjadi di Provinsi Jawa Barat dengan 39 pelanggaran, Jawa Timur (23), Aceh (18) dan DKI Jakarta (13).

"Sekelompok orang mungkin boleh saja membenci kami, tidak suka dengan kehadiran gereja, tapi mereka tidak boleh kemudian menutup gereja dan melarang orang untuk beribadah," kata Bona.

Bona berharap pemerintah bisa melaksanakan solusi yang diberikan MA dan Ombudsman tentang keberadaan GKI Yasmin. "Satu-satunya yang kami inginkan adalah dibuka saja segelnya agar kami bisa beribadah di sana," tutur Bona penuh harap. (ae)

Kontributor DW, Tria Dianti
Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.