1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jual Aksesori, Seniman Reog Bertahan di Tengah Pandemi

Yovinus Guntur Wicaksono
13 Desember 2021

Sebelum pandemi, grup reog Singo Mangku Joyo di Surabaya bisa pentas 2-3 kali dalam sebulan. Namun 2 tahun belakangan ini mereka hanya gelar 5 pertunjukan. Cara lain pun dijalani untuk bertahan.

https://p.dw.com/p/44AEE
Andik tengah melayani pembeli di kios aksesori reog miliknya
Andik tengah melayani pembeli di kios aksesori reog miliknyaFoto: Yovinus Guntur/DW

Andik Iswanto, 35, dengan cekatan melayani Nurul Aini, pembeli topeng khas ganongan di Kios Reog Singo Mangku Joyo, Surabaya. Keduanya terlibat tawar-menawar harga, sebelum akhirnya ganongan tersebut laku terjual seharga Rp70 ribu, atau turun dari harga yang ditawarkan semula sebesar Rp80 ribu.

"Saya beli untuk cucu di Jember. Total sudah 3 aksesori yang kami dapat di kios ini," kata Nurul Aini yang sudah menjadi pelanggan di tokonya. 

Di kios ini, ragam pernak-pernik reog terpampang di setiap sudut. Mulai dari ganongan, pecut, sabuk, barongan, udeng, blangkon, hingga kaos bergambar reog. Satu-satunya barang yang tidak berkaitan dengan reog yang ada di toko itu adalah barongsai. Dari seluruh aksesori yang dijual, harga termahal mencapai satu juta rupiah dan termurah 30 ribu rupiah.

"Barongan dan ganongan harganya bisa mencapai satu juta. Termurah ada udeng, yakni 30 ribu rupiah," ujar Andik kepada DW Indonesia. Selain ganongan, topeng, barongan (caplokan), dan barongsai menjadi favorit pembeli karena sangat mudah dimainkan oleh anak-anak.

Kios yang setiap harinya dijaga Andik ini jadi salah satu penunjang eksistensi Paguyuban Reog Singo Mangku Joyo di tengah pandemi corona. Namun ia mengakui, keadaan di toko kecilnya ini sering juga tidak menentu.

Sebelum pandemi, kios yang berdiri sejak 2012 ini dalam sehari didatangi hingga 2 pembeli. Stok barang yang terdiri dari bahan kayu dan matras bisa habis dalam satu bulan. "Dalam satu bulan, stok 40 barang bisa habis, dengen estimasi per hari satu pembeli. Saat ini jadi tidak menentu. Terkadang satu hari ada pembeli, terkadang tidak," ujar Andik.

Ritual sebelum pentas

Andik adalah generasi ke-4 dari keluarga pelestari kesenian reog dan jaranan di Surabaya yang eksis sejak tahun 1950-an. Dalam perjalanannya, paguyuban reog yang ia pimpin yang bernama Paguyuban Reog Singo Mangku Joyo sebelumnya telah beberapa kali berganti nama. Lalu di era digital ini, Andik dan rekan-rekannya juga harus kreatif mempromosikan diri, utamanya lewat media sosial.

Meski mengalami beragam inovasi dan penyesuaian, reog yang ditampilkan Singo Mangku Joyo tidak keluar dari pakem, dan tidak lepas dari asal mula ceritanya. Reog ini sendiri berlatar belakang kisah perjalanan Raja Kelana saat akan meminang seorang putri Kerajaan Kediri bernama Dewi Songgolangit sebagai calon permaisuri. 

Reog Ponorogo di Surabaya
Sebelum pertunjukan, selalu ada ritual tertentu agar pagelaran berjalan lancar dan selamat, ujar AndikFoto: Yovinus Guntur/DW

Ketertarikan Raja Kelana pada Dewi Songgolangit bermula ketika ia bermimpi bertemu putri itu. Dalam mimpinya itu dia konon dapat sembuh dari kebiasaan mencumbui anak lelaki apabila dia dapat mengawini Dewi Songgolangit.

Singkat cerita, setelah syarat yang diajukan oleh Dewi Songgolangit terpenuhi, Raja Kelana bersama pengiringnya datang ke Kediri untuk meminang Dewi Songgolanggit. Sesampainya di sana mereka memulai pertunjukkan sebuah kesenian baru berupa barisan 144 ekor kuda kembar dalam iringan gamelan, gendang, dan terompet. Di depan barisan tersebut ada seekor binatang berkepala dua menari liar namun indah dan menarik hati.

Sebelum tiap-tiap pementasan, biasanya para pemimpin paguyuban reog akan melakukan ritual. Mereka akan memilih hari-hari tertentu, sesuai dengan keyakinan dan hitungan weton dalam penanggalan Jawa. Dalam ritual ini, biasanya mereka selalu menyertakan sesaji berupa bunga dan kopi yang dipersembahkan bagi leluhur.

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui ritual ini. Di antaranya, agar selamat dan terhindar dari halangan-halangan yang tidak diinginkan saat pementasan berlangsung. Sebagai rasa pengakuan (ngajeni) terhadap keberadaan roh yang dipercaya sebagai penunggu barongan.

"Dulu ayahanda juga melakukan hal yang sama. Saat ini, saya lebih memilih untuk berdoa dengan tujuan agar pementasan bisa berjalan lancar dan seluruh tim diberikan keselamatan," kata Andik.

Jumlah pementasan berkurang drastis

Namun tampaknya, jumlah ritual sebelum pertunjukkan yang harus Andik jalani selama dua tahun belakangan ini berkurang drastis. Pandemi corona menghantam sektor pariwisata dan berakibat pada berkurangnya jadwal pentas Andik dan puluhan rekannya.

Sebelum pandemi, paguyuban reog ini telah pentas di beberapa daerah seperti di Bali, Jakarta, Makassar. Bahkan, pernah tampil hingga ke Singapura. Namun masa pandemi COVID-19 menjadi ujian berat bagi seluruh tim Singo Mangku Joyo. Pentas dua hingga tiga kali sebulan seperti yang mereka lakukan sebelum pandemi. kini terasa mustahil.

"Saat ini kami masih bisa pentas. Terakhir kami pentas di pembukaan jalan Tunjungan, itu pun dengan prokes yang ketat," ungkap Andik. "Total dalam dua tahun ini, kami hanya mendapat kesempatan pentas lima kali, dua kali di antaranya virtual," terang anak bungsu dari dua bersaudara ini.

Dalam sekali pentas, untuk wilayah Surabaya dan sekitarnya, Singo Mangku Joyo memasang tarif sebesar 5 hingga 6 juta rupiah. Sedangkan untuk luar kota, menyesuaikan jarak dan ketersediaan akomodasi apabila diperlukan.

Pendapatan yang diperoleh dari pentas kemudian dibagi ke seluruh tim yang berjumlah 35 orang, dengan pemain kendang dan seruling yang dapat jatah terbesar. "Mengapa demikian? Karena pemain kendang tidak beristirahat selama pentas dan seruling menjadi alat musik dasar dalam setiap pementasan," jelas Andik.

Perhatian pemerintah

Meski selama dua tahun belakangan ini mereka terbilang jarang melakukan pementasan, Andik merasa bersyukur bahwa paguyubannya mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah dan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar dapat bertahan. Sebuah BUMN bahkan sejak tahun 2010 rutin memberikan bantuan sekaligus menjadikan Paguyuban Reog Singo Mangku Joyo sebagai binaan. 

Perusahaan ini juga menyumbangkan mobil operasional yang digunakan untuk membawa alat reog dan personelnya saat pentas di Surabaya dan sekitarnya. Tidak itu saja, mereka juga siap untuk membantu memperbaiki alat-alat reog milik Paguyuban Singo Mangku Joyo.

Pemberian bantuan dengan cara berbeda dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya dengan memberikan kesempatan pentas di berbagai acara mereka.

Bisa jadi, perhatian pemerintah ini juga jarena prestasi dan berbagai penghargaan yang pernah diraih oleh Paguyuban Singo Mangku Joyo. Ada sekitar 50-an penghargaan yang telah diraih, antara lain yaitu juara pertama Festival Reog Ponorogo Tingkat Nasional tahun 1995 dan Juara II di ajang yang sama pada tahun 2001.

"Kami dibantu sudah berterima kasih. Ini sebagai komitmen mereka terhadap kami," pungkas Andik. (ae)