1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Supriyatiningsih: BPJS Indonesia Suatu Saat Akan Hebat

Sorta Caroline
16 November 2019

Menurut Supriyatiningsih, peneliti Indonesia di Westfälische Wilhelms-Universität Münster, Jerman, meski terkendala defisit anggaran, pengelolaan jaminan sosial kesehatan Indonesia punya potensi berkembang lebih baik.

https://p.dw.com/p/3Sz26
Supriyatiningsih
Foto: DW/S. Caroline

Setahun sudah Supriyatiningsih melakukan penelitian mengenai Universal Health Coverage (UHC) atau Jaminan Kesehatan Universal  di Westfälische Wilhelms-Universität Münster (WWU). Baginya UHC merupakan basis penting dalam pembangunan kesejahteraan sosial suatu negara. "Kita ngga bisa nyontek ya dengan apa yang dibuat di Jerman, karena di Jerman sendiri sistem jaminan kesehatan sudah berjalan 125 tahun. Penyelesaian sistem jaminan kesehatan suatu negara harus dibuat oleh negara itu, tidak bisa dibandingkan atau asal ramu dari negara lain,” ujarnya. Menurutnya pengelolaan jaminan sosial di Indonesia punya potensi yang baik karena selama lima tahun berjalan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai single payer (pembayar tunggal), sudah menjangkau hampir 200 juta penduduk Indonesia dalam satu skema asuransi publik. Lantas bagaimana ramuan sistem jaminan sosial di Indonesia selama ini? Simak perbincangan DW dengan Supriyatiningsih.

Bagaimana Supriyatiningsih mengkaji sistem BPJS Indonesia?

Saya mengkaji secara multidimensi, berbagai permasalahan yang BPJS hadapi untuk membantu Indonesia meningkatkan kemampuan finansial dalam hal jaminan sosial dan kesehatan. Saya melakukan cost section analytics (analisis pembiayaan) lewat pengumpulan data primer dan juga sekunder.

Data primer, saya kumpulkan lewat kuesioner online. Ini dibagi dari lima kategori grup: pertama, ditujukan kepada direktur rumah sakit atau manajer pelayanan rumah sakit, kedua ditujukan pada para bidan, ketiga perawat, keempat untuk para pengambil kebijakan atau politisi, dan terakhir untuk pasien. Data sekunder saya ambil dari sumber resmi institusi terkait, yakni dari BPJS, Kementerian Kesehatan, Badan Pusat Statistik, dan Kementrian Keuangan.

Dari data yang dikelola sekarang, bagaimana analisa Supriyatiningsih sejauh ini?

Dari segi kuantitas apa yang dicapai oleh pemerintah Indonesia melalui BPJS sudah wonderful achievement (pencapaian yang luar biasa) meski baru di tahun kelima. Bisa mengcover hampir 200 juta penduduk dan sudah membuka banyak fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS. Kesadaran masyarakat akan asuransi kesehatan pun sudah meningkat, begitu pula para pemangku kebijakan. Di sini sudah banyak yang bisa akses kesehatan tanpa ada perbedaan status, pemberi kesehatan pun tidak lagi menggunakan kacamata yang membedakan. Ini akan terus mendukung justice for all (keadilan untuk semua) dan health for all (sehat untuk semua rakyat).

Namun memang Indonesia masih belajar dan terus melakukan upaya perbaikan. Kualitas yang diberikan harus terus diperbaiki, termasuk menyeimbangkan pola pembiayaan. Selama lima tahun berjalan, BPJS selaku pihak penyelengara mengalami defisit finansial. Berdasar perhitungan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) iuran peserta BPJS ini masih di bawah actuarial count (penghitungan aktuaris).

Secara garis besar ada dua kelompok peserta dalam membayar iuran asuransi kesehatan BPJS Indonesia yakni Penerima Bantuan Iur (PBI) dan non Penerima Bantuan Iur (non PBI). Kelas Non PBI ada bagian penerima upah (pekerja), bukan penerima upah (contohnya seperti pengusaha) dan bukan pegawai (seperti: pensiunan). Non PBI penerima upah mendapat bantuan dari perusahaan atau co-payment. Golongan non PBI bisa memilih kelas. Sedangkan PBI mendapat hak akses kelas tiga. Pembagian ini bertujuan supaya mereka terakses dulu dengan pelayanan kesehatan. Selanjutnya kelas-kelas ini diharapkan bisa dihilangkan untuk mencapat justice for all, seperti yang terjadi di Jerman. Dimana orang bisa membayar sesuai penghasilannya.

Tapi acturial count ini harus disetujui lewat Perpres. Pemerintah sudah merevisi kenaikan, kini ada juga ada usulan kenaikan tapi masih alot dengan DPR. Di awal pelaksanaan sudah di bawah tarif. Terbayang jika ada 10 juta penduduk nilai pembayarannya 10 ribu lebih rendah? Itu sudah 100 Miliar defisit.

Pembiayaan Jaminan Sosial, kalau kita lihat di konsep UHC memang seharusnya single payer, nah di Indonesia menerapkan single payer, jadi memang luar biasa mengingat jumlah penduduk Indonesia yang nomer tiga terbesar di dunia. Namun ini semua dikembalikan kepada kemampuan setiap negara. Ada negara-negara yang menggunakan privat company (perusahaan privat) dalam konteks pembiayaan jaminan sosial, memberikan pelayanan kesehatan public. Negara ini tentunya negara yang posisi tawarnya atau income-nya sudah sangat besar. Jadi tidak begitu gonjang-ganjing jika aturan pembayaran iuran dari masing-masing peserta disesuaikan dengan gaji yang mereka terima.

Sistem single payer yang diterapkan di Indonesia menurut saya sudah sangat tepat, karena kalau kita ingin mendapatkan perlindungan total yang bisa cepat untuk seluruh penduduk Indonesia bergabung dalam pelayanan kesehatan ini ya memang harus single payer. Kalau kita berikan pada swasta, akan ada perusahaan yang mampu menyerap banyak peserta dan ada juga perusahaan-perusahaan yang tidak mampu menyerap banyak. Ini akan merugikan kedua belah pihak, perusahaan yang tidak banyak peserta akan kolaps dan peserta jaminan sosial pun akan sangat merana karena bayaran berbeda-beda dengan benefit berbeda-beda. Premi pun akan berbeda-beda. Ini akan terjadi seperti di Amerika dimana harga dikontrol pasar. Kalau dengan single payer ini bisa dikendalikan.

Supriyatiningsih
Foto: DW/S. S. Caroline

Saya pun sempat bertanya pada perusahaan swasta Allianz di Jerman kenapa kok tidak membuat premi yang besar? Karena di Jerman meski negara memperbolehkan peran swasta, negara memberi batasan. Memang negara (Jerman) sudah kuat mengatur. Posisi tawar negara Jerman sudah tinggi internalnya. Indonesia masih berkembang, posisi tawar pemerintah belum terlalu kuat.

Dengan single payer, maka akses data dari keseluruhan peserta segera tertata dengan baik, sehingga dapat menjadi evidence based untuk memberikan masukan bagi BPJS dan para pengambil kebijakan di tingkat nasional. Kalau payer-nya terdiri banyak perusahaan, maka untuk membangun sistem informasi yang terpadu sinkronisasinya bisa butuh waktu 10-15 tahun. Di Jerman sinkronisasi ini butuh waktu puluhan tahun.

Selama penelitian, tentunya banyak berkolaborasi dengan para peneliti asing, apa pelajaran terbaik Jaminan Sosial yang Supriyatiningsih dapatkan dari penerapan sistem jaminan sosial di negara lain?

Negara-negara yang sudah cukup baik dengan pelayanan bidang kesehatan itu rata-rata mereka menggunakan 5-10 persen budget nasional. Jerman 10%, India pun 10% bahkan Vietnam sudah membagi 10% domestik bruto untuk kesehatan. Indonesia masih 5%. Pemerintah harus tingkatkan belanja negara di bidang kesehatan. Biaya ini penting sehingga peningkatan mutu pelayanan kesehatan bisa ditingkatkan oleh Kementrian Kesehatan.

Di bidang ekonomi juga diatur bagaimana penghasilan masyarakat bisa bagus. Kalau inflasi melonjak banyak yang akan menganggur, perusahaan banyak kolaps. Kemampuan bayar masyarakat bisa juga menurun.

Sejarah UHC menunjukkan bahwa tidak ada negara yang kolaps karena sistem pembiayaan pelayanan berbasis sosial, itu menunjukkan bukti sistem ini baik untuk masyarakat.

Amerika adalah negara yang berbasis pada asuransi swasta. Pelayanan kesehatan sangat disokong model pembiayaan swasta. Namun di Amerika sampai hari ini ada 15% penduduknya tidak bisa tercover jaminan sosial dan tidak bisa terjangkau akses pelayanan kesehatan dengan baik. Ini dikarenakan mereka tidak bisa membayar akses premi kesehatan dengan baik, karena semua penyelenggaranya adalah private.

Kalau asuransi swasta dalam menetapkan prinsip usaha pasti salah satunya mempertimbangkan keuntungan usaha. Kalau tidak untung perusahaan bisa kolaps. Di sini mereka bisa memainkan harga (premi) sesuai pasar dan mereka menggunakan dana premi ini untuk investasi di bidang lain.

Tapi mengapa USA tetap bisa stabil? Karena dana talangan darurat dari pemerintahnya bagus juga ada yayasan-yayasan yang mampu menanggung kelompok vulnerable (rentan) ini. Misalkan salah satunya Melinda Gates Foundations.

Di Jepang itu lebih ke cost-sharing (pembagian pembiayaan), sebagian dibayar asuransi publik, sebagian ditanggung sendiri. Ini termasuk pelayanan-pelayanan yang beresiko memiliki pembiayaan yang tinggi. Misal sakit kanker, yang pengobatan lama – kemo dan operasi. Untuk pelayanan yang panjang dan mahal penduduk harus mampu bayar 30-40% biaya pelayanan. Itu saja rakyat ‘menjerit', meski negara Jepang termasuk negara dengan high income country. Karena bagi rakyat ini sangat berat. Kena kanker udah ga bisa kerja, sisanya masih harus dibayar, meski pembayaran ini hanya 30%. Pemerintah Jepang sekarang sedang memperbaiki pola, supaya bagaimana caranya asuransi kesehatan publik mencakup semuanya.

Di Jerman ada perjanjian kerjasama erat antara private dan publik. Pemberi pelayanan kesehatan bisa dilakukan oleh perusahaan asuransi negara maupun perusahaan asuransi swasta. Asuransi swasta perlu memenuhi kaidah-kaidah asuransi yang bersifat publik. Kalau tidak memenuhi tidak dapat melakukan pelayanan. Private boleh menghitung premi yang lebih tinggi dari asuransi publik untuk bisa mengakses seluruh layanan kesehatan yang juga diperbolehkan untuk publik, tapi mereka tetap harus mengacu kepada kaidah-kaidah perlindungan kesehatan sosial yang dikeluarkan oleh pemerintah federal Jerman.

Kalau tidak ada pernyataan bahwa swasta bisa mengakses seluruh layanan kesehatan, maka publik harus konsekuen, memasukkan semua orang dalam jangkauan perusahaan asuransi publik. Nah, Jerman tidak bisa menjamin semua orang masuk dalam asuransi publik, karena nanti cost expenditure (pengeluaran biaya) dari negara akan membludak. Kalau tidak memelihara perusahaan swasta, Jerman sendiri tidak mampu. Makanya sebagian pembayar pelayanan kesehatan itu diserahkan ke swasta.

Baca juga di sini: Pro dan Kontra Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Apa yang perlu dibenahi lagi dalam sistem BPJS Indonesia?

Pertama, membangun sistem pelayanan kesehatan berjenjang yang betul-betul bagus. Jerman sudah sangat establish (mapan) dengan pola pelayanan rujukan. Nah sekarang yang harus dilakukan Indonesia adalah membuat pola pelayanan rujukan vertikal yang establish juga. Orang saat sakit tidak bisa langsung ke rumah sakit dan minta klaim kecuali keadaan sangat emergency (darurat) ya. Ada penilaian dan tata laksana dari fasilitas kesehatan yang lebih rendah (misalnya: fasilitas kesehatan Puskesmas), jika tidak mampu tata laksana di fasilitas kesehatan yang lebih rendah baru pasien dirujuk ke Rumah Sakit yang sesuai kompetensi untuk menangani.

Dengan pola rujukan vertikal yang betul-betul establish, maka semua pemberi pelayanan kesehatan sekarang sedang ditata lewat suatu perangkat regulasi, dimana rumah sakit diberi penetapan kelas. Ada tipe D, C, B, A.

D adalah tipe dasar dari primary care, jika kelas D tidak dapat menunjang fasilitas kesehatan baru dirujuk ke tipe C dimana di kelas ini spesialis sudah tersedia, fasilitas penunjang, laboratorium lebih baik. Makin naik kelas makin kompleks pelayanannya. Tipe B jumlah spesialis dan subspesialisnya lebih banyak dan ada jumlah minimalnya, untuk tata layanan kasus pelayanan yang lebih kompleks. Terakhir tipe A, rumah sakit yang kalau di Jerman adalah national center hospital (rumah sakit pusat nasional) yang sudah paling tinggi.

Rumah Sakit yang ada di Indonesia sekarang di tinjau oleh Kemenkes melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 30 tahun 2019 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, apakah mereka layak di tipenya masing-masing.

Sehingga rumah sakit sekarang ada yang turun kelasnya dari B ke C dari C ke D atau malah naik kelas. Turun kelas akan menyangkut besarnya pembayaran BPJS kepada rumah sakit, karena pembayaran dilakukan berdasar tipe kelasnya. Kalau orang dioperasi di rumah sakit tipe D dengan operasi di tipe C pembayaran akan berbeda, karena BPJS melihat derajat kompleksitas masalahnya. Kalau dia diobati di tipe C karena di tipe D tidak bisa diselesaikan. Karena tidak bisa diselesaikan, wajar tipe C dapat bayaran lebih tinggi. Bagi pemberi pelayanan kesehatan turun kelas akan turut menurunkan pemasukan. Kalau pelayanan tetap dilakukan meski tidak sesuai kelasnya, klaim tidak akan dibayar oleh BPJS. Merugilah rumah sakit. Ini semua yang bikin ribut. Saya mengusulkan pada BPJS, tetap jalan terus dengan sistem yang diperbaiki ini. Karena penataan ini di Jerman telah dilakukan sejak puluhan tahun lalu. Sekian tahun mendatang, semua akan tersedia dengan pola ini. Maka kita akan memetik hasil kualitas layanan yang lebih baik. Tinjauan pada rumah sakit ini juga baik untuk menjamin kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Jangan sampai menyatakan diri sebagai rumah sakit tipe B tapi tidak punya layanan yang sesuai regulasi, tidak punya fasilitas kemoterapi, tidak punya spesialis kanker tapi saat ada pasien kanker, pasien tetap diterima. Saya kerjakan lagi, tapi tidak tuntas. Ini kualitasnya tidak bisa dijamin untuk pasien. Ini juga pemborosan. Premi dan kualitas rumah sakit dua hal yang harus diakselarasi.

Yang kedua adalah law enforcement (penegakan hukum) yang kuat. Belajar dari Jerman, saat kita sakit, tidak bisa langsung ke rumah sakit. Pertama yang bisa dilakukan adalah ke dokter praktek atau dokter keluarga baru nanti dapat rujukan. Kalau tidak darurat lalu ke rumah sakit nanti rumah sakit pun akan menolak. Di sini tidak ada kompromi. Kalau di Indonesia masih sering kompromi, "Ahh biar bantu rumah sakit kita, kita terima, nanti diagnosa dibuat lain.” Nah ini lah fraud (penipuan), jika assessor (penilai) pihak BPJS melihat ini, mereka berhak memutuskan ‘Kami tidak membayar.' BPJS juga berhak memutuskan kerjasama dengan rumah sakit ini bisa lanjut atau tidak.

Selain pada rumah sakit, penegakan hukum juga perlu ditegakkan pada para pembayar jaminan sosial. Di Indonesia, orang yang tidak bayar premi bisa sampai 9% sepanjang tahun 2017/18. Lalu seketika mau lanjut bayar lagi karena anggota keluarga jatuh sakit. Di Indonesia ini masih diterima, dengan syarat dia bayar tunggakan satu tahun kebelakang. Di Indonesia data kependudukan belum online teroganisir, sehingga orang bisa keluar atau masuk menjadi anggota BPJS tanpa terupdate status kepesertaannya.

Kalau di Jerman, orang sudah keluar mau gabung lagi tidak akan lagi diterima. Law enforcementnya sangat kuat. Di sini tidak ada orang yang berani tidak punya jaminan kesehatan. Di sini sistem data kependudukan sudah terintegrasi online, untuk aplikasi apapun perlu asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan ini pun harus diakui oleh publik. (Ed: yp)

 

***Supriyatiningsih adalah dokter spesialis obstetri dan ginekologi dan staf pengajar di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Setelah menuntaskan studi lanjut master di bidang Public Health serta spesialis Ginekologi dari Universitas Gadjah Mada, ia melanjutkan studi doktorat di Westfälische Wilhelms-Universität Münster, Jerman bidang studi Obstetri dan Ginekologi. Dokter yang turut aktif dalam ragam fellowship terkait perempuan dan kesehatan reproduksi ini kini melakukan penelitian yang berfokus pada Universal Health Coverage.

 

Wawancara pada artikel ini dilakukan oleh Sorta Caroline dan telah diedit sesuai dengan konteks.