1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Surat Terbuka Untuk Pemerintah RI, Soal 600 WNI Eks ISIS

8 Februari 2020

Walau ada unsur kebaikan dalam inisiasi pemulangan tersebut, sesungguhnya kemudaratannya lebih banyak. Apa untungnya memulangkan gerombolan teroris? Simak surat terbuka Sumanto al Qurtuby kepada pemerintah RI .

https://p.dw.com/p/3XSYA
Symbolbild Rakka Kämpfer der IS
Foto: picture-alliance/dpa

Belakangan ini beredar kabar luas di berbagai media – termasuk media sosial – kalau sebagian elit politik, pemerintah, dan agama di Indonesia, dengan alasan "rasa kemanusiaan," sedang mengusahakan kepulangan sekitar 660 orang (ada sebagian sumber yang menyebutkan lebih dari 1.000 orang) bekas WNI (Warga Negara Indonesia) yang terlibat atau tergabung di sejumlah organisasi dan jaringan teroris internasional seperti ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), al-Qaeda, dan lainnya.

Saya tidak tahu persis faktor apa sesungguhnya yang melatari dan menjadi dasar utama gagasan, wacana, dan inisiasi tersebut. Bisa juga karena tekanan dari pihak-pihak tertentu atau bisa jadi karena inisiatif sendiri untuk "menyenangkan” kelompok tertentu.

Sedikit manfaat, banyak mudarat, bahkan berbahaya

Meskipun saya menilai ada "unsur kebaikan" dalam inisiasi dan rencana pemulangan eks-WNI tersebut. Tetapi saya melihat lebih banyak mudarat dan dampak buruk yang akan ditimbulkan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia ke depan jika ide itu dilaksanakan. Oleh karena itu, saya memohon dengan sangat pemerintah RI untuk memikirkan kembali dan meninjau ulang rencana tersebut.

Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: DW/A. Purwaningsih

Dalam Islam, ada adagium populer berbunyi: "dar'ul mafasid muqaddam ala jalbi mashalih” atau versi lain "dar'ul mafasid aula min jalbil mashalih” yang berarti, kurang lebih, "mencegah atau menghindari berbagai hal yang menimbulkan kerusakan atau keburukan harus didahulukan atau diutamakan atas upaya membawa kemaslahatan atau kebaikan.” Ada lagi kaidah fiqih yang berbunyi: "al-dharar yuzal”, yakni sebuahbahaya haruslah dihilangkan atau dihindari.

Saya melihat rencana memulangkan eks-WNI yang sudah teracuni oleh virus kejahatan terorisme tersebut sebagai "mafsadat” dan "dharar” – sebuah tindakan buruk, berbahaya, dan membahayakan serta memiliki implikasi buruk dan merusak lahir-batin bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia di kemudian hari.

Kriminal yang membenci Republik Indonesia

Ada beberapa alasan fundamental seperti berikut ini kenapa gagasan tersebut perlu ditinjau ulang.

Mereka hakikatnya adalah bukan WNI lagi karena melakukan sejumlah tindakan ilegal (pelanggaran hukum) seperti pembakaran paspor. Pembakaran paspor adalah sebuah deklarasi pemisahan diri sebagai warga negara.

Bukan hanya itu saja. Mereka juga terang-terangan tidak mengakui eksistensi Republik Indonesia karena dianggap sebagai negara kafir, zalim, dan sekuler yang tidak sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Bagi mereka, Indonesia termasuk "dar al-harb” atau negara yang wajib diperangi.

Mereka juga tidak memedulikan nasib masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, selain tidak menghormati dan mengindahkan ideologi dan konstitusi negara: Pancasila dan UUD 1945.

Pula, mereka telah melakukan tindakan kejahatan yang sangat membahayakan bagi bangsa, negara, dan masyarakat Indonesia dan bahkan kemanusiaan global, yaitu terorisme. Mereka juga jelas-jelas telah menyokong kelompok teroris dan terlibat secara aktif di sejumlah organisasi dan jaringan teroris transnasional – ISIS dan al-Qaeda – yang telah melakukan tindakan kriminal, barbar, bengis, kejam, dan brutal pada umat manusia, bahkan atas sesama umat Islam, sehingga dikecam oleh berbagai negara dan penduduk di dunia.

Apa manfaatnya bagi Indonesia?

Lalu, apa yang diharapkan dari kumpulan "para manusia sampah" seperti itu? Bahkan sampah jauh lebih baik dari mereka karena masih bisa diambil manfaat dan diolah menjadi barang-barang yang berguna.

Apa untungnya gerombolan teroris itu bagi Negara Indonesia? Apa manfaatnya bagi masyarakat Indonesia? Apa kontribusi positifnya bagi bangsa Indonesia?

Lagi pula, bukankah mereka kabur ke Suriah, Iraq, dan lainnya atas inisiatif mereka sendiri karena mengklaim hendak "berjuang di jalan Allah membela umat Islam yang terzalimi”.

Bukankah mereka merindukan "mati syahid” agar bisa masuk surga dan pulang ke hadirat-Nya? Lalu buat apa pemerintah capek-capek ingin memulangkan mereka, sedangkanmereka ingin pulang ke alam baka?

Buat apa pemerintah bersusah-payah memikirkan kepulangan mereka ke Tanah Air Indonesia, negeri yang mereka kutuk, laknat, dan sumpah-serapahi setiap harinya? Buat apa pemerintah memikirkan mereka, sementara mereka tak pernah secuilpun memikirkan pemerintah?

Masih ada masalah lain yang lebih penting untuk diselesaikan

Oleh karena itu, daripada repot-repot memikirkan dan mengurusi kepulangan barisan "manusia zombie" yang tak berguna itu, akan jauh lebih baik dan bermanfaat jika pemerintah memikirkan dan mengurusi kepulangan para korban tindakan intoleran dan kekerasan oleh sekelompok ekstrimis fanatik yang jelas-jelas terusir dari kampung halaman mereka dan menggelandang di negeri sendiri seperti pengikut Syiah, Ahmadiyah, Gafatar, al-Qiyadah al-Islamiyah, Salamullah dlsb., atau para korban kekerasan komunal di Maluku, Poso, Madura, Tobelo, Sampit, Mataram, Sambas, dan lainnya.

Daripada memikirkan dan mengurusi para pemandu sorak teroris jahanam, akan jauh lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara jika pemerintah fokus memikirkan, mengurusi, dan menyelesaikan aneka masalah sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan dlsb. yang menimpa bangsa dan sebagian besar masyarakat Indonesia seperti kemiskinan, kebahlulan, kefanatikan, intoleransi, premanisme agama, korupsi, dlsb. demi masa depan anak-cucu kita nanti dan demi terwujudnya sebuah bangsa dan negara yang damai, makmur, toleran, dan pluralis di kemudian hari.

Penulis:

Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University. 
Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb.    
Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London: Routledge, 2016) dan Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam (London & New York: I.B. Tauris & Bloomsbury).

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Tulis komentar Anda di  kolom di bawah ini.