1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bangkok Bersiap Hadapi Demonstrasi Massal Pekan Ini

24 November 2020

Ketegangan memuncak di ibu kota Thailand menyusul rencana demonstrasi massal kelompok pro-demokrasi, Rabu (25/11). Eskalasi terbaru dibarengi beredarnya kabar burung seputar kudeta militer terhadap PM Prayut Chan-ocha 

https://p.dw.com/p/3ll3v
Tanda tiga jari sebagai simbol aksi protes pro-demokrasi di Thailand.
Tanda tiga jari sebagai simbol aksi protes pro-demokrasi di Thailand.Foto: Sirachai Arunrugstichai/Getty Images

Gelombang demonstrasi di Thailand yang telah berlangsung selama empat bulan, tidak kunjung surut bahkan kian memunck. Pekan ini, aparat keamanan kembali bersiap menghadapi lautan mahasiswa dalam aksi protes yang direncanakan pada hari Rabu (25/11). 

Para pemimpin aksi protes menolak mengendurkan perlawanan dari jalan dan mengaku tidak siap berkompromi. 

Slogan dan spanduk berisikan ejekan terhadap kerajaan yang dulu mustahil terjadi, kini menghiasi jalan-jalan ibu kota. Namun aparat keamanan juga sudah membuktikan mampu menghadang gelombang demonstran seperti yang ditunjukkan pekan lalu. 

Gerakan pro-demokrasi di Thailand hidup dari aksi di jalanan dan kampanye media sosial. Sebagian pakar meyakini, kelompok “kaus merah” yang dulu memimpin aksi demonstrasi pasca kudeta terhadap bekas PM Thaksin Shinawatra, akan segera ikut bergabung.  

Para demonstran menuntut agar Perdana Menteri Prayut Chan-ocha mengundurkan diri, merumuskan ulang konstitusi dan perlucutan kekuasaan monarki.  

Terutama tuntutan terakhir dinilai melahirkan gairah demokrasi baru di Thailand. Siripan Nogsuan Sawasdee, Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Chulalangkorn, Bangkok, meyakini gelombang protes sejak pertengahan tahun itu “melahirkan kultur politik baru,” tuturnya kepada AFP. 

Gerakan ini “mendorong kebebasan berekspresi ke level yang tidak pernah terjadi di sepanjang sejarah kerajaan.” 

Aksi protes pada Minggu (21/11) merupakan salah satu yang terbesar sejak gelombang demonstrasi pertamakali meletus, Juli silam.
Aksi protes pada Minggu (21/11) merupakan salah satu yang terbesar sejak gelombang demonstrasi pertamakali meletus, Juli silam.Foto: Sirachai Arunrugstichai/Getty Images

Namun begitu, gerakan pro-demokrasi yang kebanyakan didominasi kaum muda itu dinilai belum cukup matang. Menurut Siripan Sawasdee, mereka harus memprioritaskan tuntutan politik dan membangun struktur kepemimpinan pada sejumlah tokoh kunci jika ingin berhasil.  

Ancaman kudeta di tengah eskalasi konflik

Selama ini pemerintah Thailand bersikap hati-hati terhadap aksi demonstrasi yang berkecamuk di Bangkok. Hal ini terlihat pada maju mundur penerapan darurat sipil, serta pembebasan pemimpin demonstran setelah ditahan dalam waktu singkat. 

“Sejak awal, pemerintah berimprovisasi,” kata Paul Chambers, analis politik di Universitas Naresuan, Thailand.  
Pemerintah diyakini ingin menjaga reputasi Thailand dan tidak mengulangi bentrokan berdarah dengan kelompok kaus merah pada 2010, yang menewaskan 90 orang. 

“Saya perdana menteri dan saya tidak ingin warga Thailand saling membunuh lagi satu sama lain. Saya tidak ingin ada pihak yang menggunakan kekerasan, terutama di tengah Covid-19,” kata PM Prayuth seperti dilansir Bangkok Post. 

Meski demikian, PM Thailand itu enggan melunak, dan sebaliknya mengancam bakal menggunakan “pasal 112”, yang mengandung butir anti-penghinaan terhadap kerajaan dan ancaman hukuman kurung maksimal 15 tahun.  

Sementara itu Raja Maja Vajiralongkorn dikabarkan semakin rajin tampil di hadapan publik, menemui pendukungnya atau mengungkapkan “cintanya” pada semua warga Thailand. Dia belakangan menjadi sasaran kritik usai kedapatan memerintah dari vila milik kerajaan di negara bagian Bayern, Jerman.  

Kekuasaannya kini dipertaruhkan dalam amandemen konstitusi yang bakal merumuskan ulang pembagian kekuasaan di Bangkok.  

Dalam sejarahnya, Thailand berulangkali mencatat aksi demonstrasi massal yang berujung pada jatuhnya korban jiwa. Tragedi berdarah ini terjadi dua kali pada dekade 1970an, lalu pada 1992 dan 2020. 

Chambers mengkhawatirkan sejarah akan berulang. Saat ini “kelompok-kelompok ultra kanan dan loyalis,” kerajaan sudah mulai terbentuk dan kedapatan menyerang demonstran pro-demokrasi. 

Eskalasi konflik di Thailand ikut menghembuskan kabar burung perihal adanya kudeta dari militer. Desakan bagi intervensi tentara antara lain muncul dari kelompok loyalis kerajaan yang menuntut agar monarki dilindungi. Namun militer Thailand membantah gosip tersebut.  

rzn/as (rtr, ap)