1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PBB: Pengusaha Ikut Danai Pelanggaran HAM Militer Myanmar

5 Agustus 2019

Sejumlah bisnis di Myanmar diduga terlibat dalam membiayai operasional tentara Myanmar untuk melakukan pelanggaran HAM terhadap Rohingya, demikian menurut laporan penyidik PBB.

https://p.dw.com/p/3NMkm
Myanmar Rakhine Militär Symbolbild
Foto: Getty Images/AFP/Ye Aung Thu

Komisi pencari fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang diketuai mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, menyerukan negara-negara untuk memberlakukan sanksi ekonomi bagi sejumlah pengusaha yang memiliki koneksi dengan militer Myanmar.

Hal ini diserukan setelah temuan terkait dugaan keterlibatan sejumlah pebisnis dalam mendukung pendanaan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia di negara itu.

Komisi pencari fakta merilis laporan yang merinci bagaimana bisnis yang dijalankan oleh tentara Myanmar, atau yang dikenal sebagai Tatmadaw, memberikan dukungan keuangan untuk operasi militer diantaranya yang memaksa Muslim Rohingya keluar dari negara bagian Rakhine.

Laporan ini berfokus terutama pada dua kegiatan utama konglomerat yang didominasi oleh militer, yaitu Myanmar Economic Holdings Ltd. (MEHL) dan Myanmar Economic Corp (MEC), kata kantor berita Reuters..

"Untuk kali pertama, laporan ini terbit dengan adanya gambaran yang jelas terkait keterlibatan perusahaan tertentu dari Eropa dan Asia, dan menegaskan bahwa adanya hubungan ini dan adanya pelanggaran terhadap perjanjian dan norma-norma PBB," ujar Marzuki Darusman dalam sebuah wawancara, Minggu (04/08).

Pihak juru bicara militer tidak merespon panggilan telepon kantor berita Reuters. Sedangkan Zaw Htay, juru bicara pemerintahan sipil di bawah pimpinan Aung San Suu Kyi tidak dapat dihubungi.

Dikatakan sejumlah 59 perusahaan asing dari Prancis, Belgia, Swiss dan Hong Kong memiliki kerja sama usaha dengan perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan militer. Usahanya mulai dari industri penambangan batu giok dan rubi hingga ke sektor pariwisata dan industri farmasi.

"Pemasukan yang berasal dari bisnis militer ini memperkuat otonomi Tatmadaw dari pengawasan sipil yang dipilih melalui pemilu dan menyediakan bantuan keuangan bagi operasional Tatmadaw yang bersifat melanggar HAM dan hukum-hukum internasional," ujar Marzuki.

Dua konglomerasi ini dimiliki dan dijalankan di bawah pengaruh beberapa petinggi militer termasuk diantaranya Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan Jenderal Soe Win.

Puncak gunung es

Masih menurut laporan itu, setidaknya ada 14 perusahaan asing dari tujuh negara, termasuk Cina, India dan Israel, yang telah menyediakan jet tempur, kendaraan tempur lapis baja, kapal perang, rudal dan peluncur rudal ke Myanmar sejak 2016. Ini tetap dilakukan meskipun telah ada laporan pelanggaran hak asasi manusia. Di antara para pemasok senjata yang berhasil diidentifikasi, 12 perusahaan merupakan badan usaha milik negara.

"Angka-angka ini benar-benar puncak gunung es," Christopher Sidoti, anggota tim pencari fakta PBB, mengatakan kepada wartawan di Jakarta. Namun ia menolak menyebutkan tepatnya nama negara tempat perusahaan itu berada.

"Mungkin salah satu temuan yang paling mengganggu dalam laporan kami adalah cara yang digunakan pihak militer yang secara aktif meminta sumbangan dari para perusahaan untuk mendukung upaya-upaya pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine," ujarnya.

Tim pencari fakta ini dibentuk setelah adanya tindakan brutal pada tahun 2017 yang memaksa 700.000 Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Sejumlah penelitian internasional telah menunjukkan terjadinya pembunuhan, pemerkosaan hingga penyiksaan kepada warga Rohigya oleh pasukan keamanan Myanmar.

Laporan ini pun mendesak PBB dan negara-negara anggotanya untuk segera memberlakukan sanksi yang telah ditargetkan terhadap perusahaan ynga dijalankan oleh militer ini. Selain itu, mereka juga mereka juga mendorong kalangan pengusaha untuk berbisnis dengan perusahaan yang tidak terafiliasi dengan pihak militer.

Dalam dekade terakhir, Myanmar beralih dari rezim militer menjadi pemerintahan sipil yang didominasi oleh militer. Negara ini tumbuh menjadi salah satu wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Asia Tenggara. Negara dengan penduduk lebih dari 60 juta orang itu lama terisolasi dan memiliki potensi besar, tetapi krisis Rohingya dan etnis minoritas lainnya telah menimbulkan kekhawatiran bagi para investor.

ae/hp (Reuters, AP, dpa)