1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Timur Tengah Adu Pengaruh Lewat Pembangunan Masjid di Afrika

Silja Fröhlich
19 Desember 2019

Ada ratusan masjid di Afrika, baik yang berwarna putih, hijau pepermin atau biru langit. Pendanaannya seringkali berasal dari Arab Saudi, Turki, dan Iran. Namun ideologi investor berpotensi punya konsekuensi yang luas.

https://p.dw.com/p/3V4jm
Somalia Moschee der Islamischen Soldarität in Mogadishu
Foto: picture-alliance/AP Photo/F. A. Warsameh

Pada bulan November 2019, masjid terbesar di Djibouti, Masjid Abdulhamid II diresmikan. Dengan luas 13.000 meter persegi, masjid ini bisa menampung 6.000 orang. Masjid raksasa di Djibouti ini punya dua menara setinggi 46 meter. Dindingnya dihiasi dengan kaligrafi Ottoman klasik. Kubahnya ditutupi dengan lamela tembaga berlapis emas. Lampu gantung besar di bagian dalam membangkitkan iluminasi masjid-masjid ala Turki.

Landmark baru Djibouti ini dibiayai oleh Direktorat Urusan Agama Turki. Diyanet, demikian otoritas itu disebut, menganggap masjid sebagai pertanda ikatan yang kuat antara Djibouti dan Turki. Sebagian besar bahan bangunannya diimpor dari Turki, termasuk batu alam berwarna krem ​​di ruang ibadah. Pada tahun 2015, Presiden Djibouti, Ismail Omar Guelleh, mengatakan kepada Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, bahwa ia menginginkan masjid dengan arsitektur Ottoman. "Turki ingin menempatkan dirinya sebagai kekuatan Islam, seperti Arab Saudi selama puluhan tahun," ujar Abdoulaye Sounaye, seorang antropolog dari Niger yang bekerja di Pusat Studi Oriental Modern Berlin kepada DW.

Turki menginvestasikan jutaan dolar AS dalam upaya meningkatkan pengaruhnya di seluruh Afrika. Lebih dari empat dekade, Diyanet telah membiayai pembangunan lebih dari 100 masjid dan institusi pendidikan di 25 negara di seluruh dunia, termasuk di negara-negara  Afrika: Djibouti, Ghana, Burkina Faso, Mali dan Chad. 

Turki juga telah terlibat dalam renovasi masjid di Afrika Selatan dan pembangunan Masjid Nizamiye - yang terbesar di belahan bumi selatan. Turki juga membantu merenovasi Masjid Solidaritas Islam di ibukota Somalia, Mogadishu. Ini adalah masjid terbesar di tanduk Afrika, dengan ruangan yang bisa menampung 10.000 umat.

"Inilah cara negara menciptakan reputasi dan menunjukkan kepada orang-orang: 'Anda dapat mengandalkan kami - kami memiliki sumber daya yang tersedia,'" kata Sounaye. Saat ini, orang-orang dapat menemukan masjid-masjid besar dan mengkilap bahkan di tempat-tempat di mana bahkan tidak ada pasokan listrik, tambahnya.

'Tren Salafi'

Masjid Solidaritas Islam awalnya dibangun pada tahun 1987 dengan dana dari Yayasan Sultan bin Abdul Aziz Al Saud. "Arab Saudi telah melakukan ini selama 10 hingga 20 tahun: berinvestasi di Niger, Nigeria dan Mali," kata Sounaye. "Dengan cara ini mereka menciptakan ruang untuk mengambil teologis spesifik tentang Islam, khususnya di sini tren Salafi."

Berdasarkan cita-cita periode awal Islam, Salafi tidak menerima tasawuf dan doktrin agama lain yang lebih toleran yang tersebar luas di Afrika.

"Di masjid-masjid, setiap bentuk ideologi dapat menyebar," kata Bakary Sambe, yang mengepalai Institut Timbuktu, sebuah lembaga pemikir di ibukota Senegal, Dakar, yang meneliti radikalisasi dan konflik agama di Afrika. "Pengaruh dan kekuasaan dapat diperoleh melalui agama."

Seperti Turki dan Arab Saudi, Qatar dan Iran telah mengakui potensi agama dalam mengerahkan pengaruh di negara-negara Afrika. Sambe mengatakan Iran telah membangun masjid di Senegal, Pantai Gading dan Guinea, serta di tempat-tempat lain. "Ini adalah persaingan antara kekuatan Timur Tengah," kata Sambe.

Sebagai contoh, ia menambahkan, Arab Saudi membangun lebih banyak masjid di Nigeria untuk menangkal Syiah yang coba disebarluaskan Iran. Di Nigeria, kelompok Syiah adalah minoritas dan mereka sering merasa tertindas.

Tempat radikalisasi?

Sounaye mengkritik bahwa investasi keuangan sering kali diperlukan untuk membangun masjid. "Sampai saat ini, siapa pun yang memiliki sarana bisa membangun masjid di Niger," katanya. Lebih dari 21 juta orang yang tinggal di negara di zona Sahel: 99% -nya adalah muslim. "Sejak tahun 1990, masjid telah menjadi tempat paling diperebutkan di Niger," kata Sounaye. Salah satu  sebab utamanya adalah kemunculan salafisme, tambahnya. "Arab Saudi telah membangun sebuah masjid di Niger," katanya. "Seorang siswa Nigeria dilatih sebagai seorang imam di Arab Saudi. Setelah beberapa tahun, ia telah memiliki peran utama di masjid di Niger - dan ini penting untuk mendukung salafisme."

Kekerasan agama adalah masalah serius di Afrika. "Sejak era 1990-an, ketika salafisme semakin didukung oleh Arab Saudi, ada semakin banyak konflik," kata Sounaye. Di Nigeria, gerakan radikal telah membantu milisi teroris Boko Haram. "Mantan pemimpin mereka, Mohammed Yusuf menggunakan masjidnya sendiri untuk menyebarkan ideologi jihad. Dukungan Saudi telah menyebabkan munculnya tren Salafi."

Di Mali dan Niger, kaum Sufi- yang dianggap toleran dan berorientasi spiritual serta memiliki kecenderungan asketis – kondisinya sangat rentan, kata Sambe. Meskipun jumlah kaum sufi di sana luar biasa dan tradisi kuat Sufi mengakar dalam, salafisme semakin unggul, kata Sambe, berkat dukungan keuangan Arab Saudi.

Selama bertambah-tahun, negara itu telah membantah kerjasama resmi dengan Salafi, tetapi Sambe mengatakan itu adalah strategi "diplomasi ganda".

"Negara mengatakan bahwa mereka tidak berkolaborasi dengan gerakan radikal ini," kata Sambe. "Tapi organisasi swasta dan kaya terus membiayai masjid-masjid ini," tambahnya.

Maroko juga menjadi semakin aktif dalam diplomasi agama di Afrika. Lembaga Mohammed VI pada tahun 2015 melatih para imam untuk menangkal ideologi ekstremisme di Sahel dengan versi Islam moderat.

Lembaga ini khusus melatih para imam dari negara-negara Afrika Barat seperti Burkina Faso, Pantai Gading dan Guinea. Ada 500 pemegang beasiswa dari Mali yang dibiayai. Para imam mengatakan Maroko membantu mereka, setelah mereka membangun masjid atau merekonstruksi masjid-masjid yang telah dihancurkan. (ap/vlz)