1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Ujung dari Bakar Duit Startup-startup Gede

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
23 Oktober 2021

Bila Anda tinggal di kota besar Indonesia, Anda kemungkinan besar adalah saksi atau bahkan penikmat "kebaikan hati” startup-startup kolosal yang baru bertumbuhan tempo hari. Opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/41o07
Gojek di Indonesia
Gambar ilustrasi start up di IndonesiaFoto: Reuters/Beawiharta

Anda tahu siapa saja startup yang saya maksud. Mereka yang memberikan diskon gede-gedean tak masuk akal, insentif gila-gilaan untuk mitra-mitranya, bahkan iklan-iklan yang jelas biayanya menjulang.

Namun, pernahkah Anda berpikir apa ujung dari aksi bakar uang masif ini? Mengambil prime time seluruh televisi nasional untuk mengiklankan platformnya—berapakah uang yang Anda bayangkan mereka bakar? Menyewa girlband Korea yang sedang naik daun secara internasional sebagai brand ambassador. Kita tidak sedang berbicara uang dalam jumlah Rp1-2 miliar, saya yakin.

Pun, saya tak tahu sudah berapa banyak makan siang orang di Jakarta yang mereka talangi. Saya menghemat sebagian besar uang makan siang saya lantaran promo-promo "murah hati” mereka. Orang-orang di mana-mana menghemat anggaran belanja bulanannya karena diskon-diskon yang ditawarkan.

Bila mereka memakai textbook yang sama dengan Uber, Alibaba, atau perusahaan-perusahaan teknologi lainnya, kita sedikit-banyak bisa menerka di mana ujung dari investasi kolosal ini. Ujungnya adalah cuan, tentu saja. Namun, untuk mencetak cuan, pemodal awal tak butuh neraca keuangan positif sepanjang bertahun-tahun. Yang mereka butuhkan adalah memastikan perusahaan ini siap bertumbuhpesat, menguasai baik konsumen maupun "mitranya”.

@gegerriy Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 
Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Mentalitasnya adalah pertumbuhan sebagai panglima

Mereka harus melakukan blitzkrieg atau serangan dalam peperangan dengan intensitas dan konsentrasi yang sangat tinggi. Setelah mereka nampak menguasai medannya, siap untuk bertumbuh, ada di kepala semua orang, bisnisnya akan dioper ke publik atau pihak lain dengan harga jual yang tinggi. Keuntungan mereka yang sukses dari skema ini bisa berkali-kali lipat dari modal awalnya.

Pun, berinvestasi di startup semacam ini biasanya tak membutuhkan modal yang sebesar itu. Bila kita bandingkan dengan modal yang harus dikeluarkan investor di sektor yang sudah banyak pesaing, jumlahnya biasanya relatif kecil. Apa yang dilakukan bisnis-bisnis startup ini, toh, pada dasarnya mengembangkan aplikasi, menyediakan jasa koordinasi antara mitra dan pengguna, dan tidak harus merogoh kocek untuk peralatan mahal maupun pekerja yang banyak.

Anda bisa baca resep mencetak cuan dengan menciptakan nilai jual ini di mana-mana. Yang biasanya akan bersama dengan startup ini hingga akhir hanya eksekutif yang menjadi wajahnya, sebut saja Nadiem atau Belva. Namun, pemodalnya ialah pihak yang sedari awal sudah menyiapkan skema oper kepemilikan atau strategi pergi.

Dan apa yang dilakukan oleh Gojek, Shopee, Ruang Guru hari ini tak lain sedang memastikan baik klien maupun mitra terperangkap dalam ekosistemnya. Mulai terbukti, pada saat ini kita tak bisa keluar dari sistem yang sudah dibangun startup-startup ini. Kala memesan ojek, saya akan memesannya dari aplikasi transportasi daring. Kala saya memesan barang, saya akan memesannya dari toko daring.

Namun, kala aplikasi ini sudah laris, basis penggunanya membeludak, orang-orang ia dapat dengan mudah meyakinkan kepada investornya bahwa dialah masa depan. Uang mereka seyogianya terinvestasi kepada perusahaan-perusahaan ini. Kalaupun belum untung, apa yang diperlukan hanya memodifikasi usahanya yang sudah luas agar mendatangkan keuntungan. Facebook, contoh saja, tak mencetak untung sampai dengan mereka mulai menjual aplikasi.

Potret kapitalisme finansial

Inilah yang hari-hari ini mendorong pertumbuhan perusahaan teknologi di mana-mana. Yang menjadi masalah adalah perusahaan-perusahaan yang tengah berjamuran ini tidak menghasilkan nilai tambah yang sama dengan, katakanlah, perusahaan manufaktur. Mereka pada dasarnya adalah "broker” produk atau jasa, perantara yang tidak menghasilkan apa pun dan wajar saja, perantara acap kali merupakan pihak yang mendapatkan paling cuan.

Permasalahan selanjutnya, mitra kehilangan daya negosiasi pada saat satu-dua perusahaan semacam menjadi sangat besar. Kini, orang tidak bisa menarik ojek bila mereka berada di luar ekosistem Gojekatau Grab. Pemutusan hubungan kemitraan dari Gojek atau Grab berdampak fatal. Dan dalam ceritanya, kita masih berada pada tahap yang sangat awal dari keseluruhan proses ini. Belum ada dari antara startup kolosal kita itu yang akan ditawarkan sahamnya kecuali, mungkin, Gojek.

Dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya dalam prosesnya. Predikat "distruptor” untuk perusahaan-perusahaan teknologi ialah predikat yang padan. Mereka telah menciptakan hal baru namun, pada saat yang sama, mengacaukan ritme kehidupan lama. Para pelapak di platform jual-beli daring harus menjual barang-barangnya dengan margin yang sangat tipis, pengemudi bekerja tak henti dan patuh seutuhnya dengan klien.

Sementara itu, perusahaan-perusahaan ini sama sekali belum selesai. Dan mereka belum selesai mengacaukan pola-pola lama dalam proses mereka menjadi satu bisnis yang basah bagi pemodalnya.

@gegerriy 
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.