1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiSri Lanka

Krisis Sri Lanka: Kelaparan, Anak-anak Terpaksa Tak Sekolah

Dimuthu Attanayake
20 Januari 2023

Anak-anak Sri Lanka bolos sekolah karena kelaparan dan kemiskinan. Sekolah-sekolah bahkan meminta orang tua untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka jika mereka tidak memiliki makanan.

https://p.dw.com/p/4MT81
Siswa sekolah dasar menerima secangkir susu segar di Dimbulagala, sekitar 200 kilometer timur laut Kolombo, Sri Lanka
Krisis keuangan Sri Lanka berdampak besar pada pendidikan anak-anakFoto: Eranga Jayawardena/AP/picture alliance

Selama beberapa bulan terakhir, Nadeeka Priyadharshani, seorang pekerja pabrik garmen yang tinggal di Katunayake, dekat dengan bandara internasional utama Sri Lanka, menghadapi kendala baru saat menyekolahkan anak-anaknya, yaitu makanan.

Akibat dari krisis ekonomi yang semakin parah, keluarganya harus bergantung pada sayuran dan nasi untuk makan sepanjang hari. Bahkan, ada beberapa hari di mana tidak ada makanan yang bisa dimasak dan tidak ada uang untuk membeli makanan, sehingga memaksa Priyadarshani untuk membiarkan anak-anaknya tetap di rumah.

Priyadarshani tidak sendirian dalam kondisi sulit ini. Ketika krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Sri Lanka mendatangkan malapetaka, mengganggu mata pencaharian dan membuat bisnis bangkrut, banyak keluarga mulai berjuang untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, obat-obatan, dan bahan bakar.

Ketika persediaan makanan menjadi terbatas, keluarga yang termasuk dalam kelompok berpenghasilan rendah seperti keluarga Priyadharshani, yang bergantung pada upah harian, menjadi semakin terbebani, sehingga mengalihkan sebagian dari beban ini kepada anak-anak. Sebuah laporan situasi bulan Desember 2022 di Sri Lanka oleh Program Pangan Dunia (WFP), menyatakan bahwa 36% keluarga mengalami kerawanan pangan, sementara pada bulan Juni 2022, UNICEF menyatakan bahwa 56.000 anak mengalami malnutrisi akut yang parah.

Terlalu kecil untuk menahan lapar

Kondisi ini menyebabkan banyak anak mulai membolos sekolah karena mereka tidak ingin pergi ke sekolah dengan perut kosong.

"Ketika anak-anak lain makan (saat istirahat), saya tidak bisa mengirim (anak-anak saya) ke sekolah karena masih lapar," kata Priyadharshani, yang merupakan pencari nafkah utama dalam keluarganya, kepada DW.

Pada hari-hari tertentu, putranya yang berusia 13 tahun pergi ke sekolah tanpa makanan, dengan alasan bahwa ia dapat menahan rasa lapar, karena ia tidak ingin ketinggalan pelajaran. Namun, Priyadharshani merasa putrinya yang berusia enam tahun "terlalu kecil" untuk menahan lapar di sekolah.

Belum ada angka statistik terbaru tentang bagaimana kerawanan pangan berkontribusi pada anak-anak yang bolos sekolah, tetapi sebuah laporan dari PBB mengatakan bahwa di sekolah-sekolah yang tidak menyediakan makanan, risiko anak-anak putus sekolah tetap tinggi.

Dalam sebuah komentar kepada DW, juru bicara UNICEF mengatakan bahwa berdasarkan bukti anekdot, tingkat kehadiran di sekolah di beberapa daerah di Sri Lanka telah menurun menjadi sekitar 75 hingga 80% sejak krisis ekonomi pada tahun 2022, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya ketika tingkat kehadiran berada di antara 80 hingga 85%.

Para ahli pendidikan prihatin dengan hubungan antara ketersediaan pangan dan kehadiran di sekolah. Tara de Mel, mantan Sekretaris Kementerian Pendidikan Sri Lanka, mengatakan bahwa tren anak-anak yang lebih muda yang bersekolah hanya jika ada jaminan makanan, "sangat jelas terlihat", terutama di sekolah-sekolah di daerah pedesaan dan sekolah-sekolah yang kurang mampu.

Tara de Mel sekarang menjadi bagian dari program pemberian makanan sekolah yang didanai oleh donor, Rise Up, yang beroperasi di 51 sekolah di seluruh negeri. "Para orang tua merasa terdorong, dan tentu saja lega, karena sekolah menyediakan makanan hangat dan bergizi selama lima hari dalam seminggu," kata de Mel.

Masa depan yang suram bagi anak-anak

Para guru sekolah negeri di Sri Lanka mengatakan bahwa sejumlah faktor yang terkait dengan krisis ekonomi, mulai dari ketidakmampuan untuk membeli makanan, biaya transportasi yang tinggi, hingga kenaikan harga alat tulis, membuat anak-anak tetap tinggal di rumah. Pola ini umumnya terjadi di kalangan keluarga pekerja perkebunan teh dan di wilayah Kolombo.

"Kami tidak melihat pemerintah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mengatasi kekurangan gizi di kalangan anak-anak di Sri Lanka. Jika hal ini terus berlanjut, masa depan anak-anak ini akan terjerumus ke dalam kegelapan," ujar Sekretaris Jenderal Serikat Guru Ceylon, Joseph Stalin, kepada DW.

Stalin menambahkan bahwa program gizi pemerintah yang ada saat ini hanya menyasar 1,1 juta anak sekolah negeri dari 4,3 juta anak. Kementerian Pendidikan Sri Lanka tidak menanggapi permintaan DW untuk mendiskusikan masalah ini.

Siswa pingsan secara bergantian

Seorang guru dari Distrik Gampaha di Provinsi Barat, yang tidak ingin disebutkan namanya, karena tidak diizinkan untuk berbicara kepada media, mengatakan bahwa banyak siswa sekolah tersebut berasal dari keluarga yang kurang mampu dan banyak dari mereka yang datang tanpa sarapan atau makan siang hampir setiap hari, sehingga para siswa tersebut pingsan "secara bergantian".

"Beberapa siswa tingkat lanjut tidak masuk sekolah selama berbulan-bulan, karena mereka bekerja untuk menghidupi keluarga mereka," katanya.

Tidak ada alternatif lain selain pembelajaran konvensional di kelas di Sri Lanka, tidak masuk sekolah memiliki dampak yang sangat besar bagi semua anak, terutama bagi siswa sekolah dasar yang berusia lima sampai 10 tahun, kata Dr. de Mel.

"Hal ini akan memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang pada pembelajaran dan perkembangan kognitif, termasuk (ada kemungkinan) kekurangan interaksi sosial pada anak-anak ini," katanya.

(bh/ha)